Oleh: Edy Yuswanto
Mendung hitam di langit seperti turut berkabung atas petaka yang membuatku kalap di pagi buta itu. Uang Rp 36 juta, ongkos Emak naik haji yang kutaruh di laci lemari, raib. Aku yakin si pencuri itu adalah Mas Jarwo. Siapa lagi kalau bukan dia?
Semua bermula ketika aku mengutarakan niat menghajikan Emak. Entah mengapa, rona wajah Emak terlihat datar saja. Aku menjadi juru bicara dua saudaraku yang lain. Tapi, tak setitik pun kulihat binar semringah di wajahnya yang kian terpahat keriput.
Kami, anak-anaknya, ingin sekali membahagiakan Emak yang berusia 57 tahun, orang tua kami yang tersisa kini (bapak telah wafat 10 tahun silam). Kami bertiga sepekan lalu, sepakat meminjam uang ke bank swasta buat ongkos Emak naik haji. Tiap bulan kami bertiga secara bergilir menyicil utang tersebut ke bank.
“Lebih baik, kalian kembalikan saja uang itu ke bank, Nduk,” aku terperenyak tak percaya mendengar kalimat Emak barusan. Pada saat banyak orang tua ingin dihajikan anak-anaknya, tapi … ah, mengapa Emak malah menolak?
“Kenapa Emak ngomong begitu? Memangnya Emak ndak pingin apa naik haji seperti kebanyakan orang?” ujarku pelan dengan kening berlipat. Kulihat bibir Emak melengkungkan senyum tipis. Sekilas.
“Setiap orang yang mengaku beriman kepada Allah dan Rasul-Nya pasti sangat merindukan berziarah ke Tanah Suci, Nduk,” ujar Emak pelan, membuat kerut di keningku kian bersilipat.
“Tapi, kenapa Emak menolak didaftarkan haji?”
“Nduk, haji itu hanya wajib bagi yang mampu …” suara Emak lirih terpenggal. Pandangannya mengawang jauh ke area persawahan gersang yang terhampar di depan halaman rumah. Kemarau tahun ini memang terasa begitu panjang dan melelahkan. Membikin ketar ketir warga kampung yang menggantungkan hidup dari bertani.
“Tapi, soal biaya, kan kami bertiga yang nanggung, Mak. Pokoknya, Emak ndak perlu mikirin masalah biaya haji, Emak cukup hadir tiap ada bimbingan haji di kantor KUA,” aku terus membujuk Emak. Lagi, bibir kisut Emak melengkungkan senyum tipis sekilas.
“Dengan cara berutang ke bank, Nduk?”
“Ya, apa salahnya, tho, Mak. Toh, nanti juga akan lunas dengan sendirinya,” aku terus berusaha meyakinkan beliau.
“Tapi, kalau dengan cara berutang, itu sama saja memaksakan diri. Sementara, Gusti Allah ndak pernah mEmaksa hamba-Nya yang belum mampu. Pokoknya selama Emak belum punya duit sendiri buat haji, Emak ndak akan memaksakan diri,” ucapan Emak kian buatku terperangah. Sungguh jawaban Emak di luar dugaanku.
“Tapi, kapan Emak punya duit yang cukup buat haji, sementara hasil dari Emak berdagang sayuran di pasar hanya cukup buat kebutuhan sehari-hari saja, Mak.”
“Nduk, rezeki itu Gusti Allah yang ngatur. Emak yakin kamu pasti lebih paham tentang hukumnya haji, kamu kan anak kuliahan,” pandangan Emak kembali menerobos ke area persawahan gersang yang membentang luas di depan halaman rumah.
Emak benar. Tapi … ah!
*****
“Gimana, Ti?” cecar Mas Jarwo, kakak lelakiku yang kedua, ketika aku baru tiba di halaman rumahnya untuk melaporkan ‘misiku’ tadi. “Gagal, Mas,” sahutku lesu.
“Emak nolak?”
Aku mengangguk tak semangat. Lantas, kuurai keberatan yang barusan dituturkan Emak. Mas Jarwo manggut-manggut saja mendengar ceritaku. Dan yang membuatku mengerut dahi, tak kulihat kelesuan sedikit pun di wajah sawo matangnya.
“Yo wislah, Ti.”
“Wis piye ta, Mas?” kedua mataku melebar.
“Ya, kalau Emak ndak mau, jangan dipaksa. Kalau menurutku, Emak itu ada benarnya juga. Ndak perlu memaksakan diri kalau belum mampu,” ucapan Mas Jarwo membuat dadaku nyaris meleduk. Memang sedari awal, Mas Jarwolah yang kurang setuju dengan rencana ini.
Berbeda dengan Mas Slamet, kakak lelaki pertama, yang langsung menyambut dengan antusias ideku untuk menghajikan Emak.
“Ti …” Mas Jarwo tersenyum misterius menatapku. Aku langsung bisa menangkap gelagat tak baik dari sorot matanya.
“Gimana kalau … uangnya aku pake dulu, soalnya aku lagi butuh buat bayar sawahnya Pak Gunadi,” lanjut Mas Jarwo sambil garuk-garuk kepalanya yang botak berminyak.
“Lha, Mas, iki piye ta, kita kan sudah sepakat kalau uang itu buat menghajikan Emak, bukan untuk keperluan lain,” sahutku mulai kesal dengan sikap Mas Jarwo yang mencla- mencle.
“Tapi, barusan kamu bilang, Emak udah nolak.”
“Iya, tapi kan belum pasti juga, Mas. Siapa tahu Emak berubah pikiran. Bisa saja, kan?” aku benar-benar mulai aus kesabaran menghadapi Masku yang sejak dulu hinggi kini hobi membeli sawah tetangga yang tengah terjepit masalah.
“Sudahlah, Ti, ndak perlu rayu-rayu Emak lagi, wong jelas-jelas sudah ndak mau ya jangan dipaksa. Benar kata Emak, haji itu hanya bagi mereka yang mampu,” ucapan Mas Jarwo membikin dadaku seperti diguyur bensin. Tanpa permisi, aku lekas meninggalkan rumahnya.
“Lho, Ti, kamu mau ke mana, hei … tunggu dulu, aku belum selesai ngomong!” Langkahku kian lebar, tak sedikit pun menggubris kata-katanya.
*****
“Ya, kalau dipikir ada benarnya juga, sih,” kata Mas Slamet saat kuceritakan penolakan Emak. Gurat wajahnya terlihat prihatin. Sungguh berbeda dengan respons Mas Jarwo yang malah bungah saat mendengar Emak menolak dihajikan.
“Terus, solusinya gimana, Mas?”
“Coba nanti aku yang bicara, mudah mudahan Emak berubah pikiran.”
“Tapi, kalau Emak tetep nolak …”
“Ya, terpaksa uangnya kamu simpan dulu, buat jaga-jaga jika suatu saat Emak butuh uang, kan kita bisa menggunakan uang itu buat bantu Emak.”
Aku mengangguk. Aku sangat setuju dengan usulnya.
“Tapi, gimana dengan Mas Jarwo?” tiba-tiba aku teringat Mas Jarwo yang ingin menggunakan uang tersebut untuk kebutuhannya.
“Nanti aku yang bicara padanya.”
*****
Ternyata, Emak tetap kukuh pendirian. Malah Emak bilang, jika uang yang bersumber dari bank itu sedikit sekali keberkahannya. Aku tak menanggapi apa-apa karena aku malas berdebat dengan Emak.
Akhirnya, aku dan Mas Slamet menyerah dan bersepakat menyimpan uang itu untuk sementara, buat jaga-jaga jika Emak memerlukan. Hanya Mas Jarwo yang terlihat keberatan dengan ide kami berdua. Bahkan, beberapa kali, ia datang dan memintaku agar menyerahkan uang tersebut untuk kepentingannya. Tentu saja aku tetap bersikukuh, tak mau menyerahkan uang itu.
*****
Hujan deras masih mengguyur bumi. Suaranya bergemeretap di atap seng rumah kami. Musim hujan rupanya telah tiba. Dengan mencengkeram payung hitam disertai dada bergemuruh hebat, kuayun langkah lebar menuju rumah Mas Slamet yang berjarak 200-an meter dari samping rumah di mana aku dan Emak tinggal. Sebagai bungsu yang belum menikah, aku memang masih tinggal bersama Emak.
Mendung hitam yang masih setia menyelimuti langit seperti turut berkabung atas petaka yang membuatku kalap pada pagi buta itu. Bagaimana tidak? Uang yang kutaruh di laci lemari kamar itu raib. Aku yakin Mas Jarwo pencurinya.
“Jangan buruk sangka dulu, Ti,” ujar Mas Slamet dengan nada tenang meski wajahnya terlihat kaget dengan kabar hilangnya uang itu.
“Tapi aku yakin banget kalau Mas Jarwolah pencurinya, Mas!” suaraku menggelegar, seiring suara halilintar yang merobek langit.
Merasa kesal karena Mas Slamet tetap tak memercayai keyakinanku, lekas kuputar badan dan kembali bertarung melawan hujan yang masih menderas.
“Ti! Kamu mau ke mana?”
“Rumah Mas Jarwo, Mas!”
*****
“Kamu jangan asal nuduh, Ti!” seru Mas Jarwo emosi.
“Wis ta Mas, ngaku saja! Mas kan yang nyuri uang itu!” aku lebih tak bisa menguasai emosi.
“Heh, dengar ya, aku memang ingin pinjam uang itu, tapi asal kamu tahu, aku ndak sekeji yang kamu tuduhkan, aku masih eling sama Gusti Alloh, Ti!” seru Mas Jarwo seraya menunjuk ke langit.
“Oke, kalau memang Mas Jarwo benar ndak nyuri, apa Mas Jarwo berani sumpah di atas Alquran ?”
“Kamu menantangku? Baik! Aku siap!”
Dan, sumpah itu pun akhirnya benar-benar dilakukan Mas Jarwo sehari berselang. Kami sengaja merahasiakan hal ini dari Emak. Kami tidak mau Emak jatuh sakit memikirkan anak-anaknya yang sudah dewasa saling bertikai.
Namun, tetap saja aku tak memercayai sumpahnya yang menurut bisik batinku palsu.
Sehari. Dua hari. Sepekan. Bahkan, tak terasa bulan telah berganti nama. Tapi, tak ada tanda-tanda Mas Jarwo mengalami suatu musibah. Karena sebagaimana kebiasaan yang sudah-sudah, jika sumpah yang terucap palsu, tak menunggu lama, ia akan terkena musibah.
*****
Tiga bulan kemudian. Sore itu, sepulang kuliah, Mbak Harsih, istri Mas Slamet, duduk cemas menungguku di teras rumah bersama Emak. Raut Emak terlihat sedih nian. Bahkan, beberapa detik kemudian, tanpa mengucap sepatah kata, Emak langsung menangis sesenggukan.
“Ono opo, Mbak?” seraya duduk menjejeri kakak iparku.
“Mas Slamet, kecelakaan, Ti, ia tertabrak mobil saat naik motor sepulang dari pasar,”
terangnya lirih, wajahnya dipenuhi air mata.
“Masya Allah! Gimana keadaan Mas Slamet, Mbak?” aku panik bukan main.
“Mas, Mas Slamet, me … meninggal di tempat ke … kejadian, Ti.”
“Apa? Innalillahi wa inna ilaihi raajiuun.”
*****
Sepekan pasca meninggalnya Mas Slamet. Pada suatu sore yang ditingkahi rinai gerimis, Mbak Harsih datang membawa sepucuk surat untukku. Surat itu katanya ditemukan di laci meja Mas Slamet:
“Maafkan aku, Ti. Aku terpaksa mengambil uang itu tanpa seizinmu, aku bingung hendak mencari utangan ke mana lagi buat biaya masuk kuliah Galuh, anakku.”
Aku terperangah. Betapa sulit memercayai kenyataan ini. Hatiku seketika mencelus saat prosesi sumpah tiga bulan lalu—dan nyaris terlupakan—tiba-tiba kembali terekam dalam memoriku.