Dibawah ini merupakan drama persahabatan remaja setingkat SMP yang memberikan hikmah agar kita semua bisa selalu menjaga lidah dan omongan yang terucap dari mulut kita.
Silahkan disimak ya contoh drama persahabatan untuk 4 orang dibawah ini..
LIDAH TAK BERTULANG
PELAKU
1. IRMA Pelajar SMP
2. ESTI Pelajar SMP
3. JANET Pelajar SMP
4. RENI Pelajar SMP (siswa baru)
Drama berlangsung dengan latar di sebuah warung yang mangkal di pinggir jalan di depan sekolah. Namun warung tersebut masih tutup. Pagi itu cukup cerah ketika Lena, Esti, Janet, dan seorang siswi baru sedang duduk-duduk sambil berbincang-bincang. Irma datang tergopoh-gopoh karena kesiangan.
ADEGAN I
IRMA (heran melihat teman-temannya malah berkumpul di warung Pak Edi)
Hei, kok, masih pada mejeng di sini?
(memandang ke arah kiri panggung)
lho, sekolah kita sepi?
(Esti tidak jadi menjawab karena Irma langsung memotong)
Sebentar-sebentar …
(meletakkan telunjuk menyilang di bibirnya seraya berpikir)
Ini pasti ulah guru-guru kita.
(menatap satu persatu teman-temannya dengan hati-hati)
Mereka sedang rapat, kan?
ESTI
Memangnya kemarin kamu tidak membaca pengumuman di mading? Ketua kelas kita saja mengumumkan di depan kelas.
IRMA
Gimana mau baca? Aku kan nggak masuk sekolah.
JANET
Makanya kalau sekolah yang rajin, sehingga tidak ketinggalan informasi.
IRMA (Menyadari ada anak baru, Irma meliriknya)
Ini siapa, ya?
ESTI
Oya, aku sampai lupa. Kenalkan, ini Reni.
(pada siswi baru)
Ren, kenalkan ini teman kita Irmawati.
(Irma dan Reni bersalaman)
RENI
Reni Ambarsari.
IRMA
Irmawati. Kamu siswa baru di sini?
(Reni mengangguk dengan ramah)
Pindahan dari mana?
RENI
Aku pindah dari Bandung. Dari SMP Negeri 2.
ESTI
Kalian berbincang-bincang dulu, ya! Aku kangen sama toilet dulu.
JANET
Huh, dasar beser! (mengiringi kepergian Esti)
ADEGAN II
JANET
Nah, sekarang mumpung lagi libur. Kita adakan acara perkenalan dengan Reni, bagaimana?
IRMA
Tepat! Tapi sayang, ya, Reni jadi belum bisa berkenalan dengan teman-teman sekelas kita, dan juga guru-guru kita.
(Berwajah menyesal).
JANET
Itu, kan, masih banyak waktu. Besok juga bisa.
(Wajahnya mendadak ceria)
Nah, bagaimana kalau kita ajak Reni ke Monas? Kita makan-makan di sana?
IRMA
Tapi siapa yang bayar?
JANET
Tenang saja! Kan, ada aku. (bergaya bos).
IRMA
Kalau hari ini nggak libur, kamu pasti bisa disambut meriah oleh teman-teman dan guru di sini, Ren. Nanti kamu akan berkenalan dengan guru paling angker di sini. Namanya Pak Nurdin.
RENI (tersenyum penasaran)
Memang ada?
IRMA
Di Bandung pasti nggak ada. Guru ini galaknya nggak ketulungan. Kalau ngajar, nggak ada siswa yang berani berulah. Kalau salah sedikit saja, langsung segala caci maki berhamburan dari mulutnya yang item, tebel, tertutup kumis. Kaca mata tebalnya yang melorot akan terguncang-guncang. Pokoknya seru. Lucunya lagi, kalau dia marah, suka terbatuk-batuk kecapean.
JANET TIDAK KUAT MENAHAN TAWA, SEMENTARA RENI HANYA TERSENYUM
ADEGAN III
ESTI DATANG LAGI DAN DUDUK MENJEJERI RENI.
IRMA (Tidak peduli atas kedatangan Esti dan melanjutkan ceritanya).
Kamu juga bisa melihat kepalanya yang botak dan licin, bahkan tuh, kepala bisa dipakai main pingpong, kali. (Janet semakin terbahak-bahak sementara Reni tetap tersenyum).
ESTI (ingin tahu)
Siapa, Ir?
IRMA
Pak Nurdin, guru Matematika kita.
ESTI
Apa?
(kaget)
Ir!
IRMA
Nih, aku sebutkan teman-teman yang sudah jadi korbannya … (menengadahkan telapak tangannya untuk menghitung, lalu merenung) Pokoknya 90 persen murid di sini pasti sudah pernah kena marahnya.
ESTI
IRMA!
IRMA
Nah, Esti juga pernah disuruh berdiri dengan tangan direntangkan dan kaki diangkat sebelah. Sadis, kan?
ESTI
Ir, sudah, dong! Tidak baik menjelek-jelekkan guru. Nanti kualat kamu!
IRMA
Alah, nggak dijelek-jelekkan juga, memang sudah jelek, kok.
JANET
Lagian, bisa aja si Irma bikin orang ketawa.
(Masih dengan sisa tawanya)
Sudah, ah, tar keburu siang. Gimana acaranya? Jadi tidak?
ESTI
Acara apa?
JANET
Kita mau ngajak Reni jalan-jalan ke Monas. Di sana kan, ada bakso yang enak. Kamu harus ikut! Ini, kan, acara penyambutan teman baru kita.
ESTI
Bagus. Boleh. Aku setuju.
RENI
Tapi, maaf, saya tidak bisa ikut. Lain kali saja, ya? Soalnya saya di sini numpang di rumah Uwa. Tidak enak, kan, baru dua hari sudah berani kelayapan.
IRMA
Memang kamu tinggal di daerah mana?
RENI
Saya tinggal di Benhil. Nanti sewaktu-waktu main bersama Esti.
(bersiap-siap)
Saya pamit dulu, ya. Di rumah banyak pekerjaan.
ESTI
Berani sendiri?
RENI
Berani. Naik 213, kan?
(Esti tersenyum)
Assalamualaikum!
ESTI, JANET, IRMA
Waalaikumsalam.
IRMA
Salam buat Uwanya, ya!
RENI
Insya Allah, nanti saya sampaikan.
KELUAR PANGGUNG SEBELAH KANAN
ADEGAN IV
ESTI
Kenapa harus repot-repot menitip salam buat uwanya pada Reni?
JANET
Memangnya kamu mau menyampaikannya? Pasti uwanya punya anak yang ganteng, kan?
IRMA
Diam-diam rupanya teman kita ini punya simpanan. (senyum menggoda)
ESTI
Uwanya tidak punya anak, kok.
IRMA
Terus kenapa nggak perlu titip salam sama Reni?
ESTI
Setiap hari juga kita ketemu sama uwanya Reni.
IRMA (Semakin heran)
Di mana?
ESTI
Ya, di sekolah kita.
(Memasang tampang tanpa beban).
Uwnya Reni itu … Pak N u r d i n !!!
(Melongok, kaget, terpana sehingga tidak bisa berbicara apa-apa).
JANET (Menarik bahu Esti yang tetap bertampang tanpa beban)
Gila, kamu, Es! Kenapa tidak dari tadi, kamu ngasih tau?
ESTI (Melirik ujung jari-jari tangan Janet yang menempel di bahunya, lalu menatap Janet sejenak)
Kamu tadi tidak ingat ketika aku berkali-kali memotong ucapan dia
(menunjuk ke arah Irma yang dengan lemas duduk di bangku panjang).
JANET
Terus bagaimana, dong, jalan keluarnya? (menghiba pada Esti).
ESTI (Melangkah ke depan dengan tangan mengepal dan tegak)
Begitulah mulut. Jika kita tidak dapat menjaganya, maka akan lebih tajam dari mata pedang. Bahkan ada pepatah Mulutmu Harimaumu.
IRMA (Wajah putus asa, suaranya lemah).
Esti, sahabatku, tolonglah aku! Aku harus bagaimana?
JANET
Jika cerita itu sampai ke telinga Pak Nurdin, oh, aku tidak bisa membayangkan Irma akan dicoreti wajahnya dengan spidol. Lalu disuruh teriak-teriak keliling kelas dengan kalimat,”Pak Nurdin, saya memang bermulut ember!” Dan itu disuruhnya dilakukan berulang-ulang sampai jam pelajaran matematika selesai, oh! (lirih).
IRMA
Janet!
(Membentak, hampir menangis)
Jangan kamu takut-takuti aku seperti itu! Tanpa kamu takuti juga, aku sudah ketakutan.
ESTI
Berdoa saja, semoga Reni tidak menyampaikannya. Jadikan ini sebagai pelajaran buat kita agar bisa memelihara lidah.
IRMA
Baiklah, aku mau bertobat (berlari ke arah kanan)
JANET, ESTI
Ir, tunggu! (berlari mengejar Irma).
** SELESAI **
Dibuat oleh: Drs. U. Nurrochmat