(1)
Anakku,
Mengharapkan kepulanganmu sama saja dengan mengharap abu dari tungku-tungku pembakaran yang tak pernah menyala! Tapi, entah kenapa masih saja ibu bersetia menyia-nyiakan waktu menunggumu. Masih saja sesak dada ibu karena denyut rindu. Masih saja jemari tangan ibu hendak menulis surat untukmu, meski kau tak pernah lagi membalasnya. Ya, masih saja terkenang tentang sekeping waktu saat bayi laki-laki menyembul dari rahim ibu. Terkenang pula saat ngeyak dan rengekmu memecah sunyi di ujung malam. Saat itu, ibu tersentak bangun dan bergegas mengelus-elus kepala culunmu, hingga kau terlelap pulas dalam dekapan ibu.
”Ibu restui kepergianmu, Nak! Tapi, jangan sampai perantauanmu seperti Anak Peluru!”
”Anak Peluru? Maksud ibu?”
”Peluru jika sudah ditembakkan, tak akan kembali ke moncong senapan, bukan?”
”Ibaratkan peluru itu seorang anak, dan moncong senapan itu seorang ibu. Mana ada peluru yang kembali ke moncong senapan setelah ditembakkan? Hengkang dan tak pernah kembali pulang.”
Tiga orang anak yang terpacak dari perut ibu, dan pada setiap prosesi kelahiran itu nyaris sebesar biji Jagung peluh mengucur dari sekujur tubuh ibu karena menanggung rasa sakit, namun hasrat ibu ingin menimang bayi perempuan tak kunjung terwujud. Tiga bayi itu semuanya laki-laki. Abangmu, Rehan, setelah tamat SMU di Payakumbuh, merengek-rengek minta izin untuk merantau. Hendak mengadu nasib ke Jakarta. Ibu gadaikan sebidang sawah untuk modalnya berjualan kaki lima. Berkat kegigihan dan kerja kerasnya, lambat laun ia sukses. Khabar terakhir yang ibu dengar tentang Rehan, ia sudah punya lima toko dan dua puluh orang karyawan. Tapi, sejak menikah dengan perempuan rantau, berkembang biak dan lalu beranak pinak seperti kucing, tak pernah lagi Rehan pulang menjenguk ibu. Lupa jalan pulang atau memang sudah tak berniat pulang?
Lain lagi ceritanya dengan Acin, abangmu yang satu lagi. Setelah lulus jadi polisi, hanya dua tahun sejak berdinas di Aceh, ia berkirim surat minta restu untuk mempersunting gadis kelahiran Takengon. Pada surat itu, Acin berjanji, setelah masa tugasnya berakhir, ia akan mengajukan permohonan agar bisa ditempatkan di Payakumbuh. Acin akan pulang membawa istrinya, dan tinggal bersama ibu. ”Kasihan, ibu sendiri saja di rumah!” katanya. Tapi, seingat ibu itulah surat pertama dan sekaligus surat terakhir Acin untuk ibu. Sejak itu, tak terdengar lagi khabar Acin. Acin tak pernah pulang menjenguk ibu. Lupa jalan pulang atau memang sudah tak berniat pulang?
”Jangan cemas, Bu! Ruz tidak akan menjadi Anak Peluru.”
Rumah kita makin lengang. Hanya kau yang tersisa, Nak! Bapakmu tak bisa diharapkan. Sejak enam tahun lalu, nyaris setiap malam ia bersetia merawat nenek yang sakit-sakitan, sekaligus menjaganya. Delapan orang anak nenek. Dua perempuan dan selebihnya laki-laki, termasuk bapakmu. Kecuali bapakmu, tak satu pun anak-anak nenek yang menyimpan kerinduan pulang menjenguknya, apalagi kerinduan ingin merawatnya. Umurnya sudah berkepala delapan. Bapakmu rela di-perempuan-kan. Mencuci pakaian, menimba air mandi, menyuapkan makan, melayani segala tetek bengek kebutuhan perempuan setua nenek. Jika kau sudah pergi, tentu ibu akan bersendiri. Tanpa bapakmu. Tanpa Rehan, Acin dan juga kau. ”Ruz ingin jadi anak ibu, bukan Anak Peluru!”
(2)
Perempuan itu, Wafa Sulastri. Pelukis yang sedang bergiat di sanggar seni I Nyoman Gunarsa. Lukisan-lukisan karyanya sering dipamerkan di beberapa kota di Pulau Jawa. Selain bergiat sebagai pelukis, ia bekerja sebagai mediator antara buyer-buyer asing yang tertarik untuk membeli produk-produk handycraft khas Jogja dengan para pengrajin sebagai produsen. Saat itu, Wafa sedang bekerja untuk Mrs Palloma, bule perempuan berkebangsaan Spanyol.
Wafa tidak hanya cantik, tapi juga cerdas seperti terlihat dari cara dan gaya bicaranya. Tampak seperti perempuan yang kenyang pengalaman. Bukan perempuan kebanyakan. Pertemanan mereka berlanjut, makin dekat. Makin akrab. Pada sebuah janji makan malam yang mengesankan, Ruz tergoda pada ajakan Wafa untuk menginap di apartemen tempat tinggalnya. Wafa tinggal di apartemen mewah yang tidak jauh dari pusat kota bersama bos bulenya, Palloma. Semula Ruz memang berhasrat hendak menikmati kencan pertamanya itu bersama Wafa. Namun, hasrat lelaki itu padam seketika. Ia gemetar dan setengah menggigil. Saat Wafa melucuti dasternya, Ruz melihat bekas jahitan panjang membelah bagian perutnya. Lebih kurang enam puluh jahitan. Juga bekas cetakan setrika panas di punggungnya, bekas cambukan di pinggangnya, bekas tusukan benda-benda tajam di paha dan kedua betisnya.
”Siapa pelaku penganiayaan ini?”
”Siapa? Katakan!”
Wafa diam. Perlahan-lahan, gerimis merintik dari bola mata coklatnya. Terisak-isak. Tersedu-sedu.
”Aku akan menjadi pendengar yang baik, jika kau mau berbagi.”
”Kau mempercayaiku, bukan? Ceritakanlah!”
”Panjang ceritanya, Mas!”
Wafa adalah korban kesadisan seorang lelaki yang tidak lain adalah suaminya sendiri. Indra Setiawan, begitu ia menyebut namanya. Setahun lalu, mereka tinggal di Denpasar, Bali, dan mengelola beberapa bidang usaha. Entah kenapa, Indra menjadi paranoid, setengah gila dan nyaris mengakhiri hidup Wafa. Tentang Indra, Wafa tidak mau bercerita panjang. ”Belum saatnya!” kata Wafa. Yang jelas, Wafa meninggalkan Bali dan melarikan diri ke kota ini, karena sudah tak tahan lagi menanggung perlakuan kasar suaminya.
”Sejak kapan mulai merokok?”
”Sejak telapak tanganku sering disulut api rokok!” jawab Wafa.
”Mulai minum?”
”Sejak aku sering teler karena setiap hari pangkal telingaku dihantam pukulan keras.”
Begitulah! Wafa sedang rapuh, goyah, dan kadang-kadang sulit dikendalikan. Beberapa kali Ruz menyelamatkan nyawanya dari tindakan konyol melakukan uji coba bunuh diri. Menenggak sebotol sprite dingin yang sebelumnya sudah dicampur bubuk racun tikus. Mengiris-iris urat nadi, bahkan dengan sengaja menabrakkan mobil yang sedang disetirnya. Wafa ingin menyudahi riwayat lukanya dengan cara; Mati. Ruz pernah membawanya ke psikiater. Setelah mempelajari gejala ganjil pada kondisi kejiwaan Wafa, psikiater itu geleng-geleng kepala sembari berbisik kepada Ruz, ”Istri Anda?” Ruz terperangah sambil menelan ludah.
Sejak kedekatannya dengan Wafa, konsentrasi kerja Ruz agak terganggu. Buyar, karena sewaktu-waktu ia mesti bergegas ke rumah sakit setelah mendengar khabar Wafa melakukan uji coba bunuh diri lagi. Tak terhitung lagi berapa kali Wafa diusung ke ruang gawat darurat akibat ulah konyolnya yang selalu ingin mati.
”Kenapa Tuhan enggan merenggut hidupku?”
”Hus… Jangan mengumpati Tuhan! Barangkali kau sedang diuji!”
”Aku sudah tak sanggup menghadapi ujian-Nya!”
”Aku ingin bebas dari ujian-Nya!”
”Dengan cara; Mati?”
”Berarti aku sudah tidak berarti lagi?”
”Kau akan berarti jika mau memberitahuku bagaimana cara mati yang paling cepat!”
Ruz berupaya menyembuhkan sakit Wafa dengan caranya sendiri. Memberikan perhatian penuh. Membujuk agar ia menghentikan kegemarannya mencelakai diri. Ruz tidak perlu mencintai Wafa waktu itu. Barangkali yang ia perlukan hanyalah bagaimana cara agar Wafa bisa sembuh dan situasi mentalnya pulih seperti sediakala. Tapi, demi kesembuhannya, Ruz akan melakukan apa saja. Tanpa sepengatahuan Wafa, diam-diam Ruz menghubungi suami Wafa via email. Meminta dan bermohon agar lelaki itu berkenan melepaskan istrinya. Dasar lelaki bajingan, (tanpa tersinggung sedikit pun) dengan senang hati ia menyerahkan istrinya pada Ruz, bahkan bersedia pula menulis surat pernyataan tidak akan menuntut jika Ruz telah menikahi Wafa, mantan istrinya itu.
”Kualat kau!” batin Ruz.
(3)
Bersusah payah Ruz memohon restu untuk menikahi Wafa. Berkali-kali ia menyurati ibu, juga menyurati sanak famili yang dipercayainya dapat melunakkan sikap keras ibu, namun Ruz gagal. Alih-alih memperoleh restu, justru yang diterimanya caci maki, umpat dan sumpah serapah.
”Ibu tidak melarang kau menikah, tapi tidak dengan perempuan rantau itu!”
”Jangan kuatir, Bu! Ruz tidak akan menjadi Anak Peluru.”
”Mungkin kau tidak akan menjadi Anak Peluru. Tapi, menikah dengan perempuan itu, kau akan jadi Anak Durhaka!’
”Ruz tidak akan melupakan ibu. Kelak, Wafa akan Ruz ajak pulang. Kami akan tinggal di kampung, menjaga dan merawat ibu. Ruz ingin jadi anak ibu!”
”Tidak, Nak! Kau bukan anak ibu lagi, jika tetap menikahi perempuan itu!”
Ruz mengurut dada membaca cercaan dan makian yang tertulis di setiap lembar surat ibu. Ia heran, tak disangka-sangka ibu yang sejak ia balita dikenalnya sebagai perempuan santun, bijak dan amat penyayang, tiba-tiba saja berubah menjadi sangat kasar, tidak penyabar, dan sulit diberi pengertian. Ibu tidak menjelaskan alasan penolakannya pada Wafa. Mencak-mencak, marah-marah, memaki dan mencela tanpa sebab musabab yang jelas. Sentimen hanya karena Wafa perempuan rantau. Ya, Wafa memang perempuan rantau, tapi apa bedanya perempuan rantau dengan perempuan-perempuan lain di ranah ibu? Bukankah Wafa juga seorang perempuan? Dan tentulah juga seorang manusia?
Hari ini entah bilangan tahun yang ke berapa sejak Ruz menikahi Wafa tanpa sepengetahuan ibu. Sejak itu pula, Ruz tak pernah pulang ke ranah ibu. Sama seperti tak pulangnya Rehan dan Acin. Tiga laki-laki itu seperti anak-anak peluru, sekali ditembakkan dari moncong senapan, tak pernah kembali pulang. Sekadar menanyakan keadaaan ibu yang kian lama kian ringkih dan sering sakit-sakitan pun tidak juga. Lupa jalan pulang atau memang sudah tak berniat pulang? Entahlah!
(4)
Anak-anakku; Rehan, Acin dan Ruz…!
Menunggu kepulangan kalian sama saja dengan menunggu sekawanan Kelinci di kandang Macan! Namun, di usia yang sudah berkepala tujuh ini, (entah kenapa) masih saja ibu bersetia menyia-nyiakan waktu menunggu kalian. Masih saja sesak dada ibu karena denyut rindu ingin bertemu kalian. Masih saja jemari tangan ibu hendak menulis surat untuk kalian, meski kalian tak pernah lagi membalasnya. Ya, masih saja terkenang tentang tiga bayi laki-laki yang menyembul dari rahim ibu.
”Sampai kapan ibu harus menunggu kalian?”
”Sampai ibu menemukan alasan untuk tak menunggu kami lagi!”
”Apa alasan paling tepat untuk melupakan kalian, Nak?”
”Kematian! Hanya kematian kami yang mampu memadamkan api rindu ibu!”
Benarkah ibu sungguh-sungguh sedang menunggu? Jangan-jangan ibu tak sedang menunggu kepulangan kalian, tapi menunggu khabar kematian kalian! Bilamana kalian sudah jadi mayat, mungkin saat itu ibu akan berhenti menunggu. Kalau pun ibu masih juga menunggu, itu hanya sekedar membunuh waktu sambil menunggu ajal datang menjemput ibu.
”Bukankah ibu hanyalah moncong senapan dan kalian adalah anak-anak peluru yang telah dimuntahkan?”
Kelapa dua, 2005