Oleh: Agus Pribadi
Biasanya, aku melihatnya sedang rebahan di atas kasur dalam kamarnya. Sejak suamiku meninggal karena sakit yang tak terobati, anak lelakiku itu kerap merenung di kamar seorang diri. Apalagi selulus SMA, ia tak jua mampu mendapatkan pekerjaan. Meneruskan kuliah jelas tak mampu karena hanya aku penopang hidup keluarga. Seorang diri aku hanya mengandalkan hasil tak seberapa dari membuka warung makan di depan rumah, di daerah pedesaan yang sepi.
Tiga tahun tak mendapatkan pekerjaan, membuat anakku seperti patah arang. Hampir setiap hari aku melihatnya sedang merenung di kamar sambil mengamati cicak-cicak di dinding dan atap kamar. Jumlah cicak di kamar anakku tak pernah lebih dari empat ekor.
Hari demi hari, aku melihat anakku seperti semakin akrab dengan cicak-cicak yang dilihatnya. Bahkan dari balik pintu kamarnya yang terbuka sedikit, aku melihat anakku seperti sedang bercakap-cakap dengan cicak-cicak itu.
Suatu pagi, aku melihat di dalam sana, di kamar anakku, ada seekor cicak sedang menangkap nyamuk. Hap! Lalu ditangkap. Cicak itu berhasil menangkap mangsa dengan mulutnya. Aku melihat anakku dengan saksama mengamati peristiwa itu. Ia seakan terkagum-kagum dengan binatang yang mempunyai kemampuan istimewa merambat di dinding dan atap rumah itu. Ketika aku kembali ke kamar anakku, setelah melakukan aktivitasku berjualan di warung depan rumah hingga sore menjelang, aku terkesiap. Anakku menghilang. Cicak itu berjumlah menjadi lima ekor yang sebelumnya berjumlah empat ekor. Aku yakin anakku telah berubah menjadi cicak.
Ketika aku mengabarkan kepada orang-orang bahwa anakku telah berubah menjadi cicak, beragam tanggapan mereka terhadapku. Ada yang menganggap aku telah menjadi gila tersebab kematian suamiku empat tahun yang lalu dan minggatnya anakku dari rumah.
“Kasihan Martini menjadi kurang waras sejak suaminya meninggal. Anaknya minggat dianggap berubah menjadi cicak,” ucap seorang nenek pada perempuan di sampingnya dengan bibir agak dimonyongkan. Aku melihat nenek renta itu menggunjingku saat aku hendak mencuci di sungai. Melihat kedatanganku di tepi sungai mereka terdiam, berpura-pura melanjutkan membentur-benturkan kain basahnya ke atas batu-batu sungai.
Ada yang menganggap anakku pergi dari rumah karena tak kuasa mendapati dirinya yang pengangguran dan malu dengan orang-orang desa.
“Anak semata wayang Martini pasti minggat. Mungkin mencari pekerjaan ke kota atau menjadi gelandangan entah di mana,” ucap seorang lelaki paruh baya, yang sering mengecer rokok di warungku ketika berangkat atau pulang dari sawah, pada lelaki paruh baya lainnya.
Ada yang menganggap anakku telah gila karena terlalu banyak melamun di kamarnya dan telah pergi meninggalkan rumah tanpa pamit kepadaku, ibu yang sangat dicintainya.
“Kasihan anak Martini. Kerjanya mengurung diri di kamar. Tak mau membaur, bergaul dengan bujang-bujang desa lainnya. Dan anak itu mungkin telah minggat dan menjadi gila,” ucap Rumiyah, temanku waktu sekolah dulu, pada tetangganya.
Aku tak percaya dengan omongan tak berdasar mereka. Aku tak peduli cibiran sinis mereka. Aku yakin anakku telah berubah menjadi cicak. Dan sejak itu, aku selalu menjaga kamar anakku. Aku biarkan nyamuk-nyamuk berbiak di kamarnya agar ia tidak kelaparan. Aku selalu melihatnya sedang bermain-main dengan empat temannya yang lain. Aku sangat senang, jika mendapati anakku sedang menangkap nyamuk untuk dimakannya.
*****
SEMUA itu bermula saat aku mengamati cicak cicak di dinding kamar dan atap rumah. Aku melihat seekor cicak sedang menangkap nyamuk dengan mulutnya. Aku kagum. Binatang itu mampu menangkap makanannya merupakan makhluk yang bisa terbang. Padahal binatang reptil itu posisinya sangat sulit, berada di dinding tembok atau di atap rumah. Sungguh luar biasa. Melihat kejadian itu, aku menjadi malu dengan diriku sendiri. Aku hanya bergeming di kamar. Padahal aku diberi kesempurnaan fisik, bisa berenang, bisa berjalan, dan bisa melakukan apa pun yang aku inginkan. Aku tergerak untuk bangun, bangkit dan bekerja. Pekerjaan yang menantang sekali pun.
Aku menjadi teringat kembali enam bulan yang lalu, saat menolak ajakan Paklik Darsun untuk bekerja di kota. Waktu itu aku tak mau kalau harus bekerja sebagai kuli bangunan ditambah lokasinya yang penuh risiko karena harus bekerja di ketinggian beberapa lantai.
“Kapan pun kau mau, datanglah ke kota dan bekerja bersamaku,” kata-kata Paklik Darsun seakan kembali mengiang di telingaku.
Tanpa berpikir panjang, aku langsung bangkit dari rebahku. Mengambil beberapa potong baju, menyambar jaket hitam, juga topi hitam, dan pergi meninggalkan kamar melalui jendela. Aku sengaja tak berpamitan pada ibu. Aku tak mempunyai muka di hadapan ibu karena aku sudah bersumpah tak akan bekerja kasar menjadi kuli bangunan. Aku malu menelan ludahku sendiri di hadapan ibu.
Aku bergegas saat ibu sedang berada di warung depan rumah. Mengenakan jaket hitam, bertopi hitam. Mengendap agar tak terlihat orang. Menyibak rimbun pohon bambu, melewati jalan yang jarang dilalui orang. Aman. Aku langsung naik angkutan pedesaan jurusan kota yang kebetulan melintas di jalan kampong yang sepi. Aman. Tak ada penumpang lain selain aku. Aman. Sopirnya pun tak mengenaliku. Aku berhenti di jalan besar.
Aku kembali naik kendaraan umum. Setelah menunggu beberapa saat, sebuah bus besar jurusan kota berhenti di depanku. Bus itu pun membawaku ke kota tempat Paklik Darsun sedang bekerja.
Setelah bertanya ke sana kemari, akhirnya aku menemukan tempat kerja Paklik. Aku melihatnya sedang berada di ketinggian. Aku menjadi teringat cicak di kamarku yang sedang menangkap nyamuk. Aku bertekad akan bekerja bersama Paklik Darsun di sana.
“Kamu sudah mantap akan bekerja di tempat ini? Kamu akan naik di tempat itu!” tanya Paklik Darsun sambil menunjuk tempat ketinggian, sore hari saat ia telah selesai bekerja hari itu.
“Saya siap, Paklik!” jawabku mantap. Sekelebat bayangan cicak yang sedang menangkap seekor nyamuk di kamarku kembali melintas dalam pikiranku.
“Nah gitu, namanya lelaki jantan. Siap bekerja di mana pun tempatnya yang penting halal.” Ucap Paklik Darsun sambil menepuk pundakku. Aku pun diajaknya menuju ke kontrakannya yang tidak jauh dari tempatnya bekerja.
*****
WARUNGKU semakin sepi. Mungkin sejak orang-orang mengetahui kalau aku menganggap anakku telah berubah menjadi seekor cicak. Para pelangganku mungkin banyak yang tak sudi lagi membeli ke warungku dan menganggapku gila. Siapa yang sudi membeli jika yang berjualan orang gila?
Hanya sedikit orang yang tetap membeli ke warungku. Kebanyakan mereka yang berusia lanjut. Mungkin kematangan jiwa mereka menjadikan mereka memahami gejolak yang ada dalam jiwa seorang ibu pada anaknya.
Aku menutup warungku lebih awal dari biasanya. Aku lebih sering berada di kamar anakku. Melihatnya sedang termangu di dinding tembok kamarnya sambil menunggu ada nyamuk yang hinggap di depannya. Aku merelakan sekujur tubuhku digigit nyamuk-nyamuk yang mengganas.
*****
AWALNYA aku ketakutan saat harus bekerja di ketinggian. Namun lambat laun menyenangkan juga bisa menaklukkan tantangan itu. Bahkan aku kadang kurang berhati-hati saat bekerja di ketinggian karena merasa telah terbiasa.
Tak terasa, hampir setahun aku bekerja di kota. Aku telah mengumpulkan sejumlah uang. Aku bertekad akan menambah modal warung Ibu. Pasti Ibu senang jika warungnya bertambah besar dan lengkap.
Beraneka sayuran dan kebutuhan sehari-hari akan tersaji untuk para pembeli. Betapa riang hati Ibu menunggui warung yang besar dan lengkap.
Aku juga akan membeli sepetak sawah yang akan kuurus sendiri. Hasilnya akan kutabung dan kujadikan modal menikah agar Ibu lebih senang lagi.
Mudik tahun ini, semua impianku itu akan kuwujudkan.
*****
SUARA sirine ambulans mengiung-ngiung seperti dengung lebah yang memekakkan telinga. Aku menutup kedua lubang telingaku agar tak mendengar lagi suara yang kian dekat itu. Suara yang menyayat hati. Aku berharap mobil asing itu tak menuju ke rumahku.
Seperti sebuah firasat, tadi malam aku melihat ada seekor cicak terjatuh mati di kamar anakku. Aku berharap cicak itu bukan anakku. Anakku pasti masih merayap di atas sana. Namun aku tetap menguburkan cicak itu. Sejak anakku menghilang, aku menganggap semua cicak adalah anakku. Aku menguburkannya di belakang rumah.
Harapanku tak menjadi kenyataan. Mobil ambulans itu berhenti tepat di depan warungku. Darsun, adikku keluar dari mobil itu. Matanya sembab. Kabar buruk apa yang dibawanya? Orang-orang berkerumun, dengan tanya yang mungkin sama denganku.
“Anakmu mati, jatuh dari ketinggian, Yu,” ucap Darsun terbata-bata.
“Tak mungkin. Anakku sudah menjadi cicak,” aku menggeleng. Air mata membanjiri pipiku.
Dua orang petugas berpakaian putih-putih dibantu Darsun dan seorang tetangga membawa peti jenazah dan meletakannya di ruang tamu. Aku mendekat, menatapnya lekat. Aku tak kuasa melihat seorang pemuda berbadan dan berwajah mirip anakku terbujur kaku tak bernyawa.
Aku menggeleng. Tak bisa menerima kenyataan ini. Bukan. Dia pasti bukan anakku. Aku kembali menatapnya lekat. Ia sangat mirip dengan anakku. Tapi aku lebih yakin kalau anakku telah menjadi cicak.
Banyumas, 21 Agustus 2012
Agus Pribadi, Ketua Para Penulis Muda Banyumas (Penamas). Cerpen-cerpennya termaktub dalam antologi Balada Seorang Lengger (2011) dan Kunang-Kunang Kenangan (2012).