Hasan Al Banna merupakan penulis dan penggiat teater yang lahir di Padang Sidempuan, 3 Desember 1978. Ia menyelesaikan SD, MTsN, dan MAN 1 Padang Sidempuan serta menyelesaikan Program S1 Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FBS Universitas Negeri Medan (Unimed). Mulai menulis sejak bergabung dengan teater LKK Medan tahun 1999, antara lain tersebar di Mimbar Umum, Analisa, Waspada, Medan Bisnis, Harian Global, Andalas, Riau Pos, Sagang, Sabili, Lampung Post, Suaru Pembaruan, Republika, Suara Merdeka, Jurnal Nasional, Jurnal Cerpen Indonesia, Koran Tempo, Kompas, Horison, Tapian, dan Gong.
Hasan mulai senang membaca puisi sejak masih duduk di bangku SD, namun ia baru benar-benar jatuh hati pada dunia sastra—terutama dalam menulis—ketika menjadi mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Negeri Medan (Unimed). Tahun 1999, Hasan mulai berkecimpung di Teater LKK Unimed. Saat itulah, sedikit demi sedikit, pria keturunan Minangkabau ini membangun kerajaan mimpinya di dunia yang aktif digelutinya sekarang.
Ia kerap terlibat (sebagai kru, pelakon, penulis naskah, dan sutradara) dalam berbagai pementasan teater bersama teater LKK Generasi, teater LKK Unimed, Teater Siklus Ind. Art, Teater Patria, antara lain di Medan, Banda Aceh, Padang, Pekan Baru, Lampung, Jakarta, serta Yogyakarta. Kini bekerja di Balai Bahasa Medan, juga dosen luar biasa di FBS Unimed.
Di samping menulis, Hasan juga bergulat dalam berbagai pementasan teater dan pertunjukan sastra. Beberapa kali ia terlibat dalam pagelaran yang digelar di Medan, Banda Aceh, Padang, Pekanbaru, Jambi, Lampung, Jakarta, dan Yogyakarta. Dibidang ini, tak sedikit prestasi yang ditorehkan oleh putra daerah yang sehari-harinya bekerja sebagai PNS di Balai Bahasa Medan, Depdiknas. Hasan memenangkan cukup banyak perlombaan baik kiprahnya sebagai pelakon, maupun sutradara.
Ia kerap terlibat (sebagai kru, pelakon, penulis naskah, dan sutradara) dalam berbagai pementasan teater bersama teater LKK Generasi, teater LKK Unimed, Teater Siklus Ind. Art, Teater Patria, antara lain di Medan, Banda Aceh, Padang, Pekan Baru, Lampung, Jakarta, serta Yogyakarta. Kini bekerja di Balai Bahasa Medan, juga dosen luar biasa di FBS Unimed.
Di samping menulis, Hasan juga bergulat dalam berbagai pementasan teater dan pertunjukan sastra. Beberapa kali ia terlibat dalam pagelaran yang digelar di Medan, Banda Aceh, Padang, Pekanbaru, Jambi, Lampung, Jakarta, dan Yogyakarta. Dibidang ini, tak sedikit prestasi yang ditorehkan oleh putra daerah yang sehari-harinya bekerja sebagai PNS di Balai Bahasa Medan, Depdiknas. Hasan memenangkan cukup banyak perlombaan baik kiprahnya sebagai pelakon, maupun sutradara.
Berikut 5 Contoh Cerpen Hasan Al Banna yang pernah dimuat di harian Kompas, simak ya Sob...
15 Hari Bulan
Di usia yang sudah condong ke barat—begitu Uwak Bandi menggelar masa tuanya—tak ada lagi angan-angan untuk kaya. Menunaikan rukun Islam kelima adalah mutiara keinginannya sebelum ruhnya diraut maut. Uwak Bandi mengerti, seperti kata kebanyakan orang, kaya itu titi utama menuju Tanah Suci. Namun, ia masih percaya, hasratnya akan terkabul dengan niat yang terus mengepul. Tentu ia sadar, niat tersebut harus ditopang kerja keras dan doa. Soal biaya? Ah, bukankah rezeki seumpama teka-teki, sulit-sulit mudah untuk diselidiki?
BACA LEBIH LANJUT >>>
Rumah Amangboru
Belakangan, tak mudah bagi Haji Sudung membongkar timbunan peristiwa silam di bilik kenangannya. Peristiwa-peristiwa tak ubah barang rongsokan. Semacam lempengan-lempengan besi tua yang menelungkup dan berkarat. Ya, usia begitu tangguh menyusutkan tubuh, mengangsurkan penyakit demi penyakit, termasuk melumpuhkan ingatan. Kalaupun ada lempengan yang masih berkilau, adalah hal yang kerap membikin cekung mata Haji Sudung basah. Selain kematian istrinya empat tahun lampau, masa meninggalkan tanah kelahiran setahun lalu senantiasa meremas dadanya.
BACA LEBIH LANJUT >>>
Sampan Zulaiha
Ia mengekori bapaknya yang berjalan beriring dengan Nurdin. Tangan kiri bapaknya menenteng sejumlah bubu bambu perangkap ikan, juga beberapa bubu nilon penjerat kepiting. Tangan kanannya menggenggam sepasang dayung. Nurdin, meski usianya kurang sepuluh tahun, enteng saja menggendong segulung jala dan menjinjing bekal. Maklum, sejak usia tujuh tahun, adik laki-lakinya itu sudah melaut bersama bapaknya. Zulaiha iri. Ia juga kepingin melaut. Tapi keinginan itu ibarat ikan hendak berenang di genangan langit! Angannya sering berkelana; menunggang sampan, menghirup wangi laut, dan membiarkan pias laut menyerpih di wajahnya. Nikmat!
BACA LEBIH LANJUT >>>
Tiurmaida
Amang oi! Kontan ia melonjak setengah berteriak. Induk jarinya pecah bercucur darah. Sambil menggendong tangan kirinya yang kebas, ia bergegas turun ke bawah. Mencari daun pagapaga untuk dikunyah, sesegera mungkin dilumurkan ke jarinya yang terbelah. Biasanya, pagapaga yang sudah bercampur ludah itu ampuh menyumpal luka yang merekah. Nian berhenti pula semburan darah. Tinggal menanggungkan denyutnya saja, seperti menahankan desakan puluhan jarum yang datang bergelombang menusuk ulu luka. Tentu perihnya yang meletup-letup itu akan mengombang-ambingkan tidurnya malam ini.
BACA LEBIH LANJUT >>>
Ceracau Ompu Gabe
“Ompu Gabe?” sergap seorang anak muda pada sebuah petang yang basah. Belum sempurna angguk Ompu Gabe, anak muda itu sudah mengeluarkan sebilah perintah dan gumaman aneh, “…ke lapo tuak terdekat! Mmh, aku suka naik becak siantar….”
Meski dilanda kecengangan, Ompu Gabe mengengkol sepeda motor peninggalan Perang Dunia II itu. Lantas dengan suara yang gederubum tak ubah letupan meriam, Ompu Gabe mengantar penumpangnya dengan becak khas kota Siantar kepunyaannya. Tapi rupanya kecengangan lain menyongsong. Tiba di tujuan, anak muda itu memang bergegas turun. Tapi ia tidak menyodorkan ongkos, hanya menjulurkan tangan, “Marihot….” katanya sambil menggeser senyum ke pipi kiri.
BACA LEBIH LANJUT >>>
Demikian ulasan mengenai biografi dan 5 contoh cerpen karya Hasan Al Banna yang bisa sobat simak. Mudah-mudahan bermanfaat ya...
15 Hari Bulan
Di usia yang sudah condong ke barat—begitu Uwak Bandi menggelar masa tuanya—tak ada lagi angan-angan untuk kaya. Menunaikan rukun Islam kelima adalah mutiara keinginannya sebelum ruhnya diraut maut. Uwak Bandi mengerti, seperti kata kebanyakan orang, kaya itu titi utama menuju Tanah Suci. Namun, ia masih percaya, hasratnya akan terkabul dengan niat yang terus mengepul. Tentu ia sadar, niat tersebut harus ditopang kerja keras dan doa. Soal biaya? Ah, bukankah rezeki seumpama teka-teki, sulit-sulit mudah untuk diselidiki?
BACA LEBIH LANJUT >>>
Rumah Amangboru
Belakangan, tak mudah bagi Haji Sudung membongkar timbunan peristiwa silam di bilik kenangannya. Peristiwa-peristiwa tak ubah barang rongsokan. Semacam lempengan-lempengan besi tua yang menelungkup dan berkarat. Ya, usia begitu tangguh menyusutkan tubuh, mengangsurkan penyakit demi penyakit, termasuk melumpuhkan ingatan. Kalaupun ada lempengan yang masih berkilau, adalah hal yang kerap membikin cekung mata Haji Sudung basah. Selain kematian istrinya empat tahun lampau, masa meninggalkan tanah kelahiran setahun lalu senantiasa meremas dadanya.
BACA LEBIH LANJUT >>>
Sampan Zulaiha
Ia mengekori bapaknya yang berjalan beriring dengan Nurdin. Tangan kiri bapaknya menenteng sejumlah bubu bambu perangkap ikan, juga beberapa bubu nilon penjerat kepiting. Tangan kanannya menggenggam sepasang dayung. Nurdin, meski usianya kurang sepuluh tahun, enteng saja menggendong segulung jala dan menjinjing bekal. Maklum, sejak usia tujuh tahun, adik laki-lakinya itu sudah melaut bersama bapaknya. Zulaiha iri. Ia juga kepingin melaut. Tapi keinginan itu ibarat ikan hendak berenang di genangan langit! Angannya sering berkelana; menunggang sampan, menghirup wangi laut, dan membiarkan pias laut menyerpih di wajahnya. Nikmat!
BACA LEBIH LANJUT >>>
Tiurmaida
Amang oi! Kontan ia melonjak setengah berteriak. Induk jarinya pecah bercucur darah. Sambil menggendong tangan kirinya yang kebas, ia bergegas turun ke bawah. Mencari daun pagapaga untuk dikunyah, sesegera mungkin dilumurkan ke jarinya yang terbelah. Biasanya, pagapaga yang sudah bercampur ludah itu ampuh menyumpal luka yang merekah. Nian berhenti pula semburan darah. Tinggal menanggungkan denyutnya saja, seperti menahankan desakan puluhan jarum yang datang bergelombang menusuk ulu luka. Tentu perihnya yang meletup-letup itu akan mengombang-ambingkan tidurnya malam ini.
BACA LEBIH LANJUT >>>
Ceracau Ompu Gabe
“Ompu Gabe?” sergap seorang anak muda pada sebuah petang yang basah. Belum sempurna angguk Ompu Gabe, anak muda itu sudah mengeluarkan sebilah perintah dan gumaman aneh, “…ke lapo tuak terdekat! Mmh, aku suka naik becak siantar….”
Meski dilanda kecengangan, Ompu Gabe mengengkol sepeda motor peninggalan Perang Dunia II itu. Lantas dengan suara yang gederubum tak ubah letupan meriam, Ompu Gabe mengantar penumpangnya dengan becak khas kota Siantar kepunyaannya. Tapi rupanya kecengangan lain menyongsong. Tiba di tujuan, anak muda itu memang bergegas turun. Tapi ia tidak menyodorkan ongkos, hanya menjulurkan tangan, “Marihot….” katanya sambil menggeser senyum ke pipi kiri.
BACA LEBIH LANJUT >>>
Demikian ulasan mengenai biografi dan 5 contoh cerpen karya Hasan Al Banna yang bisa sobat simak. Mudah-mudahan bermanfaat ya...