Seorang pria muda baru pulang berbelanja dari sebuah minimarket. Biasanya usai belanja keceriaannya terpancar berlipat-lipat. Namun, kali ini selain kesenduan, sumpah serapah juga mengalir dari mulutnya. Dia baru saja kehilangan helm barunya.
“Aku sengaja beli helm mahal supaya tahan lama. Tapi malah digondol maling keparat itu!” omelnya.
Semalaman dia mengomel terus dengan muka marah padam. Para pegawai minimarket hanya mengerut ketakutan saat dikomplain soal kehilangan tersebut. Dia betul-betul kecewa dan marah besar atas kejadian tersebut.
“Kalau maling itu kutemukan, dia pasti kucincang-cincang sampai lumat.”
Sesampainya dirumah, istrinya bertanya, “Apa yang kaurasakan saat ini?”
“Aku sengaja beli helm mahal supaya tahan lama. Tapi malah digondol maling keparat itu!” omelnya.
Semalaman dia mengomel terus dengan muka marah padam. Para pegawai minimarket hanya mengerut ketakutan saat dikomplain soal kehilangan tersebut. Dia betul-betul kecewa dan marah besar atas kejadian tersebut.
“Kalau maling itu kutemukan, dia pasti kucincang-cincang sampai lumat.”
Sesampainya dirumah, istrinya bertanya, “Apa yang kaurasakan saat ini?”
Suaminya menjelaskan dengan suara tinggi, “Kepalaku pusing, pandanganku berkunang-kunang, darahku mendidih, selera makanku hilang.”
Beruntunglah Pria itu mempunyai Istri yang pandai menghibur dan menggembirakan sang suami.
“Bukan hanya helm yang berhasil dicuri maling itu, tapi juga kebahagiaan hidupmu, sayang. Bila kau terus-terusan marah, penyakit darah tinggimu akan kambuh, pikiran jadi kacau hingga tak bisa mencari nafkah dengan baik. Jika kau ikhlas dan lebih berhati-hati dilain waktu, pikiranmu akan tenang sehingga bisa mencari rezeki yang lebih banyak. Insya Allah, rezeki yang diperoleh dengan ketenangan itu melebihi harga helm yang hilang,” terang istrinya.
“Aku menabung lama untuk membeli helm mahal itu. Aku belum bisa menerima kenyataan ini, aku tak rela,” ungkap suaminya masih kesal.
“Baiklah, maukah kau mendengar kisah tentang orang saleh yang tak mau kehilangan kebahagiaannya? ” tanya istrinya.
Suami yang kelelahan akibat kehabisan energi meluapkan amarah itu tak punya pilihan kecuali menyetujui tawaran istrinya. Si istri pun memulai ceritanya:
Suatu hari seorang musafir mengalami kejadian buruk ditempat baik. Sengaja dia datang ke masjid guna menunaikan ibadah beribadah kepada Allah. Tak ada perbuatan buruk yang dilakukannya ditempat suci itu. Bahkan doa yang dipanjatkan kepada Allah SWT hanyalah yang berkaitan dengan kebaikan.
Seusai shalat, musafir itu keluar dari masjid. Ternyata sandal satu-satunya hilang dari tempat semula. Semua orang di sana telah ditanyai, tapi tak seorang pun yang mengetahui ke mana raibnya. Masjid itu dia kelilingi. Setiap inci diperhatikan, siapa tahu sandal itu terselip atau terlempar jauh. Namun, segala upaya tak menghasilkan apa-apa, sandalnya raib digondol entah siapa.
Bagaimana dia akan melanjutkan perjalanan jauh tanpa alas kaki? Sementara itu, dia tak punya cukup uang untuk membeli sandal baru. Di zaman itu sandal adalah barang yang sangat mewah, hanya segelintir orang yang sanggup memilikinya.
Musafir malang itu menangis tersedu-sedu dipelataran masjid. Kesedihannya amat mendalam hingga tak malu meneteskan air mata didepan umum. Namun, tidak seorang pun datang menghiburnya, sekadar bertanya penyebab kesedihannya. Dia betul-betul sendirian menghadapi masalahnya.
Tangisannya terhenti saat sesosok istimewa melintas dihadapannya. Orang itu tersenyum sangat indah hingga orang lain merasakan kedamaian. Senyuman itu bahkan menghentikan tangisan orang yang tengah bersedih. Hal yang mengagetkan, ternyata sosok yang menakjubkan itu tidak punya kaki sama sekali alias buntung.
Suatu hari seorang musafir mengalami kejadian buruk ditempat baik. Sengaja dia datang ke masjid guna menunaikan ibadah beribadah kepada Allah. Tak ada perbuatan buruk yang dilakukannya ditempat suci itu. Bahkan doa yang dipanjatkan kepada Allah SWT hanyalah yang berkaitan dengan kebaikan.
Seusai shalat, musafir itu keluar dari masjid. Ternyata sandal satu-satunya hilang dari tempat semula. Semua orang di sana telah ditanyai, tapi tak seorang pun yang mengetahui ke mana raibnya. Masjid itu dia kelilingi. Setiap inci diperhatikan, siapa tahu sandal itu terselip atau terlempar jauh. Namun, segala upaya tak menghasilkan apa-apa, sandalnya raib digondol entah siapa.
Bagaimana dia akan melanjutkan perjalanan jauh tanpa alas kaki? Sementara itu, dia tak punya cukup uang untuk membeli sandal baru. Di zaman itu sandal adalah barang yang sangat mewah, hanya segelintir orang yang sanggup memilikinya.
Musafir malang itu menangis tersedu-sedu dipelataran masjid. Kesedihannya amat mendalam hingga tak malu meneteskan air mata didepan umum. Namun, tidak seorang pun datang menghiburnya, sekadar bertanya penyebab kesedihannya. Dia betul-betul sendirian menghadapi masalahnya.
Tangisannya terhenti saat sesosok istimewa melintas dihadapannya. Orang itu tersenyum sangat indah hingga orang lain merasakan kedamaian. Senyuman itu bahkan menghentikan tangisan orang yang tengah bersedih. Hal yang mengagetkan, ternyata sosok yang menakjubkan itu tidak punya kaki sama sekali alias buntung.
Musafir itu bergumam, “Dia yang kehilangan dua kaki saja masih bisa tersenyum bahagia. Dia bahagia dengan takdirnya. Sementara aku yang hanya kehilangan sandal malah berduka cita. Bukan cuma sandal yang hilang tapi juga kebahagiaanku.”
Istri itu menutup ceritanya dengan menyuguhkan segelas air putih.
Istri itu menutup ceritanya dengan menyuguhkan segelas air putih.
Suaminya berujar, “Ya, harusnya aku bersyukur cuma helm yang hilang, bukan kepalaku.”
“Apa yang di sisi kalian pasti akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah pasti kekal.” (An-Nahl: 96)
“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia, tetapi amalan-amalan yang kekal lagi shalih adalah lebih baik pahalanya di sisi Rabbmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.” (Al-Kahfi: 46)