Mahar Puisi | Cerpen Faris Al Faisal

0

KETIKA saya menikahi Bulan, sepucuk puisi saya bacakan. Semua orang yang hadir menitikkan air mata, sedih rupanya. Namun saya keliru, mereka menangis bukan karena puisi saya mengharukan, tetapi sebab saya seorang lelaki yang miskin.

“KUPIKIR penyair itu orang kaya, nyatanya untuk memberikan mahar kepada gadis secantik Bulan saja tak punya apa-apa. Hanya pakai puisi. Berapa harga sepotong puisi? Menyedihkan sekali!” Bisik-bisik keluarga Bulan dan tamu undangan yang hadir terdengar juga. Bergemuang bagai kumbang terperangkap di gendang telinga.

“Malang sekali Bulan,tubuhnya yang elok dihalalkan hanya dengan sebuah puisi.” Kembali suara kasak-­kusuk itu meneror gendang telinga saya yang mulai jebol. Sakit sekali mendengarnya. Namun sesungguhnya, di hati jauh lebih sakit. Pedih.

Bagaimana bisa mereka menyebut penghalalan tubuh perempuan yang dinikahi karena mahar semata? Jika seperti itu, bisa jadi lelaki yang memiliki kekayaan untuk memberi mahar mahal akan dapat membeli tubuh perempuan sekehendak hatinya? Justru saya sangat menyayangkan nasib perempuan jika dinilai rendah seperti itu.

Apakah mereka tidak mendengar sebaik-baik perempuan adalah yang meringankan maharnya sebagai penanda tinggi ilmunya yang memudahkan sunnah? Apakah mereka tidak membaca jika dulu Sayyidina Ali menikahi Fatimah hanya dengan baju Perang Huthamiyah miliknya? Di sinilah betapa mahar bukan persoalan yang harus diberat-beratkan ataupun diringan-ringankan. Dan satu hal yang luput dari pandangan yaitu mahar haruslah seridha calon pengantin perempuan.

Dengan perasaan berlarat-larat karena dianggap melarat, saya pun melanjutkan ijab kabul dengan perasaan hampa seperti seorang astronaut tersesat di bulan yang tak berudara. Langkah saya seakan melayang tak berpijak menempati tempat duduk pengantin lelaki yang semula nyaman berubah tak kerasan. Sementara dari tempat duduk pengantin perempuan, Bulan menatap wajah saya yang layu batang pohon wibawa dan gugur daun kehormatannya. Namun senyumnya tak lepas dari bibirnya. Saya rasa Bulan tak mendengar gunjingan orang-orang pada calon suaminya yang baru saja memberikan mahar puisi padanya.

Petugas kenaiban mencatat segala identitas dan memeriksa kelengkapan administrasi. Dua buah buku nikah sudah dipersiapkan dan dipajang menawan. Seorang lelaki yang entah siapa namanya mendekat, ia mengulurkan tangannya dan memberikan potongan kertas berisi tulisan Bulan. Saya pun membacanya dengan saksama.


Jangan sedih penyairku, aku yang meminta padamu mahar pernikahanku adalah puisi. Lapangkan hatimu. Bangun kembali seperti pohon puisi tumbuh, berbunga, dan berbuah. Aku menunggumu menyelesaikan ibadahmu; syahadat puisi dan ijab kabul puisi.

Bulan.


Saya terpana karenanya. Lalu menengok ke arah Bulan. Kepalanya yang ditumbuhi bunga melati yang membentuk ronce kerudung putih tampak mengangguk-angguk. Saya pun membalasnya dengan senyum yang entah mengapa menjadi begitu ringan disunggingkan. Bulan baru saja membesarkan dada penyair yang telah berubah sempit diimpit perasaannya sendiri. Dari sini saya pun melihat matanya berkaca-kaca ditimpa air mata. Semoga saja itu adalah genangan kebahagiaan.

“Apa kau sudah siap, Nak?” ucap ayah Bulan sambil memegang jariku seperti sedang bersalaman.

Saya mengangguk padanya. “Sudah, Ayah. Saya siap!”

Pada detik itu ijab dan kabul bersahutan mulut tanpa jeda. Ayah Bulan menanyakan kepada saksi. “Sah?”

“Sah, sah!” jawab para saksi tanpa berselisih.

Tanpa isyarat dan janji, saya dan Bulan bersujud syukur. Mengucapkan rasa terima kasih atas berbagai keberkahan. Tunai sudah, kami telah diikat oleh tali suci ikatan pernikahan.

Dalam larik-larik hujan. Kami pun melewati malam-malam puisi dalam bulan berlelehan madu. Tak terlewat semalam pun Bulan minta dibuatkan puisi dan dibacakan puisi itu sebelum menunaikan ibadah cinta.

Di luar sana, menurut ayah dan ibu Bulan, orang-orang belum reda membicarakan perihal mahar puisi. Saya yakin, mereka hanya melihat tanpa membaca. Sehingga yang tampak adalah kulit di permukaan sementara daging dan bijinya tetaplah di dalam tanpa tersentuh.

Barangkali, saya menantu beruntung karena memiliki mertua yang berpandangan luas. Ketika melamar Bulan, ia tak menanyakan cincin emas tanda pengikat sebagai bukti pinangan.

“Apa kau bersungguh-sungguh ingin melamar Bulan, Nak?”

“Saya bersungguh-sungguh ingin menikah. Karenanya Bulan saya melamar.”

“Apa kamu terima lamaran lelaki di depan kita ini, Bulan?”

Bulan tak menjawab. Ia tertunduk malu. Ibunya memeluk pundak Bulan dan mengulangi pertanyaan ayahnya.

“Kamu terima lamaran anak muda itu, Bulan?”

Bulan menunduk makin ke dasar. Ia tak berani mengangkat wajahnya. Malu sekali.

“Baiklah, Ayah sudah tahu jawabannya. Dan hari ini kalian berdua akan Ayah nikahkan.”

Bukan hanya saya yang terkejut sampai mau berdiri dari tempat duduk, bahkan Bulan pun mendongak ternganga lalu menutup mulutnya karena tak percaya.

“Saya belum menyiapkan maharnya, Ayah.”

“Apa kamu tidak membawa sesuatu untuk dijadikan mahar?”

“Sepertinya saya harus pergi sebentar untuk membelinya.”

Belum sempat ayah Bulan menjawab, Bulan menyela pelan.

“Bagaimana kalau maharnya puisi?”

“Puisi?” tanyaku tak mengerti.

“Iya, puisi. Bagiku itu lebih berharga dari emas dan permata.”

Ayah Bulan tampak berkerut tapi tidak lama. “Bagaimana, Nak? kamu sudah mendengarnya bukan? Sekarang apa kamu bersedia memberikan mahar puisi?”

Saya harus menjawab apa kecuali bersedia. Maka puisi itulah yang saya bacakan sebagai mahar untuk menikahi Bulan. Tak ada kesengajaan untuk memudah-mudahkan mahar karena saya pernah mendengar kalimat, sebaik-­baik lelaki adalah yang memberikannya banyak mahar.

Berita saya dan Bulan telah menikah pun sampai ke ayah dan ibu serta sanak kerabat. Kami berdualah yang menyampaikannya. Mereka tak habis pikir akan maharku berupa puisi.

“Apa sekarang harga puisi sudah mahal?” kata Ayah sambil membolak-balik sebuah koran langganannya yang menyediakan halaman sastra saban minggunya.

Barangkali maksud ayah adalah mempertanyakan masa depan pekerjaanku sebagai penulis puisi pada berbagai surat kabar dan majalah.

“Entahlah, puisi-puisi yang dimuat pun terkadang tak dibayar sekalipun sudah ditagih berkali-kali oleh penulisnya.”

Sedih sebenarnya mengatakan itu apalagi di depan orangtua dan istri. Tapi apa boleh buat, bukankah menjadi penyair pun harus memiliki sifat jujur? Bayangkan jika penyair berdusta, ia akan membohongi redaktur dan pembaca sastra dengan memplagiat karya penulis lain dan mengakuinya sebagai karya sendiri. Jika itu terjadi, bukan hanya penulisnya yang dimaki dan di-bully bahkan redaktur media dan surat kabar bersangkutan ikut kena getahnya karena meloloskan karya penulis lain—dianggap kurang mengetahui dunia puisi. Padahal siapa pun dia, pengetahuan seseorang memiliki batasan. Tidak harus menjadi redaktur sastra bisa menghafal dan mengetahui seluruh puisi para penyair.

Ayah yang seorang penyair pun kemudian menceritakan tentang puisi. Bagaimana dulu penyair adalah musuh para nabi. Syair atau puisi dikatakan sihir karena mengajak kepada kesesatan, membawa kepentingan, dan permusuhan sebagaimana penyair Nadhr bin Harits. Akan tetapi, syair atau puisi pun dapat digunakan sebagai alat dakwah sebagaimana penyair Abdullah bin Rawahah yang membantu perjuangan Rasul.

Bulan berkaca-kaca seperti ditenggelamkan ke permukaan danau. Cahayanya timbul tenggelam di antara percakapan kami. Ia begitu menghayati cerita ayah sepertinya. “Semoga kau adalah Abdullah bin Rawahah di zaman ini. Jangan jadikan puisi sebagai ladang menanam pohon uang, tetapi jadikan ia ladang menanam pohon perjuangan.”

Ayah dan saya mengangguk sepakat. Bagiku apa yang diucapkan Bulan adalah doa dan harapan untuk menata jalan kehidupan yang masih panjang dan berliku. Semoga kelak mendapatkan keberuntungan.

Saat ini saya dan Bulan memang sedang saling jatuh cinta dan berjanji akan terus saling cinta. Mencintai dengan puisi, menyayangi dengan puisi, dan merindu pun dengan puisi. Membangun rumah tangga dengan puisi dan membesarkan anak-anak pun dengan puisi. Karena keluarga penyair akan selalu hidup dengan puisi dan akan mati tanpa puisi.

“Mengagumkan sekali kata-katamu. Apa kamu yang membuatnya?” tanya Bulan padaku.

“Iya, bahkan kita pun adalah puisi itu sendiri. Saya puisi dan kamu puisi.”

Bulan di atas langit tersenyum. Rekahnya jatuh di bibir Bulan. Merah jambu. Manis sekali malam ini. (*)
Tags

Post a Comment

0Comments
Post a Comment (0)

#buttons=(Accept !) #days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !