Pengalaman kerja yang Korrie miliki dimulai dari tahun 1978 di Jakarta, dimana beliau bekerja sebagai wartawan dan editor buku untuk sebuah penerbit yang kemudian menjadi seorang penyiar di RRI dan TVRI Studio Pusat, Jakarta. Beliau juga sempat mengajar, serta menjabat sebagai Direktur Keuangan sekaligus merangkap menjadi Redaktur Pelaksana di Majalah Sarinah, Jakarta.
Tahun 2001 Korrie menjadi Pemimpin Umum atau Pemimpin Redaksi koran Sendawar Pos yang terbit di Barong Tangkok, Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur. Disamping itu, beliau juga mengajar di Universitas Sendawar, Melak, Kutai Barat, Kalimantan Timur. Tahun 2004, beliau sempat menduduki kursi anggota Panwaslu Kabupaten Kutai Barat, namun akhirnya memilih mengundurkan diri disebabkan mengikuti proses pencalegan. Oleh konstituen, ia dipercaya untuk mewakili rakyat di DPRD Kabupaten Kutai Barat pada 2004-2009 dan menjabat sebagai Ketua Komisi I. Akan tetapi Korrie tetap aktif menjadi penulis, sebab tugas sebagai jurnalis dan duta budaya. Berbagai karya seperti novel, esai, cerpen, puisi hingga cerita anak telah ditulis olehnya.
Beliau juga telah menerjemahkan kurang lebih 100 judul buku cerita anak dan puluhan cerpen dari cerpenis dunia, seperti Leo Tolstoy, Knut Hamsun, Anton Chekov dan lain sebagainya. Novelnya antara lain Upacara dan Api Awan Asap meraih hadiah Sayembara Mengarang Roman Dewan Kesenian Jakarta, 1976 dan 1998.
Beberapa cerpen, esai, referensi buku cerita film serta karya jurnalistiknya mendapat hadiah dari berbagai macam sayembara. Beberapa cerita anak yang ditulisnya ada yang mendapat hadiah Yayasan Buku Utama, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, yaitu Cuaca di Atas gunung dan Lembah (1985) dan Manusia Langit (1997). Sejumlah buku yang dijadikan bahan bacaan utama dan referensi di tingkat SD, SMP, SMU serta Perguruan Tinggi diantaranya Aliran Jenis Cerita Pendek.
Berikut 20 Contoh Puisi Korrie Layun Rampan yang bisa Sobat simak..
Menunggu laut dan pantai legam
menunggu matahari
Dan seluruh gambar perwujudan
Menunggu malam di sini
menunggu genderang pembebasan
Yang ditabuh ruh-ruh
Dari puncak seribu menara
Menunggu malam di sini
Menunggu kapal-kapal dan sampan nelayan
Menunggu gelepar camar dan harum sayap rama-rama
Serta angin yang membersihkan pelabuhan di malam sisa
Menunggu malam di sini
Menunggu warna-warna mimpi
Yang dipukuli ombak
Menunggu malam di sini
Menunggu bisik-bisik harap
Menunggu langit pijaran api
Dan suara-suara gaib
Melayah ombak yang dahaga sendiri
Ada sejuta serigala
Memburu di cermin wajah kita
Lapar dan ganas
gagak-gagak menyanyi ke arah rimba
Seperti menyayat-nyayat daging kita
Matahari meratap
Dalam remukan-remukan cermin dingin
Telaga mengaca darah hitam
Ada luka yang mengucur darah
Kita ditinggal ngungun bayang cermin ini
Serigala-serigala melulung
Gagak-gagak berteriak
darah tetap mengucur dari luka demi luka
Kita tiba-tiba pecah dan tersentak dalam cermin wajah kita
(O, yang ada
Kita hanya berteriak ‘aduh’ dan meraba-raba)
Bayangan kekasih yang tulus
Pergi bersama matahari
Bumipun pupus segala tuntas dan aus
Juga sunyi nyanyian kudus
Siapa yang menyeru dari balik hari
Mengetuk lukuk likukan nurani
Segala hanyut : jiwa dan hati
Tuhanku yang di pintu menanti ?
Irama yang salih menyeru malam putih
Gadiskukah yang di sana melambai sayup
Aku terhenyak aku masih merangkai tasbih
Menyisir peluru menyisih dosa hujan yang kuyub
Pada meja aku menghabiskan gelas
Tuak dan Tuhan dan kekasih yang tak ternoda
Menyanyikan keras-keras firman dari kitab pada nabi
Seru-Mu dari sunyi : ‘Fajar ! Fajar ! Matahari !’
Gerimis pun memahat-mahat kaca
jendela. Dan di luar pintu
kita masih setia menunggu
musim tak lalu !
Bunga-bunga. Aromanya mengeras
di atas lanyai bumi
Dan kematian selalu memanggil-manggil
usia ! dari balik jendela
nestapa. Mengelupas kita dalam dingin menggigil
Betapa pahit dosa dan cinta
di mulut kita
yang dikunyah : darah
Di jendela tinggal matahari.
Berahi dan bunga sepi.
Senja pun membenam dalam tragedi
Abad ini
jalan ini semakin sunyi
Tapi kita tak sampai-sampai juga
Angin dari relung itu
Semakin runcing
Dan menciptakan garis ungu
Haruskah ke arah lain jalan pantai
kita kawinkan sepi
Antara dua badai?!
Tualang panjang ini
Semakin jauh semakin lengang
Langkah pun lelah menapak juang
Lalu kelepak yang menjauh
Longsong itu
Tanggalan pun jatuh
Tinggallah gerimis renyai
Dan bait-bait sunyi
Ketika jam pun sampai
Menunjuk-nunjuk tempat sepi
Siapakah yang pulang dengan langkah masai
menyandang duka Adam yang pertama
mengempang arus sungai, membadung nasibnya?
Iakah itu pelancong tak bernama.
Menyusur semenanjung tenggara
istirah ke sini. Menawarkan senja dalam desau prahara
setelah lelah mengedangkan jaring nasib melawan bencana
Siapakah masih mengaliri aku, o, sungai derita
rakit-rakit sarat biduk-biduk dan tongkang, detak jantung luka
memeram musim memberat mengimpikan birahi pada pulungnya
lakah itu yang menggedor pintu dan jendela
malam-malam begini. Dukakah itu duka dunia
menyusur sungaiku yang terus mengaliri dasar jiwa
Siapakah yang pulang dengan langkah masai
menyandang duka Adam yang pertama
mengempang arus sungai, membadung nasibnya?
Adalah gerimis tangis zaman
Ketika sekawanan burung luka
Mencakar tangkai jantung derita
Gerimis pagi ini
Adalah gerimis tangis insani
Karena rahang-rahang kemerdekaan
Disekap moncong-moncong pertikaian
Dan tersumpal luka yang tak kunjung tersembuhkan
Gerimis pagi ini
Adalah gerimis tangis kita
Karena di tengah kelu dan borok dunia
Tuhan tetap mengulurkan berjuta sauh cinta
Karena beban seribu jalan
Sukmaku yang gelisah resah
Merangkai sajak tak tersua
Sementara tangan tegang kaku menyandang sunyi
Membusur panah ke jantung waktu
Cintaku yang perih dalam pusat pusaran segala rindu
Memang laut-Mu teramat dalam terduga segala cinta
Dataran lekang kemarau menunggu waktu demi waktu
Adakah kita mampu menyimak segala rahasia
Yang bermain antara gelap dan denyar cahaya?
Adalah semuanya berpulang kepada janji, kepada sunyi
Cinta yang memahat-mahat setiap bait abadi
Bagai hujan yang setia mencuci lantai bumi
Menyelesaikan sebait puisi
Aku terbanting di atas lantai kehidupan
Rebah di tengah galau riuh rendah abad ini
Dan luka-luka
menyusuri langsai-langsai kehidupan
menyusuri luka demi luka
menyusuri gigiran abad padang-padang lengang
menyusuri matahari
dan lautan abadi dahsyat sunyi
Perjalanan ini
menyusuri pantai sukma demi sukma
menyusuri geliat urat-urat hari
menyusuri dasar telaga lembah jiwa
dan tanah hitam coklat merah
sepanjang rentangan tali benang-benang nurani
Perjalanan ini
menyusuri perigi dunia terik kering
adalah jiwa kita yang lelah
Perjalanan ini
menyusuri bumi pahit manis dan langit asing
adalah kita yang sempoyongan menyandang berjuta beban
Perjalanan ini
menyusuri hutan bentangan sepi bentangan api
adalah kita yang menyandang luka dan seribu jalan
adalah kitayang mendukung senja dan sejuta salib
hitam
Bunga-bunga daun luruh
Halaman ditinggal adzan
jalanan senyap lubuk terpendam
Ke ujung tangisan
Suara menyapa dalam luruhan
Beranda sunyi menatap halaman
Apakah engkau apakah bosan
Yang setia berdiri di sisi kesepian
Bunga-bunga daun luruh
Halaman itu sunyi ditinggal diam
Pelangi mencium lubuk dan kolam
Kita pun di sini ngungun dalam gerimis duka jatuh
Menghitung-hitung sukma hari-had dekat dan jauh
Kotaku di sini
Gemuruh yang sunyi
Belantara kembara
ke dasar sukma
ke dalam
Kotaku di sini
Bermatahari berbulan
Di bendulnya aku berdiri
Mengaca diri kehidupan
ke lubuk-Mu dalam
Kotaku di gemuruh dada
Di ujung sukma
Megah
Api nur di sana
BaQa
Kotaku, kota kita
Kota umat
Ke mana suatu kali nanti kita berangkat
Serpotong awan luka
menyingkap wajah-Mu bercadar
Bias larut. Legam laut dan senja tertawa
Ada yang luruh di dada. Busuran ujung langit terbakar
Suratan-Mu mistery beribu khabar
Riap sunyi bayang-bayang. Menyusup bendul luka
Di pantai Nyai Roro Kidul. Menanti kekasih pawang
Dengan sekepal jampi mantera
Dan kucuran darah dari nganga liang-liang luka
Ketika ludah-ludah dunia yang amis
Jatuh rimis pada wajah-wajah kita yang terbakar
Sang waktu pun terbangun dalam angin runcing
Dalam suara gaib lorong-lorong hampa dan bahana cahaya
Ketika kapal-kapal kita pun merapat di dermaga luka
Dari suatu petang entah di mana
Sang waktu pun terbangun dengan 1000 bianglala
Dan nanah-nanah darah Semesta
Karena 29 anak panah
Merobek rahim jantung lukanya
Sang waktu pun terbangun dalam erangan ombak-ombak dunia
Dalam bayang bulan hitam ketika mega jatuh senja
Sang waktu pun terbangun dalam rabu dan nyali kita
Ketika bahana terakhir menikam dinding-dinding sukma semesta
Ketika di meja sebuah kitab terbuka siap dengan daftar nama-nama
Suara gaib itu
Pohon-pohon kadasai
Berjajar membisiki waktu
Ujung cakrawala
Daun violet sayap rama-rama
Sepotong bulan sabit
Mengintip celah-celah luka berdarah
Riap lalang dan kaki-kaki kerbau
Lumpur rawa dan suara serangga
Gigir bukit yang sunyi
Menanti teka-teki
Antara jalanmu jalanku
Sekarang kita sampai
Antara dua siku
Dahulu engkau ke sana
Aku pun melangkah ke anu
Sang Kala memutar kompas di belakang kita
Sekarang engkau dan aku
Engkau memetik melati
Aku menyiapkan api
Engkau menangis di sini
Aku tak tahu akan pergi
Pintu belantara itu terbuka
Burung-burung rimba berkeliaran
Kita telah sampai di ujung jalan
Memandang tamasya di sana
Siapakah engkau siapakah aku
Siapakah kita yang tersedu di ujung jalan itu
Ada sejuta serigala
Memburu di cermin wajah kita
Lapar dan ganas
Gagak-gagak menyanyi ke arah rimba
Seperti menyayat-nyayat daging kita
Matahari meratap
Dalam remukan-remukan cermin dingin
Telaga mengaca darah hitam
Ada luka yang mengucur darah
Kita ditinggal ngungun bayang cermin ini
Serigala-serigala melulung
Gagak-gagak berteriak
Darah tetap mengucur dari luka demi luka
Kita tiba-tiba pecah dan terserak dalam cermin
wajah-wajah kita
(0, Yang Ada
Kita hanya berteriak, "aduh!" dan meraba-raba)
Jalan ini berdebu, kekasih
Terbentang di padang rasa
Enam belas matahari memanah dari enam belas ufuk
Siang pun garang sepanjang kulminasi
Bahak malam mengikut pelan langkah tertatih
Ketipak bulan putih
Di taman kekasih
Pengantinku
Antara kerikil dan pasir merah
Tersembunyi jejak-jejak yang singgah
Kota kita di sini
Dijilat ruh-ruh hidup dan mati
Kota kita di sini
Petak-petak pahir manis dan asam
Menderu diketermanguan
Berpeluh manik-manik logam
Kota kita di sini
Diri kehidupan yang gelisah
Memanjat rumah demi rumah
Seperti sejumlah kata
Yang menggelepar ke luar
Meniti buih demi buih
Dunia yang terlantar
Seperti sejumlah musim
Yang kering, basah, dan mandi cahaya
Merangkak pada sumbu
jantung kita
Seperti sejumlah risau, benci dan cinta
Yang berpendar pada waktu
Menggaram akar-akar nafsu
Antara Adam lagu impian ziarahmu
Seperti sejumlah kata
Yang menyalin nama-nama
Meniti buih demi buih
jiwa kita
DALAM KIRAI SAYAP WAKTU
Dalam kirai sayap waktu
Engkaukah di situ
Suara samar lirih
Seakan-akan merangkai tasbih
Gugusan kebun apel
Suara serangga
Meramu kehidupan
Seekor serangga
Meramu daun hijau
Seekor serangga
Membangunkan rumahnya