Oleh: Abdul Hadi
DI halaman itu, pandangan Barka mendarat. Tatapannya kosong menyaksikan senja yang mulai remang. Cahaya kekuningan yang terpampang makin membuat kalbunya serasa ditusuk-tusuk seribu sembilu. Pedih, perih, dan ngilu. Sengilu jiwanya yang bimbang tidak terperikan.
“Bagaimana, Bang Barka? Hanya Abang satu-satunya harapan kami. Abang tak kasihan melihat Amak?” Adik perempuannya menyela.
Barka terdiam. Kata-kata itu bagai sayat yang tak henti-hentinya membuat dadanya tak putus dari kecamuk. Pikirannya kalut. Ditatapnya satu per satu ketiga adiknya yang duduk berjajar di hadapannya. Pandang mereka tertunduk tanda kusut layak dirinya. Barka menghela napas panjang. Tangannya mulai menyulut sebatang rokok, dan mengisapnya dalam-dalam.
Lima tahun lalu, setelah menunggu sekian lama, akhirnya Barka mempunyai cukup uang untuk melamar Harsinah. Tentunya selepas percintaan panjang mereka yang berbuah impian untuk segera ke pelaminan. Tapi, Harsinah harus menunggu selama tiga tahun agar Barka mempunyai cukup uang menebus mahar yang diminta ayah gadis itu.
Itu pun dengan bantuan sedikit gaji minim Harsinah setiap bulannya sebagai pelayan toko milik orang Cina. Akhirnya, mereka memutuskan untuk menikah. Tak ada yang mampu Barka janjikan kepada Harsinah, kecuali memenuhi impian gadis itu mempunyai rumah mungil dan sederhana sebagai persinggahan di hari tua.
“Setelah menikah, kita akan tinggal di rumah kontrakan dulu, selama itu, Abang akan menyisihkan uang untuk membuat rumah di sebelah rumah Amak. Ada lahan kosong di sana,” ucap Barka pada Harsinah suatu ketika. “Karena menumpang di rumah bapak atau mertua adalah sebuah beban yang berat, belum lagi jika ada perselisihan. Itu makin rumit, selain itu, aku adalah lelaki, tentu malu masih menumpang orang tua,” papar Barka berusaha meyakinkan Harsinah.
Kala itu, Harsinah menyetujui saja kata-kata calon suaminya itu. Ia sungguh memaklumi penghasilan Barka yang hanya bekerja di salah satu pabrik makanan ringan dengan gaji yang tak seberapa itu. Ia pun hanya mampu sedikit membantu. Tak apalah, bukankah ia hanya berkeinginan, terserah Tuhan, ingin memberinya, atau tidak.
Apalagi, dengan membayangkan kehidupan keluarga kecilnya nanti, tentulah setiap bulan sebuah kondisi yang begitu sulit untuk hidup sejahtera. Tapi, Harsinah tak peduli sebagaimana halnya Barka yang juga tak peduli dengan penghasilan kurang yang membayang-bayangi hidupnya ke depan. Mereka hanya ingin menyempurnakan getar-getar cinta yang selama ini mereka pelihara.
Sesungguhnya Barka pun ragu untuk mengontrak rumah. Tentulah hal itu adalah beban berat baginya yang hanya seorang buruh kecil. Belum lagi tagihan listrik, beli beras, beli minyak, iuran keamanan, iuran ini, iuran itu. Banyak lagi. Tapi, lebih berat lagi jika harus tinggal di rumah Amaknya atau di rumah keluarga Harsinah. Harga dirinya akan terasa ciut disebut-sebut lelaki yang tak bertanggung jawab karena tidak mampu menyediakan tempat tinggal bagi sang istri.
Setelah susah payah, tanya sana, tanya sini. Akhirnya, Barka mendapatkan rumah kontrak dengan harga yang begitu miring. Tentunya dengan konsekuensi yang setimpal pula. Rumah itu berada di kompleks paling ujung dan bersebelahan dengan tempat pembuangan sampah dan got yang selalu menguarkan bau tak sedap.
Dahi Harsinah sempat berkerut ketika Barka menawarkan rumah yang akan mereka tinggali itu. Tapi, akhirnya gadis itu mengangguk-angguk juga setelah Barka berjanji akan membersihkan dan melapangkan daerah sampah yang menjorok ke rumah itu. Barka juga berjanji untuk berusaha menjauhkan bau tak sedap itu dengan caranya sendiri.
Setelah pernikahan sederhana yang hanya mengundang kerabat-kerabat dari kedua mempelai itu, mereka berdua pun pindah ke rumah kontrakan kecil itu. Semuanya masih lengang dan kosong. Hanya ada beberapa sumbangan alat-alat rumah tangga dari keluarga mereka berupa: panci, tempat tidur, lemari usang, tikar, dan beberapa barang pecah belah. Uang tabungan Barka telah banyak terkuras membayar dana kontrakan setahun penuh dan sisanya ia serahkan pada Harsinah agar membeli kebutuhan yang diperlukan sekadarnya.
Sesuai dengan janjinya kepada Harsinah, ia akan membuatkan sebuah rumah impian. Maka mulailah pengantin baru itu menyibukkan diri dengan pekerjaan-pekerjaan sampingan, sebagai tambahan penghasilan. Meskipun masih dalam masa bulan madu mereka berdua tak mau boros-boros menguras uang. Meski dalam keadaan sulit, semuanya tetaplah indah bagi Barka dan Harsinah.
“Kita mesti menunda memiliki anak sebelum mempunyai rumah sendiri.”
Ada saja yang Barka ucapkan pada istrinya setiap sebelum tidur. Selalu begitu seterusnya sampai-sampai Barka kerap mendapati Harsinah sedang tersenyum sendiri. Mengingat-ingat bulan madu mereka yang hanya di samping got berair kelabu dan tumpukan sampah berbau tak sedap. Kala libur akhir pekan biasanya Barka akan mengajak Harsinah berjalan-jalan ke tempat-tempat yang dirasa indah. Meskipun tempat itu telah kerap mereka datangi sebelum menikah, semuanya terasa begitu berbeda.
Adakalanya tabungan untuk rumah itu terpotong dengan harga kebutuhan yang tiba-tiba naik. Hal itu tentu membuat Barka bersedih. Sudah lima tahun mereka berdua menyisihkan uang untuk membuat rumah impian itu. Berbagai godaan kerap membuat mereka menahan napas, terlebih saat melihat tetangga dengan begitu mudah mendapatkan apa yang mereka inginkan.
Suatu malam wajah Harsinah begitu sumringah. Tabungan itu telah dirasa cukup untuk membangun rumah. Tidak sia-sia rasanya mereka susah-payah menabung untuk itu.
“Agar tidak mahal, nanti akulah yang akan banyak bekerja sendiri membangun rumah itu,” ujar Barka seraya memasang wajah ceria.
“Halamannya akan aku tanami aneka bunga agar terlihat begitu indah,” sambung Harsinah.
“Aku akan mengecat pagar bambu rumah kita nanti dengan cat warna-warni agar anak-anak kita riang bermain di halamannya.”
“Sebentar lagi kita akan meninggalkan rumah kontrakan usang ini,” ucap mereka serempak.
Malam itu mereka berdua tidur dengan nyenyak, bermimpi memiliki rumah mungil nan indah sebagai tempat berteduh di masa tua.
Tapi, di bingkai jendela rumah Amaknya, Barka menatap jauh ke halaman. Senja telah remang. Cahaya kekuningan yang terpampang membuat kalbunya terasa ditusuk-tusuk seribu sembilu. Pedih, perih, dan ngilu. Sengilu jiwanya yang bimbang tak terperikan.
Tadi siang, Harsinah menyampaikan bahwa Barka ditunggu keluarganya nanti sore di rumah Amak. Semula, Barka menduga akan diadakan acara temu keluarga, tapi ganjilnya, kenapa Harsinah tidak diperbolehkan turut pula?
“Duduklah, Bang,” kata adik bungsu perempuannya begitu Barka sampai di rumah warisan babahnya itu. Barka sempat terheran-heran karena disambut dengan tampang murung oleh ketiga adiknya yang telah berjejer tak beraturan di hadapannya. Tidak biasanya mereka seserius ini kala bersua.
“Ada apa?” tanya Barka sambil menenangkan degup di dadanya. Pasti ada hal yang tidak beres.
Sesungguh hati ia tidak mampu memungkiri rasa cemas yang lantas merayap di dadanya. Segelas kopi panas yang terhidang di hadapannya membuat Barka tak sabar dan lantas menyulut sebatang rokok untuk mengusir gundahnya.
“Sakit Amak kumat lagi,” jawab adik perempuannya pelan.
Barka menghela napas, matanya menatap satu per satu adik-adiknya yang telah dewasa. Ia telah hafal tabiat sakit Amaknya itu. Seingat Barka, beberapa kali ia mengantar dan menunggui Amaknya yang terbaring pasi di ranjang rumah sakit. Stroke beserta rematik itu telah mengisap ketangkasan Amak.
Sebelum penyakit-penyakit itu bersarang di tubuhnya, Amak adalah wanita perkasa yang mampu menghidupi keempat anaknya yang telah yatim. Tapi, kejayaan itu cepat berlalu, lambat laun tubuh Amak kian rapuh seiring beranjaknya usia. Dan sebagai anak tertua, Barkalah yang menanggung dosa sebagai orang tua kedua bagi adik-adiknya sejak ibunya hanya mampu terbaring letai dirongrong aneka penyakit. Maka beban berat itu mesti Barka tanggung.
“Kenapa aku baru diberi tahu sekarang?” ucap Barka tegas seraya mengembuskan asap rokok ke udara.
Asap itu lantas terkoyak angin dingin yang berembus cukup kencang. Keheningan seketika merambat, memaku suasana menjadi kaku.
“Kami takut hal ini akan menyakiti perasaan abang.”
Barka menarik napas panjang. “Jadi, apa yang kalian mau dariku?” sambung Barka cepat.
Sebenarnya, Barka sudah menebak hal yang akan adiknya utarakan, tapi ia hanya ingin mendengar langsung dari mulut adik-adiknya untuk meyakinkan bahwa tebakannya akan salah.
“Amak mesti dioperasi, harus ada biaya,” jawab adik lelakinya. “Hanya Abang satu satunya harapan kami, Abang tak kasihan pada Amak?” sambungnya lagi.
Harapan yang Barka bangun seketika runtuh.
Kalimat terakhir itu bagaikan belati yang terhunus tak putus-putus menyayat nadi. Tidak henti-henti membuat dadanya tak putus dari kecamuk. Pikirannya kalut. Barka melempar pandang pada halaman itu. Tatapnya kosong menyisir sisa senja yang telah hilang. Gelap yang terpampang. Sebuah panorama kelam dari malam yang menerjang. Sekelam hatinya yang berselimut kepekatan.
Barka sudah mengetahui apa yang harus dilakukannya. Hanya saja, ia tak mempunyai kata-kata yang patut untuk disampaikan nanti kepada Harsinah. Tentang semua impian mereka yang terasa kandas di tengah jalan. (*)
Camplong, Januari 2011
Abdul Hadi menulis cerpen dan esai. Karyanya dimuat di beberapa surat kabar. Penulis asal Kalimantan Timur ini bermukim di Sampang, Jawa Timur.