Oleh: Damanhuri Armani
Di Sebuah Toko Buku
Rahasia Membutuhkan Kata. Itu judul buku yang beberapa tahun lalu kudapati teronggok di sebuah rak toko buku di kotaku.
Sebenarnya bukan karena aku betul-betul pecinta buku, apalagi buku sastra, jika aku akhirnya membeli buku itu. Bukan, sama sekali bukan. Karena kalau aku seorang penyuka buku, sikapku pasti tidak instrumentalistik hanya membeli buku yang kuanggap memiliki nilai praktis. Jika aku pecinta sastra, tentu saja bukan buku telaah sastra itu yang aku beli; tapi justru buku sastra.
Aku pasti akan membeli buku-buku puisi Sapardi atau Sutardji. Aku akan membeli buku-buku prosa Seno Gumira, Budi Darma, Remy Sylado atau Umar Kayam—nama-nama pengarang dengan reputasi menjulang tapi hanya satu-dua buku karya mereka yang terselip di rak bukuku.
Apalagi, menurut seorang kawanku yang mencintai karya sastra melebihi cintanya kepada suami dan anak-anaknya, bukan tidak kerap para kritikus itu sesungguhnya hanya mengganggu dan menghalangi kemandirian para pembaca dalam menikmati karya sastra. Nasihat berharga yang anehnya hingga hari ini masih enggan kuhiraukan.
Terus terang, aku memang memiliki tabiat buruk dalam membaca karya sastra—dan inilah yang memunculkan sikap tahu diriku untuk tak cukup memiliki nyali memaklumkan diri di muka umum sebagai pecinta sastra. Sebab, aku hanya membaca karya sastra setelah kritikus Fulan atau Fulanah memuji-mujinya dan menunjukkan kualitas literer yang dikandungnya.
Alasanku sederhana saja: tak mau mengambil risiko membeli atau membaca karya sastra buruk; yang berarti menyia-nyiakan energi, uang, dan waktuku. Sementara masih ada setumpuk buku lain yang belum lagi kurampungkan membacanya. Masih banyak kebutuhan lain yang menuntut pengeluaran dari uangku yang jumlahnya begitu terbatas.
Dengan alasan itu pula aku begitu sungkan melirik buku-buku sastra karya para pengarang yang namanya belum dierek tinggi-tinggi dalam belantara perbincangan sastra di event-event atau koran-koran besar ibukota.
Betapa naifnya, memang, pikiranku itu. Tapi begitulah jika aku boleh jujur; dan bila kejujuran masih bisa dihargai sebagai sebuah kebajikan yang belum lekang. Kupikir itu lebih baik ketimbang bersikap sok tahu dan tak tahu diri.
Jadi, sekali lagi, kalau aku menyebut-nyebut buku, penyebabnya sama sekali bukan karena aku seorang pecandu sastra; seorang kutu buku yang saban hari menghabiskan waktu berjam-jam memelototi segala jenis buku; atau, apalagi, berani sesumbar mengikuti Sartre—bahwa “kehidupanku telah kuawali seperti rupanya aku akan menutupnya: di tengah buku-buku”.
Penyebabnya akan kian jelas setelah aku merampungkan patahan-patahan kisah yang segera kurawikan berikut ini.
Tentang Aku
Aku hanyalah seorang gadis biasa: 168/45, berkulit sawo matang; tidak cantik, meskipun tidak bisa dibilang buruk rupa. Pernah kuliah meski tanpa sungguh-sungguh mencintai buku, apalagi buku-buku sastra, dan jadi sarjana empat tahun setelah Orde Baru tumbang. Hanya sekali-sekali saja jalan-jalan di mal; melihat-lihat foster film terbaru di gedung bioskop meski tidak selalu menontonnya; menyaksikan beragam kontes menyanyi di TV (kegiatan inilah sesungguhnya yang paling sering kulakukan) atau menikmati tayangan sinetron yang daftar jam tayangnya lebih panjang dari kereta api itu.
Selain seabrek aktivitas kurang bermutu itu, hingga kini aku lebih sibuk menyiasati waktu-waktu luang agar tak terlalu kentara sebagai pengangguran kerah-putih. Agar tak mengecewakan harapan kedua orangtuaku yang menguras habis harta kekayaannya untuk membiayai kuliahku, sejak tamat kuliah aku pun mengelabui mereka dengan memilih tinggal menjauh dari kampung halaman.
Dengan alasan yang baru kusebut itulah aku merasa bisa sedikit menghibur diri. Saat rasa jenuh betul-betul mulai mendera, barulah aku membolak-balik halaman beberapa novel dan kumpulan cerpen yang sebagian besar pemberian mantan pacarku.
Buku dan Rahasia
Secrets Need Words. Begitulah judul edisi asli yang juga tertera di bagian bawah sampul depan buku tentang puisi-puisi Indonesia periode 1966-1998 itu. Buku yang sebenarnya tak begitu mengasyikkan untuk dinikmati. Mungkin karena aku, seperti baru kukatakan, bukan seorang pembaca yang baik. Atau, boleh jadi, karena aku hanyalah perempuan biasa yang berusaha menyembunyikan kesepian dan kegalauan dengan mencari-cari kesibukan.
Namun, sekali lagi harus kukatakan, buku itu tetap menggodaku. Bukan karena karya orang asing, tentu. Karena, seperti pernah kudengar dalam wejangan seorang kawan yang selalu antusias tiap kali membicarakan buku-buku yang dibacanya, kebetulan aku pun percaya bahwa tidak pernah ada jaminan buku-buku karya orang asing itu pasti bermutu bagus. Tak pernah ada jaminan bahwa kejernihan dan kebeningan telaah pasti bergelimang dalam tiap karya mereka.
Persoalannya sebenarnya sederhana saja: kata “rahasia” dalam judul buku itu mengingatkanku kepada almarhumah ibu. Sungguh, sepotong kata dengan tujuh huruf itulah yang menggoda dan memaksaku dengan sembunyi-sembunyi merobek paksa plastik pembungkusnya tanpa sepengetahuan penjaga toko, sebelum membelinya.
Ya, hingga bertahun-tahun berlalu dan tiap kali aku berbagi kisah tentang almarhumah ibu dan buku itu, kata “rahasia” itu pula sebenarnya yang mendorong-dorongku untuk melakukannya. Kini, kata “rahasia” itu kian lekat di benakku tiap kali aku mengenang ibu. Mengingat kisahnya. Menghikmati deritanya.
Tapi, berbeda dengan judul buku karya penulis asing yang banyak menerjemahkan karya para sastrawan nusantara itu, bagi ibuku rahasia justru tak membutuhkan kata. Sebab, baginya, bungkam justru jalan paling tepat untuk merawatnya. (Aku jadi teringat kawanku yang mencintai buku-bukunya melebihi cintanya kepada suami itu. Dalam sebuah SMS yang kata dia dikutipnya dari Wittgenstein, ia menulis: “apa yang mustahil kita katakan harus kita lalui dalam diam”. Ah, kebijakan yang ibu tawarkan ternyata seluhur pesan seorang, yang konon, filsuf bahasa itu).
Bagi ibuku, rahasia memang justru harus dijauhkan dari kata. Dengan merawat dusta, tentu saja. Dusta yang ternyata tak selamanya tercela—setidaknya ketika dilakukan oleh ibu dan untuk pertama kali sepanjang hidupku aku menganggapnya justru sebagai sebuah kebajikan.
Ini tentu saja hanya kesimpulan subyektif yang kuambil dari kenangan paling membekas sepanjang hidupku dan karena itu memaksaku membeli buku yang kuceritakan.
Kabar dari Rumah
Sepanjang hidup di luar kota sejak masa sekolah menengah hingga masa kuliah, aku sebenarnya tak pernah pulang kampung kecuali pada hari-hari liburan panjang. Aku bertekad terus melazimkan kebiasaan itu selepas tamat kuliah. Pikirku, setelah pekerjaanku betul-betul jelas dan penghasilanku bisa dianggap cukup, barulah aku akan sering pulang kampung mengunjungi orangtua.
Tapi rencana tinggal rencana. Baru tiga bulan selepas wisuda, kakak perempuanku yang tinggal di kota B dan adik laki-lakiku yang tengah melakukan penelitian di kota P berkali-kali menyuruhku pulang. Demi menenggang mereka yang sudah pulang lebih dulu, aku pun akhirnya mengiyakan dan menyusul mereka dengan berat hati.
Pulang: Akhir Rahasia
Jalanan perkampungan menuju rumah yang kulewati, setelah hampir sehari semalam naik bus antarprovinsi, masih seperti jalan yang kulewati tiap hari di masa kecil. Belum dilalui kendaraan-kendaraan besar seperti di kota tempatku kini tinggal. Meski tak serimbun saat aku tinggal di kampung halaman, bebukitan di kanan kiri jalan pun masih tetap hijau. Punggung jalan di sana sini juga masih dipenuhi lobang yang lebih mirip tempat air menggenang saat musim penghujan datang.
Tapi hujan tampaknya belum lagi rutin turun. Hanya sesekali. Sepanjang hari matahari sepertinya masih tetap ingin bertengger di atas kepala dan enggan disaput awan. Air hujan pun turun tersendat-sendat beberapa saat dan dengan segera tetasannya diserap bentangan tanah kering sepanjang jalan. Jejalanan yang kulalui pun kembali berdebu.
Aroma tanah kering yang baru disiram hujan menyengat hidung. Lahan-lahan sawah di kanan-kiri jalan belum lagi ditanami dan hanya dipenuhi tumpukan jerami yang sebagiannya mulai mengabu dan meninggalkan onggokan berwarna hitam karena pembakaran yang dihentikan guyuran hujan yang singkat. Pemandangan tak berubah hingga aku sampai di halaman rumahku yang tampak lengang.
Karena tak seorang pun tampak di beranda rumah tempatku biasa menghabiskan petang di masa kanak-kanakku, kian dekat jarak pintu rumah yang akan segera kumasuki kian deras rasanya rasa was-wasku. Aku kian diliputi tanya tentang apa yang sebenarnya terjadi. Sebab, selain konon ada hal penting, dalam beberapa kali percakapan telepon dengan kakak maupun adikku, tak pernah dijelaskan mengapa aku harus pulang.
Hanya kakak yang menggendong anak bungsunya dan adikku yang segera kulihat ketika, tanpa menunggu dibukakan pintu, aku langsung masuk menyerbu rumah. Mengikuti keduanya yang tak menjawab apa-apa saat kubertanya tentang ayah dan ibu, aku langsung masuk kamar di mana kulihat ibu tergolek lemah.
Cuma dingin yang terasa dari tubuh pucatnya yang kupeluk erat. Ia memang berusaha menyunggingkan senyum meski tampak kesulitan. Tak ada lagi kata, apalagi canda, seperti biasanya dulu selalu ia lakukan.
Tiga bulan sudah ibu sakit, begitu adikku bilang. Ia langsung sakit tak lama setelah menghadiri wisudaku. Mungkin karena tak terbiasa naik kendaraan dengan jarak yang terlalu jauh, pikirku. Karena, setahuku, itu pula alasan ibu mengapa ia dulu hampir saja membatalkan niat ibadah haji. Meskipun untuk soal yang satu ini, banyak keajaiban yang terjadi. Sebab, bukan saja apa yang dikhawatirkannya itu tak terjadi sama sekali, ibu malah merasakan ibadah warisan Ibrahim itu sebagai perjalanan paling mengesankan yang pernah ia rasakan. Tak ada mabuk kendaraan seperti ia alami saat menghadiri wisudaku. Tak ada sakit dalam perjalanan jauh itu. Tak ada jet lag. Begitu ia kerap berkisah kepada kami dengan wajah ceria.
Tapi sakit ibu kian parah ketika sebulan sebelumnya, begitu kakak dan adikku bercerita dengan suara terbata, ayah mengalami kecelakaan parah dalam perjalanan pulang dari kota T. Pekat malam dan kelokan jalan yang tajam malam itu menghalangi pandangan ayah dari lubang besar yang melemparkan mobil yang dikemudikannya dari ruas jalan aspal dan akhirnya memerosokkannya ke dalam jurang yang cukup dalam.
Tanpa menunggu pertanyaanku tentang keberadaan dan kondisi ayah, kakakku bilang kalau ia selamat, meski dengan tulang pinggang juga tangan kiri yang patah, dan kini masih dalam pemulihan. Ayah dirawat dengan baik di rumahnya yang kedua, oleh istri kedua dan empat orang anak-anaknya, katanya menambahkan dengan suara setengah tertahan—juga tanpa lebih dulu memberi waktu kepadaku untuk bertanya atau menyela.
Wajah ibu kian layu. Kedua matanya lebih banyak terpejam. Sekira sejam kemudian, perlahan tapi pasti kedua matanya tetap terkatup. Tak ada lagi denyut dalam nadi yang kupeganginya.
Setelah itu, selain aroma ajal, tak ada lagi yang bisa kuingat. Segalanya gelap. Pekat.
Aku, juga kakak dan adikku, baru sadar jika mendiang ibu ternyata menyembunyikan rahasia selama ribuan hari. Ibu menyimpan rapat-rapat segalanya. Ibu menyembunyikan luka yang dirasakannya dengan terus berdusta kepadaku, juga kakak dan adikku, dengan berpura-pura selalu bahagia. Ia rupanya ingin luka yang dirasakannya tak dialami oleh ketiga anaknya.
Tapi, kami akhirnya tahu juga rahasia itu. Tahu ngilunya sembilu di hati ibu. Bagi almarhumah ibu, tak seperti judul buku itu, rahasia memang tak membutuhkan kata… (*)
Tanjungkarang, 2015-2016
Damanhuri Armani tengah menyelesaikan program Doktor Islamic Thought and Muslim Societies di UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta. Karya tulisnya tersebar di beberapa media lokal dan nasional. Sehari-hari bekerja sebagai dosen linguistik di IAIN Raden Intan, Lampung.