Seno Gumira Ajidarma dilahirkan di Boston pada tanggal 19 Juni 1958 dan dibesarkan di Yogyakarta. Pada tahun 1977 Seno pindah ke Jakarta dan kuliah di Departemen Sinematografi Lembaga Kesenian Jakarta (kini IKJ, Insitut Kesenian Jakarta). Pada tahun 1977 Seno mulai bekerja sebagai wartawan lepas pada surat kabar Merdeka. Tidak lama kemudian, ia menerbitkan majalah kampus yang bernama Cikini dan majalah film yang bernama Sinema Indonesia. Setelah itu, ia juga menerbitkan mingguan Zaman, dan terakhir ikut menerbitkan (kembali) majalah berita Jakarta-Jakarta pada tahun 1985. Pekerjaan sebagai wartawan dijalani Seno sambil tetap menulis cerpen dan esai. Pada awal tahun 1992 Seno dibebastugaskan dari jabatan redaktur pelaksana Jakarta-Jakarta berkaitan dengan pemberitaan tentang insiden Dili pada tahun 1991. Selama menganggur, Seno kembali ke kampus, yang ketika itu telah menjadi Fakultas Televisi dan Film, Institut Kesenian Jakarta. Ia menamatkan studinya dua tahun kemudian. Setelah sempat diperbantukan di tabloid Citra, pada akhir tahun 1993 Seno kembali diminta memimpin majalah Jakarta-Jakarta, yang telah berubah menjadi majalah hiburan.
Pada usia 17 ia bergabung dengan Teater Alam pimpinan Azwar A.N. Sejak itu, ia terus terlibat dalam dunia kesenian. Seno memulai kegiatan sastranya dengan menulis puisi, cerita pendek, baru kemudian menulis esai. Puisinya yang pertama dimuat dalam rubrik "Puisi Lugu" majalah Aktuil asuhan Remy Silado, cerpennya yang pertama dimuat di surat kabar Berita Nasional, dan esainya yang pertama, tentang teater, dimuat di surat kabar Kedaulatan Rakyat. Seno kemudian mendirikan "pabrik tulisan" yang menerbitkan buku-buku puisi dan menjadi penyelenggara acara-acara kebudayaan.
Hingga kini Seno telah menerbitkan belasan buku yang terdiri kumpulan sajak, kumpulan cerpen, kumpulan esai, novel, dan karya nonfiksi. Berikut ini adalah beberapa karya-karya Seno Gumira:
Untuk lebih mendalami secara langsung salah satu jenis karya kreatif Seno Gumira Ajidarma, yaitu cerpen-cerpen yang telah termuat di media masa, berikut kami sajikan 5 contoh cerpen Seno Gumira Ajidarma yang bisa sobat simak.
BACA LEBIH LANJUT >>>
Hanya laut. Hanya kekosongan. Dunia hanyalah laut dan langit yang dibatasi garis tipis melingkar, membentuk garis lingkaran yang tiada pernah berubah jaraknya, meski perahuku melaju menembus angin yang bergaram. Bibirku terasa asin dan rambutku menyerap garam, tapi kutahu cintaku belum akan berkarat bila tiba di pulau itu. Bagaimana cinta akan berkarat hanya karena sebuah jarak dari Labuan Bajo ke Komodo, jika cinta ini belum juga berkarat setelah mengarungi berabad-abad jarak, dari suatu masa ketika cinta pertama kali ada? Lagi pula bagaimana cinta akan berkarat karena angin yang bergaram jika cinta memang bukan besi? Aku dan kekasihku diciptakan dari sepasang bayang-bayang di tembok yang tubuhnya sudah mati, dan semenjak saat itu kami menjadi semacam takdir ketika tiada sesuatu pun di dunia ini yang bisa memutuskan hubungan cinta kami. Barangkali itulah yang disebut dengan cinta abadi.
Pada usia 17 ia bergabung dengan Teater Alam pimpinan Azwar A.N. Sejak itu, ia terus terlibat dalam dunia kesenian. Seno memulai kegiatan sastranya dengan menulis puisi, cerita pendek, baru kemudian menulis esai. Puisinya yang pertama dimuat dalam rubrik "Puisi Lugu" majalah Aktuil asuhan Remy Silado, cerpennya yang pertama dimuat di surat kabar Berita Nasional, dan esainya yang pertama, tentang teater, dimuat di surat kabar Kedaulatan Rakyat. Seno kemudian mendirikan "pabrik tulisan" yang menerbitkan buku-buku puisi dan menjadi penyelenggara acara-acara kebudayaan.
Hingga kini Seno telah menerbitkan belasan buku yang terdiri kumpulan sajak, kumpulan cerpen, kumpulan esai, novel, dan karya nonfiksi. Berikut ini adalah beberapa karya-karya Seno Gumira:
Kumpulan Cerpen ; Manusia kamar (1988), Matinya Seorang Penari Telanjang (1988), Penembak Misterius (1993), Saksi Mata (1994), Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi (1995), Negeri Kabut (1996), Sebuah Pertanyaan untuk Cinta (1996), Iblis Tidak Pernah Mati (1999), Atas nama Malam (1999), Dunia Sukab (2001), Kematian Donny Osmond (2001), Sepotong Senja untuk Pacarku (2002), Aku kesepian sayang Datanglah menjelang kematian (2004), Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi edisi kedua (2006), Linguae (2007).
Novel ; Jazz, Parfum dan Insiden(1996), Wisanggeni Sang Buronan (2000), Negeri senja (2003), Kitab Omong Kosong (2004), Biola tak Berdawai (2004), Kalatidha (2007), Nagabumi 1: Jurus Tanpa Bentuk (2009). Puisi ; Mati Mati Mati (1975), Bayi Mati (1978), Catatan-catatan Mira sato (1978).
Esai ; Ketika jurnalisme dibungkam, Sastra harus bicara (1997).
Non-fiksi ; Cara Bertutur dalam Film Indonesia: Menengok 20 Skenario Pemenang Citra FFI 1973 -1992 (skripsi, IKJ, 1997), Surat dari Palmerah (2002), Affair obrolan tentang Jakarta (2004), Sembilan Wali dan Siti Jenar (2007), Kentut Kosmopolitan (2008).
Drama ; Mengapa kau culik anak kami ?.
Komik ; Jakarta 2039 (2001), taxi Blues (2001), Sukab Intel Melayu : Misteri Harta Centini (2002), Panji tengkorak : kebudayaan dalam perbincangan (2011).
Untuk lebih mendalami secara langsung salah satu jenis karya kreatif Seno Gumira Ajidarma, yaitu cerpen-cerpen yang telah termuat di media masa, berikut kami sajikan 5 contoh cerpen Seno Gumira Ajidarma yang bisa sobat simak.
Rembulan dalam Cappuccino
Seminggu setelah perceraiannya, perempuan itu memasuki sebuah kafe, dan memesan Rembulan dalam Cappuccino. Ia datang bersama senja, dan ia harus menunggu malam tiba untuk mendapatkan pesanannya.
Cappuccino¹ dalam lautan berwarna coklat, datang langsung dari tercemplung cangkir, tenggelam sebentar, tapi lantas pingpong-tapi bukan bola pingpong, ini rembulan. Semua orang berada dalam kafe diam-diam melangkah keluar, menengok ke langit, ingin membuktikan dengan mata kepala sendiri bahwa terapung-apung cangkir perempuan sebenarnya, seperti telah pelajari semenjak di sekolah dasar, yakni yang tiada pernah mereka saksikan sisi gelapnya, dan rembulan itu memang sudah tidak ada.
BACA LEBIH LANJUT >>>
Cintaku Jauh di Komodo
Mayat Yang Mengambang Di Danau
Barnabas mulai menyelam tepat ketika langit bersemu keungu-unguan, saat angin dingin menyapu permukaan danau sehingga air berdesis pelan, sangat amat pelan, nyaris seperti berbisik, menyampaikan segenap rahasia yang bagai tidak akan pernah terungkapkan.
Memang hanya langit, hanya langit itulah yang ditunggu-tunggu Barnabas, karena apabila kemudian ia menyelam di dekat batang-batang pohon ke bawah permukaan danau untuk menombak ikan, secercah cahaya pun cukuplah untuk melihat segala sesuatu yang bergerak, hanya bergerak, tiada lain selain bergerak, ketika hanya dengan sudut matanya pun ia tahu mana bukan ikan gabus mana bukan ikan merah. Ya, tangannya hanya akan bergerak menombak secepat kilat bagaikan tak menunggu perintah otak, apabila kedua jenis ikan itu lewat meski melesat, berombongan maupun terpisah dan tersesat, yang mana pun takkan lepas dari sambaran tombaknya yang sebat.
BACA LEBIH LANJUT >>>
Ibu terkulai di kursi seperti orang mati. Pintu, jendela, televisi, telepon, perabotan, buku, cangkir teh, dan lain-lain masih seperti dulu—tetapi waktu telah berlalu sepuluh tahun. Tinggal Ibu kini di ruang keluarga itu, masih terkulai seperti sepuluh tahun yang lalu. Rambut, wajah, dan busananya bagai menunjuk keberadaan waktu.
Telepon berdering. Ibu tersentak bangun dan langsung menyambar telepon. Diangkatnya ke telinga. Ternyata yang berbunyi telepon genggam. Ketika disambarnya pula, deringnya sudah berhenti. Ibu bergumam.
Memang hanya langit, hanya langit itulah yang ditunggu-tunggu Barnabas, karena apabila kemudian ia menyelam di dekat batang-batang pohon ke bawah permukaan danau untuk menombak ikan, secercah cahaya pun cukuplah untuk melihat segala sesuatu yang bergerak, hanya bergerak, tiada lain selain bergerak, ketika hanya dengan sudut matanya pun ia tahu mana bukan ikan gabus mana bukan ikan merah. Ya, tangannya hanya akan bergerak menombak secepat kilat bagaikan tak menunggu perintah otak, apabila kedua jenis ikan itu lewat meski melesat, berombongan maupun terpisah dan tersesat, yang mana pun takkan lepas dari sambaran tombaknya yang sebat.
BACA LEBIH LANJUT >>>
Ibu yang Anaknya Diculik Itu
Telepon berdering. Ibu tersentak bangun dan langsung menyambar telepon. Diangkatnya ke telinga. Ternyata yang berbunyi telepon genggam. Ketika disambarnya pula, deringnya sudah berhenti. Ibu bergumam.
Kira-kira sepuluh hari sebelum Lebaran tiba, gerobak-gerobak berwarna putih itu akan muncul di berbagai sudut kota kami, seperti selalu terjadi dalam bulan puasa tahun-tahun belakangan ini. Gerobak itu tidak ada bedanya dengan gerobak pemulung, atau bahkan gerobak sampah lainnya, dengan roda karet dan pegangan kayu untuk dihela kedua lengan di depan. Hanya saja gerobak ini ternyata berisi manusia. Dari balik dinding gerobak berwarna putih itu akan tampak sejumlah kepala yang menumpang gerobak tersebut, biasanya seorang ibu dengan dua atau tiga anak yang masih kecil, dengan seorang bapak bertenaga kuat yang menjadi penghela gerobak tersebut.
BACA LEBIH LANJUT >>>
BACA LEBIH LANJUT >>>
Demikian ulasan mengenai biografi dan 5 contoh cerpen karangan Seno Gumira Ajidarma yang bisa sobat simak. Mudah-mudahan bermanfaat ya...