Cerita Buat Bapak Presiden | Cerpen Agus Noor

0

Oleh: Agus Noor

Saya ingin bertemu Bapak Presiden. Ada kisah yang ingin saya ceritakan. Saya beroleh kabar, beliau adalah pendengar yang baik. Konon, sewaktu mau jadi presiden, beliau rajin bertandang ke rumah-rumah penduduk, mendengarkan dengan tekun apa yang menjadi keluh kesah dan harapan para penduduk yang didatanginya itu. Pernah, suatu hari, beliau berkunjung ke rumah sederhana milik Pak Mayar, seorang petani renta berusia 85 tahun yang hanya punya sepetak kebun. “Saya datang ke sini untuk mendengarkan….” Begitu kira-kira, kata beliau kepada Pak Mayar yang terheran-heran oleh kemunculan beliau yang tiba-tiba. “Ceritakan saja semuanya… Sampaikan secara terbuka, terus terang, dan tidak usah takut-takut….”

Di rumah Pak Mayar itulah beliau kemudian mengadakan pertemuan. Disorot puluhan kamera para wartawan, beliau mendengarkan semua yang diceritakan dengan sabar, tekun, dan penuh perhatian.

Saat ini, amat sulit menemukan pendengar yang baik. Padahal, sebagai tukang cerita, sudah tentu saya sangat membutuhkan pendengar. Apalah artinya tukang cerita kalau tak ada lagi yang mau mendengarkan kisah-kisah yang diceritakannya?

Saya berharap, beliau mau mendengar cerita saya….

Ini cerita tentang Kadosta. Ia penjual buah duku keliling di kota kami. Perawakannya sedikit gempal, dengan leher yang bagai melesak ke dalam pundak-mungkin disebabkan karena ia selalu mengusung keranjang jualannya di atas kepala. Meski usianya belum terlalu tua, baru sekitar 47 tahunan, seluruh kepalanya yang terlihat peyot di sana sini nyaris dipenuhi uban. Kepala itu jadi terlihat lucu ketika ia berjalan keliling menjajakan buah duku-kau seperti melihat bola voli kempes ditindih keranjang yang berat. Bila musim duku tiba, kami akan melihat Kadosta seharian berjalan keliling kota. Ia tak pernah berteriak-teriak ketika menjajakan. Ia hanya berjalan diam. Sementara matanya yang bulat dan gelap bergerak-gerak pelan. Ia melayani pembeli dengan diam, terkesan lamban, tetapi sikapnya membuat setiap pembeli merasa kerasan dan ingin berlama-lama berada di dekatnya. Kediamannya terasa menenteramkan, dan membuat kami seperti menemukan seseorang yang mau mendengarkan. Dan itulah yang membuat Kadosta sangat istimewa!

Ada baiknya kami ceritakan terlebih dahulu perihal kota kami, agar kau bisa mengerti bagaimana orang seperti Kadosta terasa begitu istimewa. Bila kau datang ke kota kami, segera akan kau rasakan kebisuan dan keremangan yang panjang, karena segala hal di kota kami terlihat bagaikan bayang-bayang. Pepohonan, tiang listrik, patung- patung taman, sepeda yang bergerak lamban, sado dan becak, juga puluhan kucing dan anjing yang berkeliaran di antara tong-tong sampah di sudut jalan-semuanya tampak tak nyata, seperti bayangan yang tak bisa kau sentuh wujudnya. Apalagi langit di kota kami selalu tampak redup, seperti kain satin lusuh kecoklatan yang dibentangkan, halus tapi membosankan. Kadang-kadang angin menggeremang gamang, seakan ingin menghapus semua kenangan sepanjang lorong-lorong jalan yang lebuh oleh debu kelabu. Sedang siluet gedung-gedung tua tampak seperti wajah berjerawat seorang perjaka yang baru putus cinta. Sementara cahaya selalu memilih bersembunyi di bawah kolong rumah-rumah panggung dari kayu yang sudah lapuk dan terus-menerus menguap pengap.

“Seperti ada kebosanan yang mengendap di kota ini…, seperti ada sesuatu yang disembunyikan…” kata para pendatang, yang selalu merasa heran dengan segala kelemban lamban di kota kami. Segala sesuatunya nyaris tanpa suara. Tanpa percakapan.

Memang, di kota kami yang remang, kami terbiasa melakukan aktivitas sehari-hari tanpa percakapan. Apabila kami saling berpapasan di jalan, kami cukup saling melambai atau mengangkat bahu atau sekadar bersalaman. Sedang di kantor, kami bekerja tanpa percakapan, hanya saling mengangguk atau menggeleng andaikan ada urusan yang mesti diselesaikan. Kami bangun, berkumur dan sikat gigi, mandi dan sarapan pagi-semuanya sedapat mungkin kami lakukan tanpa menimbulkan suara. Bila kami pergi ke toko kelontong atau berbelanja ke pasar, kami cukup menunjuk apa yang kami inginkan: cabe, lengkuas, ketumbar, kunyit, biji pala atau merica…, dan penjual akan segera membungkus apa yang kami inginkan. Seberapa banyak kunyit atau merica atau biji pala yang kami perlukan, pedagang-pedagang itu sepertinya sudah mafhum. Para pedagang selalu memberikan apa yang kami inginkan dalam takaran yang pas, sebagaimana yang kami butuhkan. Sementara itu, berapa harga setakar ketumbar atau sejumput jewawut atau segenggam garam, yang membeli pun seperti sudah tahu. Hingga ketika kami membeli apa pun, kami hanya perlu menyerahkan uang tanpa khawatir akan kurang dan tak perlu repot menunggu kembalian. Ini tentu menyenangkan, karena kami jadi tak perlu pusing meributkan kenaikan harga-harga-seperti yang kami dengar banyak terjadi di kota-kota lain.

Kota kami memang remang, tetapi terasa tenang….

Tentu saja, pada awalnya, kota kami juga penuh suara dan nyanyian. Hatta, menurut satu legenda, kota kami pada mulanya merupakan permukaan danau yang sangat bening-kau dapat melihat kerut di lipatan matamu, bila kau menjenguk ke permukaan danau itu. Lalu, pada suatu hari, dari dasar danau itu perlahan-lahan muncul sebuah kota dengan istana-istana dan kastil-kastil yang terlihat bening berkilauan, seperti pahatan patung-patung dari balok es. Pohon-pohon cemara dan kelapa, hamparan rumput, biji-biji palawija, bahkan burung-burung yang terbang melintas, semuanya seolah-olah terbuat dari tatahan batu onyx yang bening transparan berkilauan. Dan langitnya serupa lengkung bola kristal kaca-konon, kau bisa melihat bayangan surga melalui kejernihannya.

Orang-orang yang terpesona pun segera berdatangan dan menetap. Keindahan kota itu membuat mereka tak bosan-bosan berbincang dan bercerita. Sepanjang hari mereka bercakap-cakap dan saling bercerita dengan riang. Seakan- akan setiap orang selalu punya cerita yang ingin disampaikan kepada yang lainnya. Maka setiap orang pun terus-menerus bercerita. Seakan- akan cerita yang disampaikannya itu adalah yang paling penting dan merupakan satu-satunya cerita yang harus didengarkan. Begitulah, mereka terus saja suka bercakap- cakap dan bercerita tentang capung yang bisa menembus kaca, kuda sembrani berbulu gading, dan cerita-cerita ajaib lainnya.

Lama-kelamaan, bersamaan dengan kota yang semakin ramai, mereka lebih banyak cerita dan bicara soal udara kota yang mulai terasa gerah, jalanan yang rusak berlubang-lubang, got-got mampet dan jadi sarang nyamuk, bau bacin pengolahan limbah, pohon-pohon yang ditebang serampangan, bangunan-bangunan liar yang bikin sesak kota, kakus-kakus yang tak terurus, para opas yang malas, polisi-polisi yang selalu tak pernah ada saat dibutuhkan, tumpukan kasus di pengadilan, uang sogokan di bawah meja….

Sudah barang tentu, karena setiap orang sibuk berkata-kata dan bercerita, makin lama kota kami pun makin penuh percakapan menjemukan dan menjengkelkan-seperti kawanan sapi malas yang terus-menerus melenguh-sedangkan jalan-jalan terus saja bertambah parah, kantor-kantor jadi tambah sumpek, gubeg-gubug liar makin menjalar, istana-istana dan kastil- kastil indah bening berkilauan yang dulu banyak berdiri di kota kami perlahan-lahan menguap dan memudar, sementara langit di kota kami tahu-tahu sudah berubah seperti cermin buram. Kemudian mereka saling bertengkar dan menyalahkan….

“Saya sudah menceritakan semua itu, tapi kalian tak mau dengar….”

“Sejak dulu sudah kukatakan, tapi kamu tetap tak mau mendengar….”

“Sekarang kamu mesti dengan apa yang akan saya ceritakan….”

“Elu yang mesti dengar….””

“Kenapa sih kamu enggak pernah mau dengar?!”

“Dengar dong apa yang saya katakan!”

Dan mereka terus-menerus bertengkar karena tak ada yang mau mendengar. Lalu sebagian orang kemudian memilih untuk diam-bukan diam karena mau mendengar, tetapi diam karena malas mendengarkan. Sebagian lagi mulai enggan melakukan percakapan, sebab merasa bosan dikarenakan tak ada seorang pun yang mau mendengarkan. Maka, pelan-pelan, kota kami pun mulai kehilangan percakapan. Semuanya memilih diam. Mereka tak lagi mempercakapkan jalan-jalan yang sudah rusak parah; tak lagi memperbincangkan bau bacin selokan yang membuat kota bertambah suram. Kebisuan seperti karung yang membungkus kota kami.

Bahkan, ketika suatu kali terjadi pembunuhan besar-besaran di kota kami, semua warga lebih memilih diam. Mereka tak pernah mau mempercakapkan ribuan warga yang diculik segerombolan berseragam, dibawa ke kebun karet, kemudian dihabisi dengan serentetan tembakan. Sebagian lagi mati di gantung atau dibuang ke jurang. Saat itu, di kota kami, sepertinya ada hantu palasik yang siap mengisap otak setiap orang yang masih saja suka kasak- kusuk melakukan percakapan. Karena semuanya diam-tahukah kau, bahkan kucing, anjing dan unggas di kota kami pun ikut-ikutan membisu ketakutan-maka cerita dan peristiwa itu pun bagaikan bayangan samar-samar yang makin membuat redup kota kami. Sejak itu segala sesuatu berlangsung lebih pelan, serupa bisikan dan gunjingan yang dipenuhi kisah-kisah menyeramkan yang beredar diam-diam. Seperti ada trauma yang membuat setiap warga memilih untuk terus-terusan diam.

Kami pun menjadi terbiasa hidup tanpa percakapan. Kami terbiasa diam ketika terjadi banyak kejanggalan. Kami terbiasa diam dengan segala kerumitan ketika kami mengurus surat-surat di kantor- kantor jawatan; terbiasa dengan trem yang selalu tabrakan dan terlambat melulu; terbiasa menerima tanpa percakapan semua peristiwa yang tak pernah jelas penyelesaiannya. Begitulah, dari tahun ke tahun, kota kami pun makin diam dan terasa muram. Kini kami terbiasa menyaksikan langit kota kami yang selalu tampak redup, seperti kain satin lusuh kecoklatan dibentangkan, halus tapi membosankan. Seperti kota yang kehilangan harapan….

Begitulah, kenapa Kadosta terasa begitu istimewa. Sebagai penjual duku, tentu saja ia hanya terlihat berkeliling kota setiap musim duku tiba. Ia berjalan diam menyusuri lorong-lorong kota. Mereka yang ingin membeli duku tinggal melambai, dan Kadosta akan mendekat. Dengan tanpa suara Kadosta akan segera menurunkan keranjang dari kepalanya, duduk bersimpuh, membungkus duku dan menyerahkannya pada pembeli. Semua berlangsung tanpa percakapan. Tapi itulah…, begitu menerima sebungkus duku yang diberikan Kadosta, para pembeli itu seperti enggan beranjak. Para pembeli itu akan betah berlama- lama memandangi Kadosta yang duduk bersimpuh menundukkan wajahnya yang dipenuhi bintil-bintil kemerahan. Dan Kadosta akan terus duduk seperti itu sembari mengusap-usap keringat yang membasahi lehernya dengan handuk kecil yang sudah kucel, seakan- akan ia tahu bahwa pembeli itu masih menginginkannya untuk tetap berada di dekatnya. Dan Kadosta bisa duduk bersimpuh seperti itu berjam-jam, seperti orang yang dengar sabar mau mendengar. Sungguh, ia seperti memiliki bakat luar biasa untuk jadi pendengar.

Kami tak pernah mengetahui secara pasti, kapan persisnya kami menyadari keistimewaan Kadosta itu. Mungkin sudah lama, tapi kami tak pernah menyadarinya. (Hanya kadang-kadang saja kami seperti diusik perasaan kehilangan bila tak melihat Kadosta berjalan keliling kota berjualan duku. Dan itu selalu terjadi bila sedang tak musim duku). Tapi yang jelas, lima bulan sebelum penyelenggaraan pemilu, kami makin menyadari keistimewaan Kadosta.

Saat itu puluhan orang asing datang ke kota kami. Mereka berteriak-teriak dan terus-menerus berbicara tentang apa saja yang sudah kami lupa karena selama ini kami tak pernah mempercakapkannya. Sepanjang hari mereka memekikkan yel-yel, menggelar orasi dan pidato, menghamburkan jutaan kata. Kami sampai gemetaran mendengarnya. Maklumlah, sudah bertahun-tahun kota kami tak pernah diusik keriuhan seperti itu. Awalnya kami cukup merasa senang, menganggap itu sebagai sebuah hiburan setelah sekian lama kami tak mendengar ocehan. Tetapi, lama-kelamaan kami justru merasa bosan dan sedih-karena kami kemudian menyadari: betapa mereka semua yang sibuk berkata-kata memang hanya sibuk dengan apa yang mereka katakana tanpa pernah ada di antara mereka yang mau mendengar….

Sejarah buruk kota kami seperti akan menjadi kutukan yang berulang!

Dan saat itulah kami teringat Kadosta. Kami seperti tercerahkan: betapa istimewanya dia karena punya kemampuan mendengar yang luar biasa. Kami jadi teringat bagaimana dia duduk bersimpuh penuh kesabaran, hingga kami yang berada di dekatnya merasa nyaman-seperti menemukan sesuatu yang selama ini kami rindukan. Kami terkesan dengan telinga Kadosta yang bergerak-gerak pelan, seakan menyediakan diri untuk mendengarkan. Kami pun menyukai bentuk telinganya yang agak besar kecoklatan. Ada benjolan sebesar biji salak di bagian belakang telinga kirinya. Bukan telinga yang indah memang. Malah banyak daki kering di seputar liangnya. Tapi kami menyukai telinga itu, karena selalu membuat kami senang. Telinga itu selalu membikin kami betah.

Setiap kali berada di dekat Kadosta, perlahan-lahan kami merasakan ada yang mendesir lembut dalam darah kami, merayapi saraf- saraf di seputar pipi kami hingga membuat mulut kami terasa ringan… lalu tanpa sadar mulut kami pun terpulas senyum. Dan pada saat bersamaan bagaikan ada yang ingin meloncat keluar dari kerongkongan kami-sesuatu yang selama ini memepat di dada.

Begitulah, mula-mula seulas senyuman. Lalu geremang yang mengambang, batuk-batuk kecil yang dipaksakan, kerecap lidah, siulan patah-patah, gumam yang disertai tawa pelan. Lalu sapaan, “Halo…”, “Hai…”, “Hmmm…”, “Yap!”, “Ahaa…”, “Oooo…” yang terdengar makin lama-makin panjang. Dan kami, tahu-tahu, sudah berbicara setiap kali bertemu Kadosta,

“Apa kabar…,” sapa Mak Katen.

“Mampirlah sini, Kadosta….” kata Mbok Mawawi.

“Kemarilah Kadosta, ada yang ingin saya ceritakan…,” ujar Kang Kawurjan.

Kami pun jadi seperti tersadarkan, betapa kami sesungguhnya punya nama. Pitados, Sakedik, Samanten, Utawi, Wangsulan, Tumitah, Saweg, Kapisan. Kami semua jadi suka duduk lama-lama bercerita kepada Kadosta yang dengan sabar dan penuh perhatian mendengarkan omongan kami. Alangkah nikmatnya bisa menemukan seorang yang mau mendengarkan…

Seperti ada mukjizat yang membuat kota kami menggeliat. Dan beberapa warga pun mulai terlihat senang kumpul-kumpul, bercakap- cakap.

“Kenapa ya dulu kita tak bisa begini ceria?” kata Wangsulan.

“Ini pasti karena Kadosta!” tegas Utawi.

“Saya sudah mengatakan ini dari dulu! Kamu saja yang enggak dengar!” sergah Kapisan.

“Coba kalau kamu mau mendengar apa yang saya katakan…,” Tumitah berkata tak mau kalah.

“Kenapa aku mesti mendengar omonganmu, he?! Mestinya kamu yang belajar mendengar!” bentak Mang Kono.

“Enak aja! Kamu tuh yang mestinya dengar!”

“Dengar sebentar kenapa, sih!”

“Kamu yang harus dengar!!”

‘Dengar, kamu yang mesti dengar!”

“Kenapa sih kamu enggak mau dengar?!”

Upp…, ternyata tak gampang mau jadi pendengar. Alhasil, kami selalu memerlukan Kadosta untuk jadi pendengar. Pitados yang marah kepada dinas tata kota karena anaknya terperosok gorong-gorong melontarkan dampratannya kepada Kadosta. Utawi yang baru putus cinta meratapkan dukalaranya kepada Kadosta. Sakedik yang jengkel karena tak bisa merampungkan teka-teki silang meluapkan kejengkelannya kepada Kadosta. Klilipan dan Pitaya yang sudah lama bermusuhan saling melontarkan makian dan kegeraman di hadapan Kadosta-hingga keduanya merasa lega, lalu tertawa-tawa dan pulang berangkulan. Setiap ada persoalan, setiap ada urusan yang harus dibereskan, kami segera mendatangi Kadosta. Dan dengan cara mendengarkannya yang luar biasa, ia mampu membuat setiap persoalan atau urusan terasa lebih mudah diselesaikan….

Karena itulah, di musim pemilu itu, kami segera menyadari keistimewaan Kadosta. Ketimbang mendengarkan teriakan dan pidato-pidato yang membosankan, kami lebih memilih mendatangi Kadosta untuk menyampaikan semua harapan dan keinginan kami. Dan Kadosta mendengarkan dengan sabar. Caranya tersenyum seperti membuat langit di kota kami menjadi lebih cerah. Dan warga kota pun saling tersenyum, seperti hendak saling meyakinkan, betapa mereka sudah menemukan apa yang selama ini mereka rindukan: seorang pemimpin yang mau mendengarkan….

Tak mengherankan, saat pemilu diumumkan, Kadosta terpilih menjadi pemimpin di kota kami. Kami bahagia karena telah memilih “seorang yang mau mendengar” sebagai seorang pemimpin. Sebab, sepanjang yang kami alami, tak pernah kami menjumpai pemimpin yang mau mendengar. Beda dengan Kadosta. Ia membuat kami tak perlu merasa sungkan bila kami ingin menceritakan semua persoalan, keinginan dan harapan kami. Bukankah ia orang yang bisa mendengar!

Tapi karena sekarang Kadosta menjadi pemimpin, kami harus cukup tahu diri apabila ingin menemui. Kami mesti mengisi buku tamu terlebih dulu. Lalu dipersilakan menunggu. Karena dari hari ke hari yang datang kepada Kadosta bertambah banyak, maka kami pun rela ketika setiap pertemuan dengan Kadosta mesti diatur terlebih dahulu. Setiap jadwal pertemuan sudah harus ditentukan! Tentu saja, karena kesibukan Kadosta, setiap pertemuan jadi sangat terbatas. Agar adil dan merata, setiap yang datang diberi kesempatan secukupnya untuk bercerita. Namun, karena “secukupnya” tak jelas ukurannya (hingga kadang seseorang bisa begitu lama bercerita sementara yang lain gelisah menunggu gilirannya) maka dibuatlah aturan yang lebih tegas: satu jam per orang. Tetapi, menimbang dan memperhatikan jumlah yang datang dari waktu ke waktu selalu bertambah, maka lama setiap pertemuan pun mengalami “penyesuaian”: setengah jam per orang… kemudian disesuaikan menjadi 15 menit/orang…, 5 menit/orang…, 1 menit/ orang…, 10 detik/ orang… 5 detik/orang….

Petugas akan memanggil, dan yang dipanggil bergegas menemui Kadosta, lalu segera mengungkapkan keinginannya, “Eee, begini, Kadosta… Saya rasa….”

“Stop! Waktu habis!” teriak petugas mengingatkan, kemudian segera membawa orang itu keluar ruangan….

Begitulah, sebagian dari kami kemudian mulai mengeluh, betapa sulitnya kini bila ingin bertemu Kadosta. Yang lain mengatakan, kalau Kadosta sekarang tak lagi punya waktu untuk mendengarkan. Di sana-sani terdengar gumam kekecewaan. Tapi siapa yang mau mendengar? Di kota kami, hanya Kadosta yang mau mendengar.

Sampai kemudian kasak-kusuk terjadi: Kadosta sudah sangat kewalahan membagi waktu untuk mendengarkan. Bahkan kabarnya Kadosta sudah mulai menganggap konyol itu semua. “Bagaimana saya bisa bekerja kalau sepanjang hari saya hanya mendengarkan omongan dan cerita kalian?!” teriak Kadosta. Alangkah menakjubkan, itulah kali pertama kami mendengar Kadosta bersuara.

Sejak itu Kadosta mulai banyak bicara kepada kami, mengatur dan memberi perintah, agar kami tak selalu mendatanginya hanya karena perkara-perkara yang menurutnya bisa diselesaikan kami sendiri. “Banyak yang harus saya kerjakan selain mendengarkan kalian…,” katanya, sebagaimana dikutip koran- koran. Ia pun memerintahkan “agar seluruh warga kota mendengarkan apa saja yang dikatakannya”, agar semuanya bisa “berjalan efektif, efisien, terukur. dan terencana….”

Kadosta mulai suka berpidato dan berbicara. Biasanya, setiap akhir pekan, ia mengumpulkan semua warga untuk mendengarkannya bicara di atas podium di alun-alun kota. Suaranya mantap dan meyakinkan. Tapi pada saat seperti itulah, kami seperti menyaksikan gelembung-gelembung busa yang mendadak pecah di udara….

Demikianlah, kenapa saya ingin bertemu Bapak Presiden. Tapi saya tak tahu, bagaimana caranya agar saya bisa bertemu beliau, dan bisa menyampaikan ini cerita. Membayangkan bagaimana caranya ketemu beliau saja sudah merupakan kerumitan bagi tukang cerita macam saya. Yeah, katakanlah saya bisa bertemu beliau, dan punya kesempatan untuk bercerita….

Tapi apakah beliau mau mendengar?

Yogyakarta, 2005
Tags

Post a Comment

0Comments
Post a Comment (0)

#buttons=(Accept !) #days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !