10 Contoh Puisi D. Zawawi Imron

0
Zawawi Imron dan Contoh Karyanya - Sastrawan yang sering menyisipkan akar lokal budaya daerah ini lahir di Batang-batang, Sumenep, Madura, 1945. Zawawi Imron merupakan Sastrawan Indonesia yang mengharumkan dan mengangkat citra Madura yang termaginalkan. Beliau patut diacungi jempol melihat pendidikan beliau yang tidak tamat sekolah, tapi mampu menjadi sastrawan Indonesia yang nama dan karyanya sudah di perhitungkan di tingkat Nasional dan Internasional.

Berbeda pula dengan Chairil Anwar yang memuja Barat, pemujaan Zawawi terhadap Madura dibarengi penerimaan wajar terhadap kemodernan Indonesia sehingga ia tidak dirundung gelisah dalam bentuk ucap puisinya. Zawawi tidak pernah terlepas dari akar lokal budaya (Madura) dan juga tidak menjauhkan diri dari kemodernan Indonesia sebagai kenyataan yang wajar. Justru di antara keduanya berjalan beriringan, saling mengisi, memahami, dan memberi.

Beberapa karya besarnya antara lain: Semerbak Mayang (1977), Madura Akulah Lautmu (1978), Celurit Emas (1980), Bulan Tertusuk Ilalang (1982), Nenek Moyangku Airmata (1985), Berlayar di Pamor Badik (1994), Bantalku Ombak Selimutku Angin (1996), Lautmu Tak Habis Gelombang (1996), Madura Akulah Darahmu (1999), dan Kujilat Manis Empedu (2003). Beberapa sajaknya telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris, Belanda dan Bulgaria.

Khusus pada kumpulan puisi “Berlayar di Pamor Badik” diakui Zawawi sebagai refleksi tentang alam, manusia, dan kebudayaan Sulawesi Selatan (Sulsel), khususnya Bugis-Makassar. Meski Zawawi bukan putra Sulsel, dia sangat mengagumi budaya dan tradisi daerah tersebut. 

Buku kumpulan sajaknya, “Nenek Moyangku Airmata” mendapat hadiah Yayasan Buku Utama Departemen P & K (1985). Kemudian “Celurit Emas” dan “Nenek Moyangku Airmata” terpilih sebagai buku puisi terbaik Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Zawawi yang juga penerima hadiah utama penulisan puisi ANteve dalam rangka HUT RI ke-50 (1995) ini, pernah menjadi pembicara dalam Seminar Majlis Bahasa Brunei Indonesia Malaysia (MABBIM) dan Majlis Asia Tenggara (MASTERA) Brunei Darussalam (Maret 2002), serta pernah tampil dalam acara kesenian Winter Nachten di Belanda (2002). Di dalam tahun 2011, puisinya yang berjudul “Kelenjar Laut” mendapat penghargaan hadiah sastra Asia Tenggara dari Kerajaan Malaysia di Kuala Lumpur. Hadiah diserahkan langsung oleh Wakil Perdana Menteri Malaysia Tan Sri Muhyiddin Yassin. “Puisi ini merupakan hasil pengembaraan rohaniah saya dalam memandang orang kecil dan cinta Tanah Air,” kata Zawawi.


Berikut 10 contoh puisi Zawawi Imron yang bisa Sobat simak.

CELURIT EMAS

roh-roh bebunga yang layu sebelum semerbak itu
mengadu ke hadapan celurit yang ditempa dari
jiwa. celurit itu hanya mampu berdiam tapi ke-
tika tercium bau tangan
                            yang
                            pura-pura mati dalam terang
                            dan
                            bergila dalam gelap
ia jadi mengerti: wangi yang menunggunya di se-
berang. meski ia menyesal namun gelombang masih
ditolak singgah ke dalam dirinya

nisan-nisan tak bernama bersenyuman karena ce-
lurit itu akan menjadi taring langit, dan mata-
hari akan mengasahnya pada halaman-halaman ki-
tab suci.

celurit itu punya siapa?
amin!

(1984)


DI BUKIT WAHYU

Tengah hari di bukit wahyu kubaca Puisi-Mu. Aku tak tahu
manakah yang lebih biru, langitkah atau hatiku?
“Kun!” perintah-Mu. Maka terjadilah alam, rahmat dan sorga.
Bahkan di hidung anjing Kaubedakan sejuta bau.
Dalam jiwaku kini hinggap sehelai daun yang gugur.
Selanjutnya senandung, lalu matahari mundur ke ufuk timur,
waktu pun kembali pagi. Di mata embun membias rentetan riwa-
yat, mengeja-eja desir darahku. Ada selubung lepas dariku,
angin pun bangkit dari paruh kepodang di pucuk pohon
kenanga.

(1979)


NENEK MOYANGKU AIRMATA

“bisikanlah kepada angin, perihal terompah kayu yang diketemukan di gunung sejarah itu!” kata air bah yang tak sampai menimbulkan banjir. Dahulu di gunung itu terjadi perang antara mentimun melawan durian. Lewat luka mayat-mayat yang bergelimpangan, tersabdalah sebuah firman, lantaran yang menang kekuasaan.

dan kabar yang ramai tersiar, di gunung itu ada bayang-bayang menabur kembang

(1979)


IBU

kalau aku merantau lalu datang musim kemarau
sumur-sumur kering, daunan pun gugur bersama reranting
hanya mataair airmatamu ibu, yang tetap lancar mengalir

bila aku merantau
sedap kopyor susumu dan ronta kenakalanku
di hati ada mayang siwalan memutikkan sari-sari kerinduan
lantaran hutangku padamu tak kuasa kubayar

ibu adalah gua pertapaanku
dan ibulah yang meletakkan aku di sini
saat bunga kembang menyemerbak bau sayang 
ibu menunjuk ke langit, kemudian ke bumi
aku mengangguk meskipun kurang mengerti

bila kasihmu ibarat samudra 
sempit lautan teduh
tempatku mandi, mencuci lumut pada diri
tempatku berlayar, menebar pukat dan melempar sauh
lokan-lokan, mutiara dan kembang laut semua bagiku
kalau aku ikut ujian lalu ditanya tentang pahlawan 
namamu ibu, yang akan kusebut paling dahulu
lantaran aku tahu
engkau ibu dan aku anakmu

bila aku berlayar lalu datang angin sakal 
Tuhan yang ibu tunjukkan telah kukenal

ibulah itu, bidadari yang berselendang bianglala
sesekali datang padaku
menyuruhku menulis langit biru 
dengan sajakku

(1966)


MADURA, AKULAH DARAHMU

Di atasmu, bongkahan batu yang bisu
Tidur merangkum nyala dan tumbuh berbunga doa
Biar berguling di atas duri hati tak kan luka
Meski mengeram di dalam nyeri cinta tak kan layu

Dan aku
Anak sulung yang sekaligus anak bungsumu
Kini kembali ke dalam rahimmu, dan tahulah
Bahwa aku sapi kerapan
Yang lahir dari senyum dan airmatamu

Seusap debu hinggaplah, setetes embun hinggaplah,
Sebasah madu hinggaplah
Menanggung biru langit moyangku, menanggung karat
Emas semesta, menanggung parau sekarat tujuh benua

Di sini
Perkenankan aku berseru:
-madura, engkaulah tangisku

bila musim labuh hujan tak turun
kubasuhi kau dengan denyutku
bila dadamu kerontang
kubajak kau dengan tanduk logamku
di atas bukit garam
kunyalakan otakku
lantaran aku adalah sapi kerapan
yang menetas dari senyum dan airmatamu
aku lari mengejar ombak, aku terbang memeluk bulan
dan memetik bintang-gemintang
di ranting-ranting roh nenekmoyangku

di ubun langit kuucapkan sumpah:
-madura, akulah darahmu.

(1966)


PEMANDANGAN

Kubiarkan bakau-bakau di rawa pantai itu melanjutkan pesanmu,
            awan jingga, langit jingga, angin jingga dan laut jingga
Riak air yang belas padaku mengiba sepanjang lagu, dahan-
dahan yang sudah mati kembali menari-nari menyambut
embunmu senjahari
Di tengah laut namamu bermain cahaya, aku sangat ingin ke sana
            Tapi terasa dengan sampan seribu tahun aku tak sampai
Dengan keharuan, mungkinkah cukup satu denyutan?

(1978)


PERJALANAN LAUT

dalam begini, meski bisa kutebak kabut yang besok akan meledak, renyai musim labuh akan menunggu kuncup bersujud dalam kelopak.
            hai, camar-camar yang nakal, kenalkah kalian pada merpati putik milik pertapa?
            bisik-bisik berangkat ke dalam gua, tapi gua itu sepi, ular-ular pada bernyanyi menuju laut karena wangsit ternyata boneka cantik yang berisikan bom waktu.
            ketika kutulis sajak ini aku tersenyum sendiri karena gagal meniru 
            teriak gagak.
            lampu-lampu memainkan laut, malam memainkan api, jiwaku yang
berpencalang bulan sabit kadang mengambang atas pasang dan
tenggelam dalam surut

(1978)


TONGGAK

Tonggak batas khayal dan kenyataan itu belum juga ditancapkan. Aku menunggu. Tapi siapa yang harus kutunggu? Bintang-bintang hanya memainkan kedipan dan kembang-kembang hanya memberi anjuran agar kubuat jubah sutra buat patung lilinku yang tersimpan dalam kereta mayat yang tak terpakai.
Aku inginkan sunyi, maka berilah aku sunyi yang letih! Topan yang menggulung-gulung khayal dan kenyataan itu belum terantuk kebosanan. Aku inginkan roti, lalu kauberi roti sisa sakramen dalam mimpi para penganggur. Pada gelap yang utuh kulihat sekalias senyum hari esokku. Inikah bahagia itu?

(1981)


UNDANGAN

Undangan itu telah kudengar lewat suara beburung di ujung malam. Siapakah yang mengibas-ngibaskan angin ke permukaan darahku? Kelam pun lelah, lalu menyembah di puncak hatiku yang meruncing di atas
bukit.
Bergetar pagi di bawah bendera kabut, nilai-nilai pun bergeser. Setelah kertas tua itu menghampar diri aku berlari di atasnya. Binatang-binatang yang sempat kupungut semalam kini berceceran bersama jejak-jejak
milikku.
Dari tempat yang akan kutuju terdengar bunyi bommu, aku takut untuk maju karena mulut maut pasti di situ. Tapi anginmu berhembus
kencang hingga aku dibawa terbang. Ternyata di sana sejukmu sedang kaubagi

(1981)


ZIKIR

alif, alif, alif!
alifmu pedang di tanganku
susuk di dagingku, kompas di hatiku
alifmu tegak tak bercagak, meliut jadi belut
hilang jadi angan, tinggal bekas menetaskan
                                          terang
                                          hingga aku
                                          berkesiur
                                          pada
                                          angin kecil
                                          takdir-
                                          mu

hompimpah hidupku, hompimpah matiku.
hompimpah nasibku, hompimpah, hompimpah,, hompimpah!
kugali hatiku dengan linggis alifmu
hingga lahir mataair, jadi sumur, jadi sungai,
jadi laut, jadi samudra dengan sejuta gelombang
mengerang menyebut alifmu
alif-alif, alif!

alifmu yang satu
tegak di mana-mana

(1983)
Tags

Post a Comment

0Comments
Post a Comment (0)

#buttons=(Accept !) #days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !