Bagi yang memiliki iman, bencana alam yang datang bertubi-tubi menimpa bangsa ini tentu merupakan satu isyarat dari Allah Subhanahu wa Ta'ala, agar kita kembali ke jalan tauhid dengan benar, tidak menuhankan sesama mahluk, tidak menuhankan benda mati, karena Tuhan itu hanya satu yakni Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Ada sekelumit kisah nyata yang pernah terjadi pada sebagian bangsa ini yang mungkin kita telah lupa. Dan sayangnya, peristiwa yang penuh dengan pelajaran ini sama sekali tidak disinggung-singgung sedikit pun di dalam buku pelajaran di sekolah. Kita dan anak-anak kita tidak pernah tahu jika ada suatu desa yang penduduknya nyaris berperilaku sama seperti kaum Nabi Luth (Sodom-Gomorah), senang bermaksiat, yang oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala kemudian di adzab dengan dikubur seluruhnya dalam satu malam hingga tidak bersisa. Satu desa bersama seluruh penduduknya lenyap dalam satu malam tertutup puncak sebuah gunung yang berada jauh dari lokasi desa itu.
Siapakah yang mampu memindahkan puncak gunung ke suatu tempat untuk mengubur satu desa kecuali Allah Yang Maha Kuasa?
Inilah kisah tentang Dukuh Legetang, yang masuk dalam wilayah Banjarnegara, Jawa Tengah. Kejadiannya di tahun 1955
Dukuh Legetang adalah sebuah dukuh makmur yang lokasinya tidak jauh dari dataran tinggi Dieng-Banjarnegara, sekira 2 kilometer di sebelah utaranya. Dukuh Legetang terletak di desa Pekasiran, kecamatan Batur, kabupaten Banjarnegara, masih berada di wilayah pegunungan Dieng – Petarangan. Secara astronomis terletak pada 7.19416667S, 109.8652778E.
Penduduknya cukup makmur dan kebanyakan para petani yang cukup sukses. Mereka bertani sayuran, kentang, wortel, kubis, dan sebagainya.
Berbagai kesuksesan duniawi yang berhubungan dengan pertanian menghiasi dukuh Legetang. Misalnya apabila di daerah lain tidak panen tetapi mereka panen berlimpah. Kualitas buah dan sayur yang dihasilkan juga lebih baik dari yang lain.
Namun bukannya mereka bersyukur, dengan segala kenikmatan ini mereka malah banyak melakukan kemaksiatan. Barangkali ini yang dinamakan “istidraj” atau disesatkan Allah dengan cara diberi rezeki yang banyak namun orang tersebut akhirnya makin tenggelam dalam kesesatan.
Masyarakat Dukuh Legetang umumnya ahli maksiat. Perjudian di dukuh ini merajalela, begitu pula minum-minuman keras. Tiap malam mereka mengadakan pentas Lengger, sebuah kesenian tradisional yang dibawakan oleh para penari perempuan, yang sering berujung kepada perzinaan. Ada juga anak yang malah melakukan kemaksiatan bersama ibunya sendiri. Beragam kemaksiatan lain sudah sedemikian parah di dukuh ini.
Pada suatu malam, 17 April 1955, turun hujan yang amat lebat di dukuh itu. Tapi masyarakat Dukuh Legetang masih saja tenggelam dalam kemaksiatan. Barulah pada tengah malam hujan reda. Tiba-tiba terdengar suara keras seperti sebuah bom besar dijatuhkan di sana, atau seperti suara benda yang teramat berat jatuh. Suara itu terdengar sampai ke desa-desa tetangganya. Namun malam itu tidak ada satu pun yang berani keluar karena selain suasana teramat gelap, jalanan pun sangat licin.
Pada pagi harinya, masyarakat yang ada di sekitar Dukuh Legetang yang penasaran dengan suara yang amat keras itu barulah keluar rumah dan ingin memeriksa bunyi apakah itu yang terdengar amat memekakkan telinga tadi malam. Mereka sangat kaget ketika di kejauhan terlihat puncak Gunung Pengamun-amun sudah terbelah, rompal. Dan mereka lebih kaget bukan kepalang ketika melihat Dukuh Legetang sudah tertimbun tanah dari irisan puncak gunung tersebut. Bukan saja tertimbun tapi sudah berubah menjadi sebuah bukit, dengan mengubur seluruh dukuh beserta warganya. Dukuh Legetang yang tadinya berupa lembah, kini sudah menjadi sebuah gundukan tanah baru menyerupai bukit. Seluruh penduduknya mati. Gegerlah kawasan Dieng...
Masyarakat sekitar terheran-heran. Seandainya Gunung Pengamun-amun sekedar longsor, maka longsoran itu pasti hanya akan menimpa lokasi di bawahnya. Akan tetapi kejadian ini jelas bukan longsornya gunung. Antara Dukuh Legetang dan Gunung Pengamun-amun terdapat sungai dan jurang, yang sampai sekarang masih ada. Namun sungai dan jurang itu sama sekali tidak terkena longsoran. Jadi kesimpulannya, potongan gunung itu malam tadi terangkat dan jatuh menimpa dukuh Legetang.
Siapa yang mampu mengangkat separuh gunung itu kalau bukan Allah Yang Maha Kuasa?
Untuk memperingati kejadian itu, pemerintah setempat mendirikan sebuah tugu yang hari ini masih bisa dilihat siapa pun.
Sungguh kisah terkuburnya dukuh Legetang ini menjadi peringatan bagi kita semua bahwa azab Allah Subhanahu wa Ta'ala yang seketika itu tak hanya terjadi di masa lampau, di masa para nabi, tetapi azab itu pun bisa menimpa kita di zaman ini. Bahwa sangat mudah bagi Allah Subhanahu wa Ta'ala untuk mengazab manusia-manusia lalim dan durjana dalam hitungan detik. Andaikan di muka bumi ini tak ada lagi hamba-hamba-Nya yang bermunajat di tengah malam menghiba ampunan-Nya, mungkin dunia ini sudah kiamat.
Kita berhutang budi kepada para ibadurrahman, para hamba Allah Subhanahu wa Ta'ala yang berjalan dengan rendah hati, tak menyombongkan dirinya. Mereka senantiasa bersujud memohon ampunan-Nya. Meski keberadaan mereka terkadang tak dianggap, hanya dipandang sebelah mata oleh manusia, tetapi sesungguhnya mereka begitu akrab dengan penghuni langit. Mereka begitu tulus menghamba pada-Nya, berusaha menegakkan kalimat-Nya di muka bumi ini. Mereka tak pernah mengharapkan imbalan dari manusia, karena imbalan dari Allah Subhanahu wa Ta'ala lebih dari segalanya.
Longsoran Tanah yang Bisa ’Terbang’
Tugu beton yang sudah lapuk dimakan usia masih berdiri tegak di tengah ladang di desa Pekasiran di pegunungan Dieng Kecamatan Batur, Banjarnegara. Tapi tugu setinggi sekitar 10 meter itu jadi penanda tragedi dan misteri terkuburnya dusun Legetang bersama seluruh penghuninya akibat longsornya Pengamunamun pada 1958.
Data pada pahatan monumen marmer di pertigaan Desa Kepakisan, tetangga Pekasiran, menuju ke objek wisata kawah Sileri menyebutkan, jumlah korban jiwa 450 orang. Jauh melebihi korban tewas akibat bencana gas beracun kawah Sinila tahun 1979 yang merenggut 149 nyawa dan menjadi perhatian dunia internasional itu merenggut 149 nyawa.
Salah seorang saksi tragedi Legetang, Suhuri warga Pekasiran RT 03/04 yang kini berusia sekitar 72 tahun mengatakan, musibah terjadi malam hari pukul 23.00 saat musim hujan. ”Saya dan beberapa teman malam itu tidur di masjid. Saya baru dengar kabar gunung Pengamunamun longsor jam tiga pagi,” katanya. Suhuri mengaku lemas seketika begitu mendengar kabar tersebut, karena kakak kandungnya, Ahmad Ahyar, bersama istri dan 6 anaknya tinggal di dusun Legetang. Namun Suhuri maupun keluarganya dan warga lain tak berani langsung ke dusun yang berjarak sekitar 800 meter dari pusat desa Pekasiran, karena beredar kabar tanah dari lereng gunung Pengamunamun masih terus bergerak.
Lenyapnya desa Legetang dan penghuninya juga menyimpan misteri, karena Suhuri dan beberapa warga Desa Pekasiran lain seusianya yang kini masih hidup mengatakan, antara kaki gunung sampai perbatasan kawasan pemukiman di dusun itu sama sekali tidak tertimbun, padahal jaraknya beberapa ratus meter.
Siapakah yang mampu memindahkan puncak gunung ke suatu tempat untuk mengubur satu desa kecuali Allah Yang Maha Kuasa?
“Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang dilangit bahwa Dia akan menjungkirbalikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu bergoncang?” (QS Al Mulk 67: 16)
Inilah kisah tentang Dukuh Legetang, yang masuk dalam wilayah Banjarnegara, Jawa Tengah. Kejadiannya di tahun 1955
Dukuh Legetang adalah sebuah dukuh makmur yang lokasinya tidak jauh dari dataran tinggi Dieng-Banjarnegara, sekira 2 kilometer di sebelah utaranya. Dukuh Legetang terletak di desa Pekasiran, kecamatan Batur, kabupaten Banjarnegara, masih berada di wilayah pegunungan Dieng – Petarangan. Secara astronomis terletak pada 7.19416667S, 109.8652778E.
Penduduknya cukup makmur dan kebanyakan para petani yang cukup sukses. Mereka bertani sayuran, kentang, wortel, kubis, dan sebagainya.
Berbagai kesuksesan duniawi yang berhubungan dengan pertanian menghiasi dukuh Legetang. Misalnya apabila di daerah lain tidak panen tetapi mereka panen berlimpah. Kualitas buah dan sayur yang dihasilkan juga lebih baik dari yang lain.
Namun bukannya mereka bersyukur, dengan segala kenikmatan ini mereka malah banyak melakukan kemaksiatan. Barangkali ini yang dinamakan “istidraj” atau disesatkan Allah dengan cara diberi rezeki yang banyak namun orang tersebut akhirnya makin tenggelam dalam kesesatan.
Masyarakat Dukuh Legetang umumnya ahli maksiat. Perjudian di dukuh ini merajalela, begitu pula minum-minuman keras. Tiap malam mereka mengadakan pentas Lengger, sebuah kesenian tradisional yang dibawakan oleh para penari perempuan, yang sering berujung kepada perzinaan. Ada juga anak yang malah melakukan kemaksiatan bersama ibunya sendiri. Beragam kemaksiatan lain sudah sedemikian parah di dukuh ini.
Pada suatu malam, 17 April 1955, turun hujan yang amat lebat di dukuh itu. Tapi masyarakat Dukuh Legetang masih saja tenggelam dalam kemaksiatan. Barulah pada tengah malam hujan reda. Tiba-tiba terdengar suara keras seperti sebuah bom besar dijatuhkan di sana, atau seperti suara benda yang teramat berat jatuh. Suara itu terdengar sampai ke desa-desa tetangganya. Namun malam itu tidak ada satu pun yang berani keluar karena selain suasana teramat gelap, jalanan pun sangat licin.
Pada pagi harinya, masyarakat yang ada di sekitar Dukuh Legetang yang penasaran dengan suara yang amat keras itu barulah keluar rumah dan ingin memeriksa bunyi apakah itu yang terdengar amat memekakkan telinga tadi malam. Mereka sangat kaget ketika di kejauhan terlihat puncak Gunung Pengamun-amun sudah terbelah, rompal. Dan mereka lebih kaget bukan kepalang ketika melihat Dukuh Legetang sudah tertimbun tanah dari irisan puncak gunung tersebut. Bukan saja tertimbun tapi sudah berubah menjadi sebuah bukit, dengan mengubur seluruh dukuh beserta warganya. Dukuh Legetang yang tadinya berupa lembah, kini sudah menjadi sebuah gundukan tanah baru menyerupai bukit. Seluruh penduduknya mati. Gegerlah kawasan Dieng...
Masyarakat sekitar terheran-heran. Seandainya Gunung Pengamun-amun sekedar longsor, maka longsoran itu pasti hanya akan menimpa lokasi di bawahnya. Akan tetapi kejadian ini jelas bukan longsornya gunung. Antara Dukuh Legetang dan Gunung Pengamun-amun terdapat sungai dan jurang, yang sampai sekarang masih ada. Namun sungai dan jurang itu sama sekali tidak terkena longsoran. Jadi kesimpulannya, potongan gunung itu malam tadi terangkat dan jatuh menimpa dukuh Legetang.
Siapa yang mampu mengangkat separuh gunung itu kalau bukan Allah Yang Maha Kuasa?
“Dan apabila gunung-gunung diterbangkan,” (QS. at-Takwir: 3)
Untuk memperingati kejadian itu, pemerintah setempat mendirikan sebuah tugu yang hari ini masih bisa dilihat siapa pun.
Tugu Monumen Desa Legetang |
Di tugu tersebut ditulis dengan plat logam:
“TUGU PERINGATAN ATAS TEWASNJA 332 ORANG PENDUDUK DUKUH LEGETANG SERTA 19 ORANG TAMU DARI LAIN-LAIN DESA SEBAGAI AKIBAT LONGSORNJA GUNUNG PENGAMUN-AMUN PADA TG. 16/17-4-1955″ |
Sungguh kisah terkuburnya dukuh Legetang ini menjadi peringatan bagi kita semua bahwa azab Allah Subhanahu wa Ta'ala yang seketika itu tak hanya terjadi di masa lampau, di masa para nabi, tetapi azab itu pun bisa menimpa kita di zaman ini. Bahwa sangat mudah bagi Allah Subhanahu wa Ta'ala untuk mengazab manusia-manusia lalim dan durjana dalam hitungan detik. Andaikan di muka bumi ini tak ada lagi hamba-hamba-Nya yang bermunajat di tengah malam menghiba ampunan-Nya, mungkin dunia ini sudah kiamat.
Kita berhutang budi kepada para ibadurrahman, para hamba Allah Subhanahu wa Ta'ala yang berjalan dengan rendah hati, tak menyombongkan dirinya. Mereka senantiasa bersujud memohon ampunan-Nya. Meski keberadaan mereka terkadang tak dianggap, hanya dipandang sebelah mata oleh manusia, tetapi sesungguhnya mereka begitu akrab dengan penghuni langit. Mereka begitu tulus menghamba pada-Nya, berusaha menegakkan kalimat-Nya di muka bumi ini. Mereka tak pernah mengharapkan imbalan dari manusia, karena imbalan dari Allah Subhanahu wa Ta'ala lebih dari segalanya.
Longsoran Tanah yang Bisa ’Terbang’
Tugu beton yang sudah lapuk dimakan usia masih berdiri tegak di tengah ladang di desa Pekasiran di pegunungan Dieng Kecamatan Batur, Banjarnegara. Tapi tugu setinggi sekitar 10 meter itu jadi penanda tragedi dan misteri terkuburnya dusun Legetang bersama seluruh penghuninya akibat longsornya Pengamunamun pada 1958.
Data pada pahatan monumen marmer di pertigaan Desa Kepakisan, tetangga Pekasiran, menuju ke objek wisata kawah Sileri menyebutkan, jumlah korban jiwa 450 orang. Jauh melebihi korban tewas akibat bencana gas beracun kawah Sinila tahun 1979 yang merenggut 149 nyawa dan menjadi perhatian dunia internasional itu merenggut 149 nyawa.
Salah seorang saksi tragedi Legetang, Suhuri warga Pekasiran RT 03/04 yang kini berusia sekitar 72 tahun mengatakan, musibah terjadi malam hari pukul 23.00 saat musim hujan. ”Saya dan beberapa teman malam itu tidur di masjid. Saya baru dengar kabar gunung Pengamunamun longsor jam tiga pagi,” katanya. Suhuri mengaku lemas seketika begitu mendengar kabar tersebut, karena kakak kandungnya, Ahmad Ahyar, bersama istri dan 6 anaknya tinggal di dusun Legetang. Namun Suhuri maupun keluarganya dan warga lain tak berani langsung ke dusun yang berjarak sekitar 800 meter dari pusat desa Pekasiran, karena beredar kabar tanah dari lereng gunung Pengamunamun masih terus bergerak.
Lenyapnya desa Legetang dan penghuninya juga menyimpan misteri, karena Suhuri dan beberapa warga Desa Pekasiran lain seusianya yang kini masih hidup mengatakan, antara kaki gunung sampai perbatasan kawasan pemukiman di dusun itu sama sekali tidak tertimbun, padahal jaraknya beberapa ratus meter.
”Longsoran tanah itu seperti terbang dari lereng gunung dan jatuh tepat di pemukiman. Sangat aneh”, kata Suhuri sembari menjelaskan, gejala lereng gunung akan longsor sudah diketahui 70 hari sebelum kejadian. Para pencari rumput pakan ternak dan kayu bakar untuk mengasap tembakau rajangan di samping untuk memasak, melihat ada retakan memanjang dan cukup dalam di tempat itu. "Tapi tanda-tanda tadi tak membuat orang waspada, meski sering jadi bahan obrolan di Legetang. Orang baru menghubung-hubungkan soal retakan di gunung itu setelah Legetang kiamat,” imbuhnya.
Waktu itu semua orang tercengang dan suasana mencekam melihat seluruh kawasan dusun Legetang terkubur longsoran tanah. Tak ada sedikit pun bagian rumah yang kelihatan. Tanda-tanda kehidupan penghuninya juga tak ada, kenang Suhuri. ”Alam Legetang sebagian besar cekung. Tanah dari lereng gunung seakan diuruk ke cekungan itu dan meninggi dibanding tanah asli disekitarnya. Banyak warga yang dibiarkan terkubur karena sulit dievakuasi,” ujar Suhuri.
Pencarian terhadap korban, menurut Suhuri, hanya dipusatkan ke titik yang diduga merupakan lokasi rumah bau (kepala dusun) Legetang bernama Rana. Setelah dilakukan penggalian cukup lama oleh warga. Tapi tak sedikit para korban dibiarkan terkubur, karena amat sulit dievakuasi. Satu istri Rana lainnya, bernama Kastari, satu-satunya warga Legetang yang selamat, karena ia pergi dari rumah sebelum gunung itu longsor.
Kini tanah lokasi bencana itu sedikit demi sedikit digarap warga untuk budidaya tembakau dan sayur. Sekitar 1980, ketika kentang menggusur tanaman tembakau dan jagung di pegunungan Dieng, bekas dusun Legetang pun berubah jadi ladang kentang dan kobis, termasuk tanah kuburan umum milik bekas dusun tersebut.
Waktu itu semua orang tercengang dan suasana mencekam melihat seluruh kawasan dusun Legetang terkubur longsoran tanah. Tak ada sedikit pun bagian rumah yang kelihatan. Tanda-tanda kehidupan penghuninya juga tak ada, kenang Suhuri. ”Alam Legetang sebagian besar cekung. Tanah dari lereng gunung seakan diuruk ke cekungan itu dan meninggi dibanding tanah asli disekitarnya. Banyak warga yang dibiarkan terkubur karena sulit dievakuasi,” ujar Suhuri.
Pencarian terhadap korban, menurut Suhuri, hanya dipusatkan ke titik yang diduga merupakan lokasi rumah bau (kepala dusun) Legetang bernama Rana. Setelah dilakukan penggalian cukup lama oleh warga. Tapi tak sedikit para korban dibiarkan terkubur, karena amat sulit dievakuasi. Satu istri Rana lainnya, bernama Kastari, satu-satunya warga Legetang yang selamat, karena ia pergi dari rumah sebelum gunung itu longsor.
Kini tanah lokasi bencana itu sedikit demi sedikit digarap warga untuk budidaya tembakau dan sayur. Sekitar 1980, ketika kentang menggusur tanaman tembakau dan jagung di pegunungan Dieng, bekas dusun Legetang pun berubah jadi ladang kentang dan kobis, termasuk tanah kuburan umum milik bekas dusun tersebut.
Silahkan share kisah ini jika dirasa bermanfaat untuk kemaslahatan bersama.
Jazakumullah khairan katsiron..