Meskipun demikian, pagi ini Karyamin sudah dua kali tergelincir. Tubuhnya rubuh lalu menggelinding ke bawah, berkejaran dengan batu-batu yang tumpah dari keranjangnya. Dan setiap kali jatuh, Karyamin menjadi bahan tertawaan kawan-kawannya. Mereka, para pengumpul batu itu, senang mencari hiburan dengan cara menertawakan diri mereka sendiri.
Kali ini Karyamin merayap lebih hati-hati. Meski dengan lutut yang sudah bergetar, jemari kaki dicengkeramkannya ke tanah. Segala perhatian dipusatkan pada pengendalian keseimbangan sehingga wajahnya kelihatan tegang. Sementara itu, air terus mengucur dari celana dan tubuhnya yang basah. Dan karena pundaknya ditekan oleh beban yang sangat berat, maka nadi di lehernya muncul menyembul kulit.
Boleh jadi Karyamin akan selamat sampai ke atas bila tak ada burung yang nakal. Seekor burung paruh udang terjun dari ranting yang menggantung di atas air, menyambar seekor ikan kecil, lalu melesat tanpa rasa salah hanya sejengkal di depan mata Karyamin.
“Bangsat!” teriak Karyamin yang sedetik kemudian sudah kehilangan keseimbangan. Tubuhnya bergulir sejenak, lalu jatuh terduduk dibarengi suara dua keranjang batu yang ruah. Tubuh itu ikut meluncur, tetapi terhenti karena tangan Karyamin berhasil mencengkeram rerumputan. Empat atau lima orang kawan Karyamin terbahak bersama. Mereka, para pengumpul batu itu, senang mencari hiburan dengan cara menertawakan diri mereka sendiri.
“Sudah, Min. Pulanglah. Kukira hatimu tertinggal di rumah sehingga kamu loyo terus,” kata Sarji yang diam-diam iri pada istri Karyamin yang muda dan gemuk.
“Memang bahaya meninggalkan istrimu seorang diri di rumah. Min, kamu ingat anak-anak muda petugas bank harian itu? Jangan kira mereka hanya datang setiap hari buat menagih setoran kepada istrimu. Jangan percaya kepada anak-anak muda penjual duit itu. Pulanglah. Istrimu kini pasti sedang digodanya.”
“Istrimu tidak hanya menarik mata petugas bank harian. Jangan dilupa tukang edar kupon buntut itu. Kudengar dia juga sering datang ke rumahmu bila kamu sedang keluar. Apa kamu juga percaya dia datang hanya untuk menjual kupon buntut? Jangan-jangan dia menjual buntutnya sendiri!”
Suara gelak tawa terdengar riuh di antara bunyi benturan batu-batu yang mereka lempar ke tepi sungai. Air sungai mendesau-desau oleh langkah-langkah mereka. Ada daun jati melayang, kemudian jatuh di permukaan sungai dan bergerak menentang arus karena tertiup angin. Agak di hilir sana terlihat tiga perempuan pulang dari pasar dan siap menyeberang. Para pencari batu itu diam. Mereka senang mencari hiburan dengan cara melihat perempuan yang mengangkat kain tinggi-tinggi.
Dan Karyamin masih terduduk sambil memandang kedua keranjangnya yang berantakan dan hampa. Angin yang bertiup lemah membuat kulitnya merinding, meski matahari sudah cukup tinggi. Burung paruh udang kembali melintas di atasnya. Karyamin ingin menyumpahinya, tetapi tiba-tiba rongga matanya penuh bintang. Terasa ada sarang lebah di dalam telinganya. Terdengar bunyi keruyuk dari lambungnya yang hanya berisi hawa. Dan mata Karyamin menangkap semuanya menjadi kuning berbinar-binar.
Tetapi kawan-kawan Karyamin mulai berceloteh tentang perempuan yang sedang menyeberang. Mereka melihat sesuatu yang enak dipandang. Atau sesuatu itu bisa melupakan buat sementara perihnya jemari yang selalu mengais bebatuan; tentang tengkulak yang sudah setengah bulan menghilang dengan membawa satu truk batu yang belum dibayarnya; tentang tukang nasi pecel yang siang nanti pasti datang menagih mereka. Dan tentang nomor buntut yang selalu gagal mereka tangkap.
“Min!” teriak Sarji. “Kamu diam saja, apakah kamu tidak melihat ikan putih-putih sebesar paha?”
Mereka tertawa bersama. Mereka, para pengumpul batu itu, memang pandai bergembira dengan cara menertawakan diri mereka sendiri. Dan Karyamin tidak ikut tertawa, melainkan cukup tersenyum. Bagi mereka, tawa atau senyum sama-sama sah sebagai perlindungan terakhir. Tawa dan senyum bagi mereka adalah simbol kemenangan terhadap tengkulak, terhadap rendahnya harga batu, atau terhadap licinnya tanjakan. Pagi itu senyum Karyamin pun menjadi tanda kemenangan atas perutnya yang sudah mulai melilit dan matanya yang berkunang-kunang.
Memang, Karyamin telah berhasil membangun fatamorgana kemenangan dengan senyum dan tawanya. Anehnya, Karyamin merasa demikian terhina oleh burung paruh udang yang bolak-balik melintas di atas kepalanya. Suatu kali, Karyamin ingin membabat burung itu dengan pikulannya. Tetapi niat itu diurungkan karena Karyamin sadar, dengan mata yang berkunang-kunang dia tak akan berhasil melaksanakan maksudnya.
Jadi, Karyamin hanya tersenyum. Lalu bangkit meski kepalanya pening dan langit seakan berputar. Diambilnya keranjang dan pikulan, kemudian Karyamin berjalan menaiki tanjakan. Dia tersenyum ketika menapaki tanah licin yang berparut bekas perosotan tubuhnya tadi. Di punggung tanjakan, Karyamin terpaku sejenak melihat tumpukan batu yang belum lagi mencapai seperempat kubik, tetapi harus ditinggalkannya. Di bawah pohon waru, Saidah sedang menggelar dagangannya, nasi pecel. Jakun Karyamin turun naik. Ususnya terasa terpilin.
“Masih pagi kok mau pulang, Min?” tanya Saidah. “Sakit?”
Karyamin menggeleng, dan tersenyum. Saidah memperhatikan bibirnya yang membiru dan kedua telapak tangannya yang pucat. Setelah dekat, Saidah mendengar suara keruyuk dari perut Karyamin.
“Makan, Min?”
“Tidak. Beri aku minum saja. Daganganmu sudah ciut seperti itu. Aku tak ingin menambah utang.”
“Iya, Min, iya. Tetapi kamu lapar, kan?”
Karyamin hanya tersenyum sambil menerima segelas air yang disodorkan oleh Saidah. Ada kehangatan menyapu kerongkongan Karyamin terus ke lambungnya.
“Makan, ya Min? Aku tak tahan melihat orang lapar. Tak usah bayar dulu. Aku sabar menunggu tengkulak datang. Batumu juga belum dibayarnya, kan?”
Si paruh udang kembali melintas cepat dengan suara mencecet. Karyamin tak lagi membencinya karena sadar, burung yang demikian pasti sedang mencari makan buat anak-anaknya dalam sarang entah di mana. Karyamin membayangkan anak-anak si paruh udang sedang meringkuk lemah dalam sarang yang dibangun dalam tanah di sebuah tebing yang terlindung. Angin kembali bertiup. Daun-daun jati beterbangan dan beberapa di antaranya jatuh ke permukaan sungai. Daun-daun itu selalu saja bergerak menentang arus karena dorongan angin.
“Jadi, kamu sungguh tak mau makan, Min?” tanya Saidah ketika melihat Karyamin bangkit.
“Tidak. Kalau kamu tak tahan melihat aku lapar, aku pun tak tega melihat daganganmu habis karena utang-utangku dan kawan-kawan.”
“Iya Min, iya. Tetapi….”
Saidah memutus kata-katanya sendiri karena Karyamin sudah berjalan menjauh. Tetapi Saidah masih sempat melihat Karyamin menoleh kepadanya sambil tersenyum. Saidah pun tersenyum sambil menelan ludah berulang-ulang. Ada yang mengganjal di tenggorokan yang tak berhasil didorongnya ke dalam. Diperhatikannya Karyamin yang berjalan melalui lorong liar sepanjang tepi sungai. Kawan-kawan Karyamin menyeru dengan segala macam seloroh cabul. Tetapi Karyamin hanya sekali berhenti dan menoleh sambil melempar senyum.
Sebelum naik meninggalkan pelataran sungai, mata Karyamin menangkap sesuatu yang bergerak pada sebuah ranting yang menggantung di atas air. Oh, si paruh udang. Punggungnya biru mengkilap, dadanya putih bersih, dan paruhnya merah saga. Tiba-tiba burung itu menukik menyambar ikan kepala timah sehingga air berkecipak. Dengan mangsa di paruhnya, burung itu melesat melintasi para pencari batu, naik menghindari rumpun gelagah dan lenyap di balik gerumbul pandan. Ada rasa iri di hati Karyamin terhadap si paruh udang. Tetapi dia hanya bisa tersenyum sambil melihat dua keranjangnya yang kosong.
Sesungguhnya Karyamin tidak tahu betul mengapa dia harus pulang. Di rumahnya tak ada sesuatu buat mengusir suara keruyuk dari lambungnya. Istrinya juga tak perlu dikhawatirkan. Oh ya, Karyamin ingat bahwa istrinya memang layak dijadikan alasan buat pulang. Semalaman tadi istrinya tak bisa tidur lantaran bisul di puncak p*ntatnya. “Maka apa salahnya bila aku pulang buat menemani istriku yang meriang.”
Karyamin mencoba berjalan lebih cepat meskipun kadang secara tiba-tiba banyak kunang-kunang menyerbu ke dalam rongga matanyta. Setelah melintasi titian Karyamin melihat sebutir buah jambu yang masak. Dia ingin memungutnya, tetapi urung karena pada buah itu terlihat jelas bekas gigitan kampret. Dilihatnya juga buah salak berceceran di tanah di sekitar pohonnya. Karyamin memungut sebuah, digigit, lalu dilemparkannya jauh-jauh. Lidahnya seakan terkena air tuba oleh rasa buah salak yang masih mentah. Dan Karyamin terus berjalan. Telinganya mendenging ketika Karyamin harus menempuh sebuah tanjakan. Tetapi tak mengapa, karena di balik tanjakan itulah rumahnya.
Sebelum habis mendaki tanjakan, Karyamin mendadak berhenti. Dia melihat dua buah sepeda jengki diparkir di halaman rumahnya. Denging dalam telinganya terdengar semakin nyaring. Kunang-kunang dimatanya pun semakin banyak. Maka Karyamin sungguh-sungguh berhenti, dan termangu. Dibayangkan istrinya yang sedang sakit harus menghadapi dua penagih bank harian. Padahal Karyamin tahu, istrinya tidak mampu membayar kewajibannya hari ini, hari esok, hari lusa, dan entah hingga kapan, seperti entah kapan datangnya tengkulak yang telah setengah bulan membawa batunya.
Masih dengan seribu kunang-kunang di matanya, Karyamin mulai berpikir apa perlunya dia pulang. Dia merasa pasti tak bisa menolong keadaan, atau setidaknya menolong istrinya yang sedang menghadapi dua penagih bank harian. Maka pelan-pelan Karyamin membalikkan badan, siap kembali turun. Namun di bawah sana Karyamin melihat seorang lelaki dengan baju batik bermotif tertentu dan berlengan panjang. Kopiahnya yang mulai botak kemerahan meyakinkan Karyamin bahwa lelaki itu adalah Pak Pamong.
“Nah, akhirnya kamu ketemu juga, Min. Kucari kau di rumah, tak ada. Dipangkalan batu, tak ada. Kamu mau menghindar, ya?”
“Menghindar?”
“Ya, kamu memang mbeling, Min. Di gerumbul ini hanya kamu yang belum berpartisipasi. Hanya kamu yang belum setor uang dana Afrika, dana untuk menolong orang-orang yang kelaparan di sana. Nah, sekarang hari terakhir. Aku tak mau lebih lama kaupersulit.”
Karyamin mendengar suara napas sendiri. Samar-samar Karyamin juga mendengar detak jantung sendiri. Tetapi Karyamin tidak melihat bibir sendiri yang mulai menyungging senyum. Senyum yang sangat baik untuk mewakili kesadaran yang mendalam akan diri serta situasi yang harus dihadapinya. Sayangnya, Pak Pamong malah menjadi marah oleh senyum Karyamin.
“Kamu menghina aku, Min?”
“Tidak, Pak. Sungguh tidak.”
“Kalau tidak, mengapa kamu tersenyum-senyum? Hayo cepat; mana uang iuranmu?”
Kali ini Karyamin tidak hanya tersenyum, melainkan tertawa keras-keras. Demikian keras sehingga mengundang seribu lebah masuk ke telinganya, seribu kunang masuk ke matanya. Lambungnya yang kempong berguncang-guncang dan merapuhkan keseimbangan seluruh tubuhnya. Ketika melihat tubuh Karyamin jatuh terguling ke lembah, Pak Pamong berusaha menahannya. Sayang, gagal.(*)