Jejak langkah Iwan selanjutnya adalah pernah menjadi Guru, Wartawan dan Pengarang, yang hasil karyanya kebanyakan merupakan karya sastra absurd, irrasional dan filosofis. Hasil karangan beliau hampir semuanya bergenre sastra seperti Cerpen, Novel, Puisi, Drama, Esei dan kritik sastra. Beliau wafat pada tanggal 4 Agustus 1970 di Jakarta.
Hasil dari proses kreatif Iwan Simatupang dalam dunia sastra Indonesia antara lain Merahnya Merah (1977), Kering (1972), Ziarah (1976), Koong, kisah tentang seekor perkutut (1975), Tunggu Aku dipojok Jalan Itu, Jang Tak Terpadamkan (Cerpen 1965), Perang di Taman (Drama 1966), Tegak Lurus dengan Langit (Antologi Cerpen 1982) dan Monolog Simpang Jalan.
Ingin mengingat kembali puisi-puisi pilihan Iwan Simatupang? Berikut kami sajikan 9 puisi pilihan Iwan SImatupang yang bis sobat baca dan pahami kedalaman arti yang terkandung didalamnya.
Potret
Di sudut kamar seorang dara
Tergantung potret serdadu senyum:
“Tunggu! Sepulangku, bahtera kita kayuh!
Di atasnya salib: Pahlawan kasih yang
belum jua pulang.
Kini dara sudah lama tak menunggu lagi.
Langkah-langkah pelan, yang biasa datang
Menjelang tengah malam dari kebun belakang
Bawa cium dan kembang –
Takkan lagi kunjung datang.
Di sudut kamar seorang dara
Tergantung potret serdadu senyum:
“Jangan tunggu! Aku bangkai dalam bingkai!
Di atasnya salib: Pahlawan kasih yang
masih jua belum pulang.
Kini dara sudah lama dalam biara.
Ballade Kucing dan Otolet
Di sudut kamar seorang dara
Tergantung potret serdadu senyum:
“Tunggu! Sepulangku, bahtera kita kayuh!
Di atasnya salib: Pahlawan kasih yang
belum jua pulang.
Kini dara sudah lama tak menunggu lagi.
Langkah-langkah pelan, yang biasa datang
Menjelang tengah malam dari kebun belakang
Bawa cium dan kembang –
Takkan lagi kunjung datang.
Di sudut kamar seorang dara
Tergantung potret serdadu senyum:
“Jangan tunggu! Aku bangkai dalam bingkai!
Di atasnya salib: Pahlawan kasih yang
masih jua belum pulang.
Kini dara sudah lama dalam biara.
Ballade Kucing dan Otolet
Di jalan ada bangke
Kucing digilas otolet
Darah
Ngeong tak sudah
Selebihnya:
Langit biru
Dan manusia buru-buru
Otolet makin rame
Di tuhan punya jalan
Bangke makin rata
Di aspal panas
Penumpang gigimas
Bercanda
Di Surga
Kucing pangku supir kaya
Dan cekik
Tuhan
Gemercik Gerimis di Retak Nisan
Kucing digilas otolet
Darah
Ngeong tak sudah
Selebihnya:
Langit biru
Dan manusia buru-buru
Otolet makin rame
Di tuhan punya jalan
Bangke makin rata
Di aspal panas
Penumpang gigimas
Bercanda
Di Surga
Kucing pangku supir kaya
Dan cekik
Tuhan
Gemercik Gerimis di Retak Nisan
Pada satu kemarau berkepanjangan
Di kerajaan padang hanya padang
Bersabda baginda satu hari:
Dari semua degup dan warna berlalu
Satu harus utuh selalu:
Lembut dan putih dari domba
Rakyat gembala segera gali sumur
Peras air dari lumpur
Penyiram hijau padang-padang
Tapi kemarau kian kering kian kering
Bilangan gembala kian hening kian hening
Domba kian kurus kian haus
Pada suatu hari gembala terakhir meninggal
Di sumur-sumur tak setitik air pun tinggal
Baginda dan domba hanya di padang tandus kering
Kini baginda tukar singgasana dengan seruling
Domba demi domba beliau iring
Cari hijau cari penjuru
Tapi kemarau kian kering kian kering
Bilangan gembala kian hening kian hening
Akhirnya hanya baginda yang tinggal
Di satu subuh bercuaca sangsai
Sampai baginda di satu pantai
Tanpa domba tanpa mahkota
Berakhir kini kasih dari singgasana kekeringan
Pada mula dari satu kebasahan
Sedang kemarau kian gerah, kian gerah
Di pantai ada kini nisan dari gembala bangsawan
Yang dalam menunggui kemarau berkepanjangan
- Kian retak kian retak
Akhirnya mengguntur guruh satu senja
Bawa berita dari kemarau mencerah
- gerimis sehembus hanya jatuh
Di jauhan, segumpal mendung iseng berlalu...
Di kerajaan padang hanya padang
Bersabda baginda satu hari:
Dari semua degup dan warna berlalu
Satu harus utuh selalu:
Lembut dan putih dari domba
Rakyat gembala segera gali sumur
Peras air dari lumpur
Penyiram hijau padang-padang
Tapi kemarau kian kering kian kering
Bilangan gembala kian hening kian hening
Domba kian kurus kian haus
Pada suatu hari gembala terakhir meninggal
Di sumur-sumur tak setitik air pun tinggal
Baginda dan domba hanya di padang tandus kering
Kini baginda tukar singgasana dengan seruling
Domba demi domba beliau iring
Cari hijau cari penjuru
Tapi kemarau kian kering kian kering
Bilangan gembala kian hening kian hening
Akhirnya hanya baginda yang tinggal
Di satu subuh bercuaca sangsai
Sampai baginda di satu pantai
Tanpa domba tanpa mahkota
Berakhir kini kasih dari singgasana kekeringan
Pada mula dari satu kebasahan
Sedang kemarau kian gerah, kian gerah
Di pantai ada kini nisan dari gembala bangsawan
Yang dalam menunggui kemarau berkepanjangan
- Kian retak kian retak
Akhirnya mengguntur guruh satu senja
Bawa berita dari kemarau mencerah
- gerimis sehembus hanya jatuh
Di jauhan, segumpal mendung iseng berlalu...
Apa Kata Bintang di Laut
Cerita buat Bayu Suseno, bayi Bu Tono
Jauh di pulau
ada seorang lanun
penguasa dari suatu selat
tak berbatas tak bertepi
tak bernama tak bersebut
Ia tuan tak bernobat
dari daerah tak berpunya
di mana kesunyian dan kegemuruhan
bersipongah dalam suatu kisah
tak berawal tak berakhir
Siap dekat siapa rapat
tujuh kali tiarap ditimba ruang
siapa lupa siapa alpa
nakhoda, pala dan janda-janda
kena angin pusaran
atau pitam
Ia panglima dari suatu pasukan
tak berbilang tak bernegeri
ia sekutu dari segala hantu
datu badai pengasuh pelangi
Ia berasal dari pegunungan
dari puncak mengabut selalu
- di mana jurang, tebing dan bukit
berkisah seharian dalam sepi menggelepar
tentang bayang mengejar sinar
tentang redup memagut cuaca
- di mana air terjun dari tinggi menjulang
menghempas diri dalam suatu hisak
tentang titik yang demi titik
tiada jemu cari butir perhentian
- di mana bulbul sayu berseru
menghari siamang sepi kerinduan
dan angin lautan swara-swara
di suatu swarga tiada bidari
Ah, ini semua ia telah tinggalkan
ketika ia pada suatu hari
dapati orang pantai depan pintunya
bawa kabar:
“Ibumu tiada akan pulang lagi, kawan,
ia telah dibawa pergi oleh orang-orang
datang merompak ke pekan nelayan
dan bawa segala gadis dan janda
dalam kapal layar berpanji hitam
berlambang tengkorak”
Sejak itu –
ia telah tempuh
jalan curam menungging pantai
yang ia selama ini hanya pandangi
bila ia terdiri curam atas tebing menghunjam
memagut sinar-sinar terakhir
dari mentari membenam diri
- yang ia selama ini tiada berani jalani
takut bertemu bota-bota
dari dongeng-dongeng ibunya
Sejak itu –
ia telah tinggalkan puncak kelabu
dan pergi ke laut lepas
segala selat ia telah harungi
segala teluk ia telah masuki
segala nakhoda ia telah tanya
segala nelayan ia telah sapa
tiada berita
tiada ibu
Sejak itu –
ia telah tetapkan
menjadi pencari larut
dari suatu pencarian tak berkedapatan
dalam suatu bumi tak bermentari
- menjadi pelalu sunyi
dari suatu jalan tak berkeakhiran
dalam suatu gurun tak berkelengangan
Sejak itu –
ia telah putuskan
jadi ahli waris dari
ayah tiri yang ia tak kenal
pembawa lari ibunya dari pantai
dalam kapal layar berpanji hitam
berlambang tengkorak
Jauh di pulau
ada seorang lanun
anak orang utas di pegunungan
pencari kesunyian dalam kegemuruhan
pencari kegemuruhan dalam kesunyian
Pada Kepergian Bersama Angin
buat murid-muridku di Surabaya
Irama dari bahaya dan bencana
Lagi-lagi gentayangan dari jauhan
Ah, mengapa panji tak kuangkat saja kembali
Dan
Berlari jingkat telanjang bulat ke muka
Dengan tembilang
Memupus segala jejak di belakang?
Usah duga
Mana tugu ujung segala pencarian
Hanya
: Bila pelangi cerlangi dinihari pekat
Dan asap berkepul hijau dari bintang-gerhana –
Datang, datanglah kau
Ziarahi aku dalam bayang terkulai
Dari tiang gantungan atas piala racun tercecer...
Dan aku
Akan ziarahi semua
Penziarah
Dengan senyum –
Seribu-kiamat
Merah Jambu Di Melati
Kepada Sitor Situmorang
Ada darah tiris
Dari hati atas melati
Satu satu
Ada melati tumbuh
Diciuman segara dengan gurun
Jauh jauh
Darah beku
Melati layu
Tapal sayu
Ada murai atas cactus
Ada cactus dalam hati
Ada kicau berduri
Sunyi sunyi
Pengakuan
Aku ingin memberi pengakuan:
Bulan yang gerhana esok malam
telah kutukar pagi ini
dengan wajah terlalu bersegi
pada kaca yang retak oleh
tengadah derita kepada esok
Kulecut hari berbusa merah
Jambangan di depan jendela terbuka
menyiram kesegaran pagi dengan
pengakuan:
esok adalah bulan purnama
Sungai Batanghari, 13 Agustus 1961
Requiem
Mengenang manusia perang I.H. Simandjuntak: Let., bunuh diri!
Aku tiada dapat katakan
apakah pergimu pada fajar atau senja
aku hanya tahu
kau pergi berlangit merah mencerah
Sejak kau pergi, prajurit-kematian,
kami berkesulitan menghalau gagak-gagak
ingin berhinggapan di lembah kami
dan berseru seharian dalam suatu lagu
yang bikin kami pada bergelisahan
Langit kami kini bertambah mendung
bukan oleh arakan mega yang bawa rintik-rintik
tapi oleh kawanan gagak
yang kian tutupi celah-celah terakhir
dari kebiruan langit jernih
dan kecuacaan mentari
Kawan
kami kini memikirkan
pengerahan gadis-gadis dan orang tua kami
untuk menghunus segala tombak dan keris hiasan
yang berpacakan di dinding ruang-ruang tamu kami
sebab
sejak kau pergi
pemuda-pemuda gembala dan petani kami
berlomba-lomba meninggalkan lembah
dan pergi lari ke kota
jadi penunggu taman-taman pahlawan
atau pembongkar mayat-mayat
Saksikanlah
di sini ada tantangan dari suatu kemuraman
yang ingin pudarkan segala irama dan kehijauan
dengar
di sini ada kesediaan dari nafas demi nafas
yang ingin pertahankan keluasaan jantung berdetak
dalam deretan detik demi detik
Tidak kawan
kami tiada akan mencari pelarian kami
ke dunia tempat mantera berserakan
walau kami tahu
bahwa mantera ditakuti gagak-gagak
dan akan buat langit kami
kembali cerlang
Kami benci mantera-mantera
kami benci semua yang bukan datang
dari kelenjar dan darah kami
sebab kami tahu
kekuatan yang dalam tanggapan
adalah jua kelemahan
Tidak kawan
kami akan tantang pertarungan ini
tanpa sikap dan gita kepahlawanan
sebab kami tahu
pahlawan berkehunian
bukan di bumi ini.
Kami tiada berani ramalkan
kesudahan dari pertarungan ini
kebenaran bukan lagi dalam
ramal, tenung ataupun renung
Tapi
andaikata lembah kami
menjadi lembah dari gagak-gagak
dan belulang kami mereka jadikan
bagian dari sarang-sarang mereka
ketahuilah
di sini telah rebah
manusia-manusia yang tiada akan
memikul tanda-tanda tanya lagi
Tapi
andaikata gagak dapat kami tiwaskan satu demi satu
dan haruman langit dapat kami hirup dengan luasa kembali
o, kegembiraan kami tiada akan kami unjukkan
dengan sesaat pun jatuh bertiarap di puncak bukit-bukit
kami
sambil menatap kerinduan ke udara kosong
dan membacakan mantera-mantera ...
Pun tiada akan kami kutuki
pemuda-pemuda kami yang lari ke kota
mencari kegemuruhan dalam menunggui kelengangan
sebab
kami mengibai semua mereka
yang tiada tahu dengan diri
pada kesampaian di tiap perbatasan
Inilah langkah pertama kami
kepenginjakan suatu bumi baru
di mana kami bukan lagi tapal
dari kelampauan dan keakanan
tapi
kamilah kelampauan dan keakanan!
Inilah tarikan-nafas kami yang pertama
dalam penghirupan udara di suatu jagat baru
di mana nilai-nilai ketakberhinggaan
bukan lagi terletak dalam
ramal, tenung ataupun renung
tapi:
dalam kesegaran dan keserta-mertaan!
Aku tiada dapat katakan
apakah pergimu pada fajar atau senja
aku hanya tahu
kau pergi berlangit merah mencerah,
pahlawan!
Surabaya, 29 Januari 1953
Bintang tak Bermalam
(nocturne untuk Nany Jasodiningrat)
Bertengger atas risau lembayung
Bintang tak tahu
Ke mana pijar hendak dipenjar
(Siang telah reguk segala warna
Bahkan kelam
Tak lagi bagi malam)
Dan pada pelangi
(Yang hanya di siang)
Tak ada berwakil
Warna bintang jatuh
Cerita buat Bayu Suseno, bayi Bu Tono
Jauh di pulau
ada seorang lanun
penguasa dari suatu selat
tak berbatas tak bertepi
tak bernama tak bersebut
Ia tuan tak bernobat
dari daerah tak berpunya
di mana kesunyian dan kegemuruhan
bersipongah dalam suatu kisah
tak berawal tak berakhir
Siap dekat siapa rapat
tujuh kali tiarap ditimba ruang
siapa lupa siapa alpa
nakhoda, pala dan janda-janda
kena angin pusaran
atau pitam
Ia panglima dari suatu pasukan
tak berbilang tak bernegeri
ia sekutu dari segala hantu
datu badai pengasuh pelangi
Ia berasal dari pegunungan
dari puncak mengabut selalu
- di mana jurang, tebing dan bukit
berkisah seharian dalam sepi menggelepar
tentang bayang mengejar sinar
tentang redup memagut cuaca
- di mana air terjun dari tinggi menjulang
menghempas diri dalam suatu hisak
tentang titik yang demi titik
tiada jemu cari butir perhentian
- di mana bulbul sayu berseru
menghari siamang sepi kerinduan
dan angin lautan swara-swara
di suatu swarga tiada bidari
Ah, ini semua ia telah tinggalkan
ketika ia pada suatu hari
dapati orang pantai depan pintunya
bawa kabar:
“Ibumu tiada akan pulang lagi, kawan,
ia telah dibawa pergi oleh orang-orang
datang merompak ke pekan nelayan
dan bawa segala gadis dan janda
dalam kapal layar berpanji hitam
berlambang tengkorak”
Sejak itu –
ia telah tempuh
jalan curam menungging pantai
yang ia selama ini hanya pandangi
bila ia terdiri curam atas tebing menghunjam
memagut sinar-sinar terakhir
dari mentari membenam diri
- yang ia selama ini tiada berani jalani
takut bertemu bota-bota
dari dongeng-dongeng ibunya
Sejak itu –
ia telah tinggalkan puncak kelabu
dan pergi ke laut lepas
segala selat ia telah harungi
segala teluk ia telah masuki
segala nakhoda ia telah tanya
segala nelayan ia telah sapa
tiada berita
tiada ibu
Sejak itu –
ia telah tetapkan
menjadi pencari larut
dari suatu pencarian tak berkedapatan
dalam suatu bumi tak bermentari
- menjadi pelalu sunyi
dari suatu jalan tak berkeakhiran
dalam suatu gurun tak berkelengangan
Sejak itu –
ia telah putuskan
jadi ahli waris dari
ayah tiri yang ia tak kenal
pembawa lari ibunya dari pantai
dalam kapal layar berpanji hitam
berlambang tengkorak
Jauh di pulau
ada seorang lanun
anak orang utas di pegunungan
pencari kesunyian dalam kegemuruhan
pencari kegemuruhan dalam kesunyian
Pada Kepergian Bersama Angin
buat murid-muridku di Surabaya
Irama dari bahaya dan bencana
Lagi-lagi gentayangan dari jauhan
Ah, mengapa panji tak kuangkat saja kembali
Dan
Berlari jingkat telanjang bulat ke muka
Dengan tembilang
Memupus segala jejak di belakang?
Usah duga
Mana tugu ujung segala pencarian
Hanya
: Bila pelangi cerlangi dinihari pekat
Dan asap berkepul hijau dari bintang-gerhana –
Datang, datanglah kau
Ziarahi aku dalam bayang terkulai
Dari tiang gantungan atas piala racun tercecer...
Dan aku
Akan ziarahi semua
Penziarah
Dengan senyum –
Seribu-kiamat
Merah Jambu Di Melati
Kepada Sitor Situmorang
Ada darah tiris
Dari hati atas melati
Satu satu
Ada melati tumbuh
Diciuman segara dengan gurun
Jauh jauh
Darah beku
Melati layu
Tapal sayu
Ada murai atas cactus
Ada cactus dalam hati
Ada kicau berduri
Sunyi sunyi
Pengakuan
Aku ingin memberi pengakuan:
Bulan yang gerhana esok malam
telah kutukar pagi ini
dengan wajah terlalu bersegi
pada kaca yang retak oleh
tengadah derita kepada esok
Kulecut hari berbusa merah
Jambangan di depan jendela terbuka
menyiram kesegaran pagi dengan
pengakuan:
esok adalah bulan purnama
Sungai Batanghari, 13 Agustus 1961
Requiem
Mengenang manusia perang I.H. Simandjuntak: Let., bunuh diri!
Aku tiada dapat katakan
apakah pergimu pada fajar atau senja
aku hanya tahu
kau pergi berlangit merah mencerah
Sejak kau pergi, prajurit-kematian,
kami berkesulitan menghalau gagak-gagak
ingin berhinggapan di lembah kami
dan berseru seharian dalam suatu lagu
yang bikin kami pada bergelisahan
Langit kami kini bertambah mendung
bukan oleh arakan mega yang bawa rintik-rintik
tapi oleh kawanan gagak
yang kian tutupi celah-celah terakhir
dari kebiruan langit jernih
dan kecuacaan mentari
Kawan
kami kini memikirkan
pengerahan gadis-gadis dan orang tua kami
untuk menghunus segala tombak dan keris hiasan
yang berpacakan di dinding ruang-ruang tamu kami
sebab
sejak kau pergi
pemuda-pemuda gembala dan petani kami
berlomba-lomba meninggalkan lembah
dan pergi lari ke kota
jadi penunggu taman-taman pahlawan
atau pembongkar mayat-mayat
Saksikanlah
di sini ada tantangan dari suatu kemuraman
yang ingin pudarkan segala irama dan kehijauan
dengar
di sini ada kesediaan dari nafas demi nafas
yang ingin pertahankan keluasaan jantung berdetak
dalam deretan detik demi detik
Tidak kawan
kami tiada akan mencari pelarian kami
ke dunia tempat mantera berserakan
walau kami tahu
bahwa mantera ditakuti gagak-gagak
dan akan buat langit kami
kembali cerlang
Kami benci mantera-mantera
kami benci semua yang bukan datang
dari kelenjar dan darah kami
sebab kami tahu
kekuatan yang dalam tanggapan
adalah jua kelemahan
Tidak kawan
kami akan tantang pertarungan ini
tanpa sikap dan gita kepahlawanan
sebab kami tahu
pahlawan berkehunian
bukan di bumi ini.
Kami tiada berani ramalkan
kesudahan dari pertarungan ini
kebenaran bukan lagi dalam
ramal, tenung ataupun renung
Tapi
andaikata lembah kami
menjadi lembah dari gagak-gagak
dan belulang kami mereka jadikan
bagian dari sarang-sarang mereka
ketahuilah
di sini telah rebah
manusia-manusia yang tiada akan
memikul tanda-tanda tanya lagi
Tapi
andaikata gagak dapat kami tiwaskan satu demi satu
dan haruman langit dapat kami hirup dengan luasa kembali
o, kegembiraan kami tiada akan kami unjukkan
dengan sesaat pun jatuh bertiarap di puncak bukit-bukit
kami
sambil menatap kerinduan ke udara kosong
dan membacakan mantera-mantera ...
Pun tiada akan kami kutuki
pemuda-pemuda kami yang lari ke kota
mencari kegemuruhan dalam menunggui kelengangan
sebab
kami mengibai semua mereka
yang tiada tahu dengan diri
pada kesampaian di tiap perbatasan
Inilah langkah pertama kami
kepenginjakan suatu bumi baru
di mana kami bukan lagi tapal
dari kelampauan dan keakanan
tapi
kamilah kelampauan dan keakanan!
Inilah tarikan-nafas kami yang pertama
dalam penghirupan udara di suatu jagat baru
di mana nilai-nilai ketakberhinggaan
bukan lagi terletak dalam
ramal, tenung ataupun renung
tapi:
dalam kesegaran dan keserta-mertaan!
Aku tiada dapat katakan
apakah pergimu pada fajar atau senja
aku hanya tahu
kau pergi berlangit merah mencerah,
pahlawan!
Surabaya, 29 Januari 1953
Bintang tak Bermalam
(nocturne untuk Nany Jasodiningrat)
Bertengger atas risau lembayung
Bintang tak tahu
Ke mana pijar hendak dipenjar
(Siang telah reguk segala warna
Bahkan kelam
Tak lagi bagi malam)
Dan pada pelangi
(Yang hanya di siang)
Tak ada berwakil
Warna bintang jatuh