Sindhunata pernah pula bekerja sebagai wartawan Harian Kompas, menulis komentar tentang sepak bola, dan berbagai masalah kebudayaan. Namun Sindhunata mungkin lebih dikenal sebagai pengarang. Novelnya yang terkenal adalah “Anak Bajang Menggiring Angin”.
Beliau memiliki riwayat pendidikan di Pendidikan Sekolah Tinggi Driyarkara, Jakarta (1980), Studi Teologi di Institut Filsafat Teologi Kentungan Yogyakarta (1983), kemudian mendapatkan gelar doktor dari Hochschule für Philosophie, München, Jerman (1992) dan menulis disertasinya tentang pengharapan mesianik masyarakat Jawa. Dalam bidang organisasi, mendirikan komunitas PANGOENTJI / Pagoejoeban Ngoendjoek Tjioe yang memberikan perhatian pada bidang seni dan budaya.
Berikut hasil proses kreatif Sindhunata dalam bentuk tulisan:
- Putri Cina, Penerbit Gramedia Pustaka Utama (2007)
- Segelas Beras untuk Berdua, Penerbit Buku Kompas (2006)
- Dari Pulau Buru ke Venesia, Penerbit Buku Kompas (2006)
- Petruk Jadi Guru, Penerbit Buku Kompas
- Kambing Hitam:Teori Rene Girard,Penerbit Gramedia Pustaka Utama (2006)
- Burung-burung di Bundaran HI,Penerbit Buku Kompas
- Ekonomi Kerbau Bingung, Penerbit Buku Kompas
- Bola di Balik Bulan, Penerbit Buku Kompas (2002)
- Bola-bola Nasib, Penerbit Buku Kompas
- Air Mata Bola, Penerbit Buku Kompas
- Ilmu Ngglethek Prabu Minohek (2004)
- Mengasih Maria: 100 tahun Sendangsono (2004) – editor
- Air Kata-kata (2003)
- Jembatan Air Mata: Tragedi Manusia Pengungsi Timor Timur (2003)
- Long and Winding Road, East Timor (2001)
- Pendidikan: Kegelisahan Sepanjang Zaman: Pilihan Artikel Basis (2001) – editor
- Membuka Masa Depan Anak-anak kita: Mencari Kurikulum Pendidikan Abad XXI (2000)
- Menggagas Paradigma Baru Pendidikan: Demokratisasi, Otonomi, Civil Society, Globalisasi (2000) – editor
- Sumur Kitiran Kencana: Karumpaka ing Sekar Macapat Dening D.F. Sumantri Hadiwiyata (2000)
- Sakitnya Melahirkan Demokrasi (2000)
- Bisikan Daun-daun Sabda (2000)
- Tak Enteni Keplokmu: Tanpa Bunga dan Telegram Duka (2000)
- Bayang-bayang Ratu Adil (1999)
- Menjadi Generasi Pasca-Indonesia: Kegelisahan Y.B. Mangunwijaya (1999) – editor
- Pergulatan Intelektual dalam Era Kegelisahan: Mengenang Y.B. Mangunwijaya (1999) – editor
- Cikar Bobrok (1998)
- Mata Air Bulan (1998)
- Sayur Lodeh Kehidupan: Teman dalam Kelemahan (1998) – editor
- Sisi Sepasang Sayap: Wajah-wajah Bruder Jesuit (1998)
- Semar Mencari Raga (1996)
- Aburing kupu-kupu kuning (1995)
- Nderek Sang Dewi ing Ereng-erenging Redi Merapi (1995)
- Hoffen auf den Ratu-Adil: das eschatologische Motiv des “Gerechten Königs” im Bauernprotest auf Java während des 19. und zu Beginn des 20. Jahrhunderts (1992) – disertasi
- Baba Bisa Menjadi Indonesier: Bung Hatta, Liem Koen Hian, dan Sindhunatha, Menyorot Masalah Cina di Indonesia (1988)
- Anak Bajang Menggiring Angin (1983)
Berikut 10 contoh dari Sindhunata yang bisa Sobat simak.
SUARA MESIN JAHIT
Sampai kini
mesin jahit itu masih berbunyi
di dalamnya tangis kita berdua tersembunyi
Kesedihan kita sudah lewat
mestinya hanya kegembiraan kita dapat
tapi kenapa masih belum juga lunas
bayang-bayang hidup kita yang kandas
Tinuk, kenapa masih juga
suara mesin jahit kita
merintih sedih tatkala
duka malam kita tiada lagi ada?
Bukan kesedihan dan kepedihan
namun suka cita dan kegembiraan
memaksa kita kembali mendengar
derita kita yang telah silam
Pulang dari penjara
tak ada yang kita punya
hanya mesin jahit itulah harta
dengannya kita mencari nafkah
Kuteringat, malam telah larut
tak jauh dariku kaududuk
mengitik lubang kancing
baju dan celana jahitanku
Sementara anak-anak tidur
kutanya kepada malam
masihkah akan kudapat nasi
buat anak-anakku yang lapar?
Malam sedang terang
tak juga bulan dan bintang
memberiku jawaban kapan berakhir
kegelisahanku setiap malam
jari-jarimulah, Tinuk, yang menjawabku
jari-jarimu tak lelah merapikan jahitan hidupku
tanpa kautahu bagaimana mestinya
mengikat lagi benang-benangnya
Melihat jari-jarimu, Tinuk
tak kupeduli lagi berapa kali
jarum menusuk perih jari-jariku
makin kuat kakiku menjejak
memacu mesih jahitku memenuhi
nafkah kita bila esok tiba
Nasib memaksaku meninggalkan keindahan
tak bisa lagi aku melukiskan kehidupan
tinggal kutanggung bebannya
lalu kujahitkan semuanya dalam baju dan celana
tiap hari selalu sama, bentuk duka dan deritanya
Tinuk, aku pencinta warna yang indah
namun kularang kaupakai pemerah
Kataku, kau sudah cantik
tanpa pemerah bibirpun kau tetap jelita
Sebenarnya tak kularang kau menghias bibirmu
Aku hanya khawatir, hari ini dapat kaubeli
pemerah bibir itu,
namun belum tentu lain hari kaumampu.
Sekali kauoleskan pemerah bibir
dan kemudian pucat bibirmu
karena tak mampu kaubeli lagi hiasan itu,
cantikmu akan hilang, Tinuk
aku tak mau itu terjadi
biarkanlah bibirmu tanpa pemerah apa-apa
Kini sejuta pemerah bibir dapat kaubeli
tapi keindahan itu sudah tak dapat lagi kita nikmati
Dalam kelimpahan kita yang kini
bibirmu masih seperti yang dulu
ketika kaududuk mengitik
mendengarkan suara mesin jahitku
melagukan pucat duka-duka malamku.
Sekarang semuanya sudah kita punya
mengapa kini aku masih sering bermimpi
tiba-tiba aku tak punya apa-apa
aku dicekam rasa takut, jangan-jangan
tak bisa lagi anak-anak kita makan
persis seperti dulu
ketika tiap hari aku harus bergulat
mengais rezeki dengan mesin jahitku
Ketika terbangun keringat dingin mengalir
Aku lega, untung semua itu hanya mimpi
bukan kenyataan seperti dulu lagi
Tinuk, sekarang semuanya sudah kita punya
tapi mengapa anak-anak kita suka berkata,
tak ada yang lebih indah daripada
malam di mana kita mendengar
mesin jahit ayah bersuara tak henti-hentinya
suara itu adalah janji
esok pagi akan datang rezeki
dan perut kita takkan lapar dalam sehari
Tinuk, kenapa masih juga
suara mesin jahit kita
merintih sedih tatkala
duka malam kita tiada lagi ada?
Mengapa, selalu kembali dalam kenanganku
duka dan derita malam hidupku?
mungkin, dulu derita kita terlalu hebat
hingga harus selalu meninggalkan bekas
namun, mungkin juga di sana tersembunyi
dengan amat indah cinta kita yang kini
tak dapat lagi kita beli
dengan segala harta yang kita miliki.
2003
Untuk peringatan perkawinan yang ke-34: Djokopekik dan Ibu Tinuk.
MATA AIR IKAN 3
Dari utara si nenek miskin
datang ikut memasang kicir
kicir anyaman benang angin
Nek, lama sudah kau pasang kicir
ikan-ikanmu lari terjerat cacing
Nak, kenapa kau terpancing
mencuri ikan dengan cacing
padahal kau pandai menyuling
telah lari ikan-ikanku
di bambu serulingmu.
Pergi ke pasar anak gembala
semua orang heran di sana
dia tawarkan ikan sambil menyuling
meski tak punya ikan hasil memancing
1982
SENJA KUNING PANTAI IKAN
Senja kuning pantai ikan
Terapung sampan anak nelayan
Didayung luka lautan
Sulingnya sedih merintih-rintih
Lengking gelepar napas-napas ikan
Senja kuning memanggil-manggil
Perempuan tua bergegas menggigil-gigil
Turun dari bukit berlubang
Dengan tenang rambut uban
Jala dilempar tanpa amarah lautan
Gemetar hati anak nelayan:
Sudah kaulempar jalamu berulang-ulang
Kenapa tak kaudapatkan ikan-ikan?
Ikanku mati jadi tangis sulingmu
Ibu, kuberikan ikanku padamu
Aku bukan ibumu
Ibumu dalam sulingmu
Terjerat dalam jalamu
Sampan anak nelayan
Jadi permadani wangi
Terbang bersayapkan angin harapan
Mengheningkan gemuruh
Pasar nelayan yang menawarkan
Hidup dengan ikan:
Nak, kenapa kaujual jalamu
Dan bukan ikan-ikanmu
Jalaku
dan bukan ikan-ikanku
adalah hatiku
kujual kegembiraanku
kujual kesedihanku
kujual kerinduanku
pada lautan
pada ikan-ikan
pada-Mu Tuhan
sebelum senjaku ditelan malam-Mu
sebelum pantaiku dihempas amarah pasang
gelombang-Mu
1994
MALAM KATAK-KATAK
Dari mana malam dibuat
dari anak k a t a k - k a t a k
Suara katak berhati hijau
di batu hati k a t a k – k a t a k parau.
Kena pelipis sayap belibis
perut tertawa dengan menangis
Menyanyilah hai kali
dengan air mata berudu,
hati kami gembira
dengan rindu burung tuhu.
Cenggaretnong mengerik-erik
berlubang awan mata cengkerik
Dari utara datang
angin kunang-kunang
Pucuk belimbing pohon beringin
datang angin membawa dingin
Dingin tak terasa di sungai-sungai
udara berenang-renang damai.
Dari mana malam dibuat
dari hati anak-anak.
Bermain di hatiku malam anak-anak
kenapa fajar kau melompat-lompat
girang mrekah
dengan lembut k a t a k – k a t a k merah?
1995
SUSU SEMAR
Semar itu bukan lelaki bukan wanita
namun seperti lelaki seperti wanita
Tersimpan dalam buah dadanya
susu penderitaan para wanita
Tak pernah Semar memikat wanita dengan senyum,
karena dalam dirinya penderitaan wanita terkandung.
Sekarang Semar suka mesem,
Karena ia adalah Semar mendem.
1996
MBAH MERAPI
Malam gelap, malam yang hijau
hijau bulan, hijau dedaunan
hijau kuda-kuda
menderap turun ke Alas Patuk
Mbah Merapi berpesta raja
sedang hijau padang gembalaannya
angin hijau dari dahan-dahan
menyingkap kain Nyai Gandhung Mlati
kegelapan di Alas Tutupan
terbangun oleh birahi
hijau di mana-mana
hijau di hatiku juga.
1995
RUMAH POHON
Sekarang Kotir sudah senang
selesai sudah pengembaraan
ia pulang kandang
tahu-tahu rumahnya sudah tenang.
Bersayapkan burung sriti
harum dengan minyak serimpi
Kotir pulang ke rumah pohon
pule hijau daunnya segar
Paro petang bulan purnama
teman-temannya datang
mandi di Sendang Bagong
meraba-raba paha tak kelihatan
paha-paha putih
anak-anak Nyai Gadhung Mlati
Kotir naik sapi gumarang
melihat seribu bintang
menelan penderitaannya
istana langit terbuka pintunya
merintik turun gerimis kemenyan
jatuh jadi mutiara-mutiara doa
di atap rumah pohonnya
Harum dengan wangi bidadari
teman-teman Kotir telanjang di sendang
mereka melihat senang
Kotir sudah pulang kandang
dan rumahnya sudah tenang.
Di malam seribu bulan
katak duka katak harapan
menabuh gamelan di Jalakan.
Kotir mendengar senang
di rumah pohon dukanya menghilang
mengerjap dalam harapan
tahu-tahu rumahnya sudah tenang.
Rumah pohon di tepi Kali Boyong
batunya megah berantai emas
kalung lahar Eyang Merapi
Tiap hari Kotir mengais rezeki
pasir dihitungnya bagai butiran nasi.
Dari Pemancingan Seh Belu mampir
diberinya Kotir ilmu zikir pasir
Kali Boyong terus mengalir
nasi dari pasir tertanak dalam zikir Kotir
Kotir memandang pasir dengan mata Nabi Khidir:
samudera raya dengan segala aslinya
ternyata terkandung dalam sebutir pasir
Sebutir pasir adalah nasi
dalam sebutir pasir terkandung samudera
dalam sebutir pasir terkandung hidupnya
Kini dengan zikir pasir Kotir mengerti
apa arti: perahu yang memuat samudera raya.
Kotir menyesal, kenapa demikian lama
ia mesti mengembara mencari hidupnya
jika kekayaan hidupnya ada dan berada
dalam pasir yang tiap hari diinjak-injaknya?
Kotir tak lagi mencari hidupnya
ia sudah pulang ke rumah pohon
dan mendapati rumahnya sudah tenang
2003
WAK DULJANGKEP
Niatku mau nggendhong
menggendong rumahnya Semar Boyong
Aku menabur dengan dukacita
aku menuai dengan sukacita
Niatku mau lelaku
Wak Duljangkep ngelmu-ku
Dul itu si Dul
artinya: jumendhul, lahir, muncul
Jangkep itu wejangan ganep
artinya jangkep: pas, tiada kurang, lengkap.
Aku tua, maka aku dipanggil Wak Duljangkep
Duljangkep, artinya lahirku, adaku, munculku
hanya untuk jangkep-jangkep
untuk melengkapi dan pelengkap, agar semuanya pas.
Meski hanya hamba, tua, miskin tak berguna
tanpa aku hidup tidak akan pas, karena tidak lengkap
Tanpa kau, hidup ini seperti
sambel tanpa terasi
sayur tanpa garam
kopi tanpa gula
obor tanpa sumbu
pintu tanpa engsel
tumbu tanpa tutup
tuan tanpa hamba
pimpinan tanpa rakyat
cinta tanpa nafsu
rahmat tanpa dosa
Tuhan tanpa manusia
Aku hanyalah miskin dan hina
tapi tanpa aku, semuanya takkan ada.
Aku ini nyaris tiada, tapi ketiadaanku membuat ada.
Itulah aku, Wak Duljangkep.
Aku ini tiada yang membuat ada
maka aku ini tiada nyata yang membuat ada nyata
Akulah kesamaran yang ada di balik semua kenyataan.
Kenyataan akan hilang tanpa kesamarannya.
Maka sesungguhnya nyata itu samar:
Samar itulah kekurangan, kehinaan, kemiskinan
yang melengkapi kesempurnaan, kemuliaan, kekayaan:
Samar itulah Semar.
Wak Duljangkep itulah Samar yang Semar.
Ilmuku Wak Duljangkep, artinya
Samarlah yang ingin kuajarkan
Semarlah yang ingin kunyatakan.
Langkahku Semar yang tertawa
jalanku samar tiada habisnya.
Semar kuning yang menggiring
menggiring siapa?
menggiring badanku, agar dilepaskan
dari kenyataanku, jadi
samar dalam kerohanianku.
Semar hitam yang mengejar
mengejar siapa?
mengejar nafsuku, agar disucikan
dari lumpur keserakahanku, jadi
samar dalam rasa pasrahku.
Semar merah yang marah
marah terhadap siapa?
terhadap budiku, agar dibebaskan
dari pengetahuan palsu, jadi
samar dalam ketidaktahuanku.
Semar putih yang membersihkan.
membersihkan apa?
membersihkan tinggihatiku, agar direndahkan
aku dari serbabisaku, jadi
samar dalam keterbatasanku.
Ke utara, rupaku kuning samar
Ke selatan, rupaku hitam samar
Ke timur, rupakau merah samar
Ke barat, rupaku putih samar.
Ke mana-mana aku tak dilihat orang
aku selamat karena Semar
yang membuatku tak dikenal.
Aku terlepas dari keangkuhan:
Adaku hanyalah untuk pas-pasan.
Hatiku tentram, karena aku bisa pasrah
diriku hanya untuk imbuh-imbuhan
njedhul-ku hanya untuk jangkep-jangkepan
Ternyata duljangkep adalah misteri
kerendahanhati yang membuat hatiku tenang.
Kutemui Wak Duljangkep
aku duduk dengannya
jagongan dan wedangan
dan aku disuruh makan gula kacang
Saking asyiknya omong-omongan
tak terasa hari sudah malam
tiba-tiba Wak Duljangkep menghilang
dan aku menjadi kenyataan.
1999
ANAK BAJANG MENGGIRING ANGIN
Anak bajang
menggiring angin
naik kuda sapi liar
ke padang bunga
menggembalakan kerbau raksasa
lidi jantan sebatang
disapukan ke jagat raya
dikurasnya samudera
dengan tempurung bocor
di tangannya
di gelaran sayap garudayaksa
naik anak bajang
ke bukit hardacandra
janur gebang berayun-ayunan
anak bajang berarak-arakan
dalam iring-iringan panjang
para pencagakan dan kemamang
di belakang riang memanjang
barisan warudhoyong dan singabarong
dhenokongkrong dan dhadhungwinong
berkebit-kebit di ekor
anak-anak carubawor
paro petang bulan purnama
lelap tertidur anak bajang
dekat perapian kundakencana
dibelai gading gajahmeta
dan bisa permata nagaraja
dengan tikar daun runya
dari negeri atas angin
berhembus nafas
naga giyani dan mintuna
meniupkan samirana dukula
anak bajang terbang
hingga ke puncak mandira
menari-nari bersama kukila
di bawah perempuan menangis
melahirkan pedang
dari luka-luka kedukaan
sedih anak bajang bertanya
bunda kenapa
kaurobek kainmu dengan darah
sedang hendak merayap aku
di antara dua bukit-bukitmu?
gelap pun gulita
dengan empat nafsu cahaya
anak bajang menyalakan dian
teja darpasura
bumi bergoncang
dahana menyala
jaladri pecah
prahara melimbah-limbah
anak bajang dikejar dua manusia
senjatanya pedang emas
payung kencana
menghadang di sana raksasa
mulutnya berlumuran darah
ikan berbisa
anak bajang meronta-ronta
menolak susu wanita
yang menutup payung hitamnya
gemuruh malam kumbang
ular jantan di kiblatan
dipeluk petang jalanan catur denda
anak bajang lari menubruk sunya
langit mendung hujan bintang
matahari padam senyum bulan muram
kusuma terbang merebut singgasana awan
bidadari turun telanjang
di madu-madu buah dadanya
menyusu anak bajang
sekeras duka-dukanya
tangis dan sorak gambiralaya
lahir di saptapratala
dunia tua berusia bayi muda
1983
ULARULARAN WAKTU
Ularularan waktu
Waktuku berjalan berularularan,
nasib hidupku ulangmengulang
Harapan akan masa depanku,
ditelan kekejaman masa laluku.
Apa yang menyelamatkanku kini,
hanyalah apa yang menghancurkanku nanti,
dan semuanya tadi, sudah kuketahui
di masa lalu sebelum ini.
Dengan sepatu koyak, aku mengejar
masa laluku yang telah hilang.
Ternyata aku terbawa terbang
ke langit tinggi masa depan,
dan kembali aku kehilangan
apa yang seharusnya kudapatkan.
Hidupku menjadi layang-layang,
benangnya putus, dan aku terlempar.
Kini tak ingin aku
terbunuh lagi oleh waktu.
Kugigit ekor ularularannya, dan
masa laluku pun mengucurkan darah
Kupatahkan kepalanya, dan
terbebas aku dari impian masa depannya.
Aku hidup dari waktuku,
lega, kendati kini berada aku
dalam gelap kekinian,
aku berjalan dengan perut ular
mengelengsargelengsar tanpa kemajuan,
terhenti di masa kini, di dunia ini.
Baru sekarang aku rasakan
keabadian adalah kekinian yang kekal
di dalamnya masa laluku tertelan
dan masa depanku terkandungkan
aku bahagia, di sini dan sekarang
2000