Siapakah STA atau Sutan Takdir Alisyahbana itu? - Sedang mencari informasi siapakah STA atau Sutan Takdir Alisyahbana Sob? Sutan Takdir Alisjahbana, atau yang lebih familier disebut dengan singkatan STA, adalah termasuk sastrawan angkatan Pujangga Baru. STA adalah sastrawan yang lahir di Natal, Sumatera Utara, pada 11 Februari 1908. Dia merupakan peletak dasar tata bahasa Indonesia, sekaligus salah satu sastrawan terkenal di Indonesia.
Dimasa pendidikannya, STA bersekolah di Hogere Kweekschool di Bandung, kemudian melanjutkan ke Hoofdacte Cursus di Jakarta (yang waktu itu masih bernama Batavia). Di Jakarta itulah STA melihat iklan lowongan pekerjaan untuk Balai Pustaka, yang waktu itu merupakan biro penerbitan pemerintah administrasi Belanda. Ia melamar ke sana dan diterima, dan sejak itulah ia memulai pergaulan dengan para intelektual Hindia Belanda. Salah satu rekan dekatnya waktu itu adalah Armijn Pane, yang akhirnya juga menjadi sastrawan besar Indonesia.
Ketika Jepang menduduki Indonesia, STA menjadi penulis ahli yang menjabat sebagai ketua Komisi Bahasa. Dalam jabatannya itulah ia melakukan modernisasi bahasa Indonesia, sehingga dapat menjadi bahasa nasional yang menjadi pemersatu bangsa. Dialah yang pertama kali menulis Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia pada 1936, yang kemudian digunakan di negeri ini hingga berpuluh-puluh tahun kemudian.
So, jadi lebih mengenal STA kan Sob? Berikut 5 Puisi STA (Sutan Takdir Alisyahbana) yang bisa Sobat simak dan analisa kedalaman maknanya.
Dimasa pendidikannya, STA bersekolah di Hogere Kweekschool di Bandung, kemudian melanjutkan ke Hoofdacte Cursus di Jakarta (yang waktu itu masih bernama Batavia). Di Jakarta itulah STA melihat iklan lowongan pekerjaan untuk Balai Pustaka, yang waktu itu merupakan biro penerbitan pemerintah administrasi Belanda. Ia melamar ke sana dan diterima, dan sejak itulah ia memulai pergaulan dengan para intelektual Hindia Belanda. Salah satu rekan dekatnya waktu itu adalah Armijn Pane, yang akhirnya juga menjadi sastrawan besar Indonesia.
Ketika Jepang menduduki Indonesia, STA menjadi penulis ahli yang menjabat sebagai ketua Komisi Bahasa. Dalam jabatannya itulah ia melakukan modernisasi bahasa Indonesia, sehingga dapat menjadi bahasa nasional yang menjadi pemersatu bangsa. Dialah yang pertama kali menulis Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia pada 1936, yang kemudian digunakan di negeri ini hingga berpuluh-puluh tahun kemudian.
So, jadi lebih mengenal STA kan Sob? Berikut 5 Puisi STA (Sutan Takdir Alisyahbana) yang bisa Sobat simak dan analisa kedalaman maknanya.
BERGUNDAH HATI
Di atas tebing duduk seorang kelana
Memandang arah ke tengah lautan
Dalam hatinya, gundah gulana
Teringat kampung dengan halaman
Pandangnya dilayangkan arah ke barat
Terlihat surya hampir terbenam
Teringat kampung dengan halaman
Pandangnya dilayangkan arah ke barat
Terlihat surya hampir terbenam
Sebab pun kelana, jadi melarat
Menurutkan hati yang remuk redam
Melihat surya, hampir beradu,
Cahayanya laksana emas perada
Hati kelana bertambah rindu
Terkenanglah ayah beserta bunda
Menurutkan hati yang remuk redam
Melihat surya, hampir beradu,
Cahayanya laksana emas perada
Hati kelana bertambah rindu
Terkenanglah ayah beserta bunda
Kelana duduk, hati bercinta
Suara hati rasa terdengar
Wahai kelana muda juita
Hendaklah engkau berhati sabar
AKU DAN TUHANKU
Tuhan, Kau lahirkan aku tak pernah kuminta
Dan aku tahu, sebelum aku Kau ciptakan
Berjuta tahun, tak berhingga lamanya
Engkau terus menerus mencipta berbagai ragam
Tuhan, pantaskah Engkau memberikan hidup sesingkat ini
Dari berjuta-juta tahun kemahakayaan-Mu
Setetes air dalam samudra tak bertepi
Alangkah kikirnya Engkau, dengan kemahakayaan-Mu
Dan Tuhanku, dalam hatikulah Engkau perkasa bersemayam
Bersyukur sepenuhnya akan kekayaan kemungkinan
Terus menerus limpah ruah Engkau curahkan
Meski kuinsyaf, kekecilan dekat dan kedaifanku
Di bawah kemahakuasaan-Mu, dalam kemahaluasan kerajaan-Mu
Dengan tenaga imajinasi Engkau limpahkan
Aku dapat mengikuti dan meniru permainan-Mu
Girang berkhayal dan mencipta berbagai ragam
Terpesona sendiri menikmati keindahan ciptaanku
Aahh, Tuhan
Dalam kepenuhan terliput kecerahan sinar cahaya-Mu
Menyerah kepada kebesaran dan kemuliaan kasih-mu
Aku, akan memakai kesanggupan dan kemungkinan
Sebanyak dan seluas itu Kau limpahkan kepadaku
Jauh mengatasi mahluk lain Kau cipatakan
Sebagai khalifah yang penuh menerima sinar cahaya-Mu
Dalam kemahaluasan kerajaan-Mu
Tak adalah pilihan, dari bersyukur dan bahagia, bekerja dan mencipta
Dengan kecerahan kesadaran dan kepenuhan jiwa
Tidak tanggung tidak alang kepalang
Ya Allah Ya Rabbi
Sekelumit hidup yang Engkau hadiahkan
dalam kebesaran dan kedalaman kasih-Mu, tiada berwatas
akan kukembangkan, semarak, semekar-mekarnya
sampai saat terakhir nafasku Kau relakan
Ketika Engkau memanggilku kembali kehadirat-Mu
Ke dalam kegaiban rahasia keabadian-Mu
Dimana aku menyerah tulus sepenuh hati
Kepada keagungan kekudusan-Mu,
Cahaya segala cahaya
Toya Bongkah, 24 April 1989
KEPADA KAUM MISTIK
I
Engkau mencari Tuhanmu di malam kelam
Bila sepi mati seluruh bumi
Bila kabur menyatu segala warna
Bila umat manusia nyenyak terhenyak
Dalam tilam, lelah lelap.
Tahulah aku, Tuhanmu Tuhan diam kesunyian!
Tetapi aku bertemu Tuhanku di siang-terang
Bila dunia ramai bergerak
Bila suara memenuhi udara
Bila nyata segala warna
Bila manusia sibuk bekerja
Hati jaga, mata terbuka
Sebab Tuhanku Tuhan segala gerak dan kerja
Aku berbisik dengan Tuhanku
dalam kembang bergirang rona
Aku mendengar suara Tuhanku
dalam deru mesin terbang diatas kepalaku
Aku melihat Tuhanku
dalam keringat ngalir orang sungguh bekerja
II
Berderis decis jelas tangkas
Tangan ringan tukang pangkas
Menggunting ujung rambutku
Jatuh gugur bercampur debu
Aku melihat Tuhanku Akbar
Ujung rambut di tanah terbabar
Teman, aku gila katamu?
Wahai, kasihan aku melihatmu
Mempunyai mata, tiada bermata
Dapat melihat, tak pandai melihat
Sebab beta melihat Tuhan di-mana2
Diujung kuku yang gugur digunting
Pada selapa kering yang gugur ke tanah
Pada matahari yang panas membakar
Engkau mencari Tuhanmu di malam kelam
Bila sepi mati seluruh bumi
Bila kabur menyatu segala warna
Bila umat manusia nyenyak terhenyak
Dalam tilam, lelah lelap.
Tahulah aku, Tuhanmu Tuhan diam kesunyian!
Tetapi aku bertemu Tuhanku di siang-terang
Bila dunia ramai bergerak
Bila suara memenuhi udara
Bila nyata segala warna
Bila manusia sibuk bekerja
Hati jaga, mata terbuka
Sebab Tuhanku Tuhan segala gerak dan kerja
Aku berbisik dengan Tuhanku
dalam kembang bergirang rona
Aku mendengar suara Tuhanku
dalam deru mesin terbang diatas kepalaku
Aku melihat Tuhanku
dalam keringat ngalir orang sungguh bekerja
II
Berderis decis jelas tangkas
Tangan ringan tukang pangkas
Menggunting ujung rambutku
Jatuh gugur bercampur debu
Aku melihat Tuhanku Akbar
Ujung rambut di tanah terbabar
Teman, aku gila katamu?
Wahai, kasihan aku melihatmu
Mempunyai mata, tiada bermata
Dapat melihat, tak pandai melihat
Sebab beta melihat Tuhan di-mana2
Diujung kuku yang gugur digunting
Pada selapa kering yang gugur ke tanah
Pada matahari yang panas membakar
19 Oktober 1937
SELALU HIDUP
Dan ketika aku melihat dari kebunku kebawah
ke sawah tunggul jerami di tanah yang rekah,
dan dari sana memandang ke bukit kering merana,
terus ke hutan hijau dibaliknya,
sampai ke gunung yang permai bersandar di langit biru,
maka masuklah bisikan kedalam hatiku:
Hidup ialah maju bergerak,
selalu, selalu maju bergerak,
gembira berjuang dari tingkat yang satu ke tingkat
yang lain.
…………………………………..
Topan, datanglah engkau menyerang!
Malang, datanglah engkau menghalang!
Kecewa, engkaupun boleh datang mendera!
Badanku boleh terhempas ke bumi!
Hatiku boleh hancur terbentur!
Wahai, teman, besi baja yang keras
hanya dapat ditempa dalam api yang panas.
Dan Tuhan,
berikan aku api senyala-nyalanya!
Tiap-tiap beta keluar dari nyalamu,
terlebur dalam bakaran apimu,
nampak kepada beta:
Dunia bertambah jelita!
Diriku bertambah terkurnia!
Dan engkau, Tuhan, bertambah mulia!
21 Agustus 1937
Mengapa bermenung mengapa bermurung?
Mengapa sangsi mengapa menanti?
Menarik menunda badai dahsyat
seluruh buana tempat ngembara
Ria gembira mengejar berlari
anak air di gunung tinggi
memburu ke laut sejauh dapat
Lihat api merah bersorak
naik membubung girang marak
mengutus asap ke langit tinggi!
Mengapa bermenung mengapa bermurung?
Mengapa sangsi mengapa menanti?
Hidup di dunia hanya sekali
Jangkaukan tangan sampai ke langit
Masuk menyelam ke lubuk samudra
Oyak gunung sampai bergerak
Bunyikan tagar berpancar sinar
Empang sungai membanjiri bumi
Aduk laut bergelombang gunung
Gegarkan jagat sampai berguncang
Jangan tanggung jangan kepalang
Lenyaplah segala mata yang layu
Bersinarlah segala wajah yang pucat
Gemuruhlah memukul jantung yang lesu
Gelisahlah bergerak tangan
Terus berusaha selalu bekerja
Punah
Punahlah engkau segala yang lesu
Aku hendak melihat
api hidup dahsyat bernyala,
menyadar membakar segala jiwa.
Aku hendak mendengar
jerit perjuangan garang menyerang
langit terbentang hendak diserang.
Aku hendak mengalami
bumi berguncang orang berperang
Urat seregang mata menantang
12 Januari 1938