Menanti Kematian | Cerpen Jujur Prananto

0

Oleh: Jujur Prananto

”Budiman! Ada kabar gembira! Lamaran kamu diterima! Bulan depan kamu bisa mulai kerja! Dengan gaji pokok per bulan lima-belas juta! Berarti tidak lama lagi kamu bakalan terbebas dari utang-utang kamu. Terbebas dari teror para penagih utang yang selama berbulan-bulan mengejar ke mana pun kamu pergi.”

"Memang aku diterima kerja di mana?”

”Perusahaan minyak, Bud! Di Dubai, Timur-Tengah!”

Budiman seketika terdiam. Temannya yang bekerja di agen tenaga kerja itu dibiarkannya terus bicara di telepon dengan penuh semangat. Tentang gambaran masa depan yang sangat cerah. Tentang jaminan kesejahteraan yang sudah jelas membayang di depan mata. Tentang sekian tahun lagi pulang ke Indonesia sebagai orang kaya….

Tetapi, Budiman tak lagi menyimaknya. Perhatiannya lebih terarah ke sosok pria renta yang berbaring lemah di hadapannya. Dengan selang oksigen menempel di hidung. Dengan cairan infus mengalir lewat jarum yang menancap di pergelangan tangan. Dengan mata mengatup rapat. Dan kulit wajah yang pucat.

”Budiman? Halo? Tolong secepatnya saja kamu bikin paspor. Aku bisa bantu bikin surat pengantar buat mengurus visa…. Halo?”

”Ya, ya. Aku pikir-pikir dulu.”

”Pikir-pikir??? Setelah bertahun-tahun kerja serabutan dengan pendapatan enggak nyampe sejuta sebulan kamu masih pikir-pikir juga untuk menerima pekerjaan yang jelas-jelas cocok buat kamu sebagai sarjana perminyakan?”

”Memang kapan aku harus berangkat?”

”Paling lambat sebulan dari hari ini.”

Sebulan…. Berarti ia masih punya waktu tiga puluh hari untuk bisa menemani bapaknya. Setelah itu? Tak terbayang bagaimana bapaknya yang berumur delapan puluh delapan tahun ini tergolek sendirian di rumah sakit tanpa seorang pun sanak-saudara menemaninya.

Ya. Tak seorang pun. Karena hanya dia sendiri yang bisa merawat bapaknya selama tiga tahun terakhir ini. Ketiga saudara kandungnya bertempat tinggal jauh dari Jakarta. Kakak sulung bekerja di perkebunan kelapa sawit di Malaysia, yang hanya bisa sekali setahun pulang ke Indonesia. Kakak nomor dua bekerja di kapal pesiar yang menjalani rute Amerika-Eropa, tak pernah berkesempatan pulang kampung sampai kelak masa kontraknya habis. Dan adik perempuannya kawin dengan orang Filipina setelah dua tahun bekerja di sebuah restoran di Manila dan kemudian tinggal di sana. Sedangkan saudara-saudara sepupu yang tinggal di Jakarta hanya kadang saja berkunjung pada waktu lebaran.

Dulu, waktu masih bekerja di perusahaan ekspedisi di Tanjung Priok, dan istrinya masih tinggal serumah dengannya, ia bisa menggaji seorang perawat delapan ratus ribu per bulan untuk merawat bapaknya.

Tetapi, serangkaian musibah telah mengacaukan segalanya.

Tak lama setelah ia meminjam uang perusahaan seratus juta lebih untuk membayar uang muka pembelian rumah, perusahaan itu bangkrut. Mantan bosnya memaksakan pengembalian semua piutang paling lama enam bulan. Tak ayal, dalam kondisi menganggur Budiman pontang-panting membayar sekaligus utang ke mantan bosnya dan cicilan kredit pemilikan rumah. Istrinya tak tahan diteror para preman penagih utang, lalu memilih pulang kampung bersama anak- anak dan melupakan begitu saja mertuanya yang tak berdaya. Sekian bulan kemudian ia terpaksa menyerahkan rumahnya ke bank lalu pindah ke sebuah kontrakan kecil. Sejak itu ia tinggal berdua dengan bapaknya, bertahan hidup dari penghasilan kerja serabutan ditambah kiriman uang dari kedua kakaknya yang datangnya tak menentu dan nilainya tak seberapa.

Budiman bisa mempertahankan kondisi ini sampai setahun, dua tahun, tiga tahun…. Sampai sebulan dua puluh tujuh hari yang lalu.

Menjelang tengah malam Budiman pulang kerja, menjumpai bapaknya terkapar di lantai kamar mandi dengan sebagian kaki tersandar di dudukan kloset. Banyak yang menduga ayah Budiman terpeleset saat hendak berdiri seusai buang air besar. Dokter menyatakan ayah Budiman mengalami stroke.

”Keluarga pasien Bapak Suharso!”

Budiman berdiri dan berjalan menghampiri petugas bagian keuangan.

”Sampai kemarin malam total biaya sembilan juta lima ratus dua puluh tujuh rupiah, di luar obat-obatan yang ditebus langsung ke apotek.”

”Dikurangi deposit tiga juta, berarti harus tersedia dana enam setengah juta lebih,” kata Budiman dalam hati. Itu kalau bapaknya sudah boleh pulang hari ini. Padahal tidak. Perawatan masih harus berjalan entah sampai kapan.

Budiman meninggalkan ruang administrasi rumah-sakit dengan langkah lesu. Tetapi, lalu terhenti oleh sebuah panggilan yang serasa sangat dikenalnya.

”Budiman!”

Budiman menoleh. Tubuhnya seketika lemas. Si penagih utang itu….!

Pria berbadan gempal bernama Sarkawi ini menghampiri Budiman, tersenyum menyeringai dan mengajak bersalaman, tapi lebih seperti mau meremukkan tulang telapak tangan Budiman. ”Dunia ternyata sempit, ya,” katanya sambil terkekeh. ”Selamat, dapet kerjaan bagus di luar negeri.”

Budiman terperanjat. ”Tahu dari mana?”

”Enggak penting aku tahu dari mana. Yang penting, enggak lama lagi kamu bisa mulai ngumpulin duit buat bayar utang. Tiap bulan kamu bisa transfer ke istri kamu, jadi aku tinggal nagih sama dia. Jangan mengira aku enggak tahu istri kamu sekarang tinggal di mana.”

Budiman mengembuskan napasnya keras-keras. ”Jangan terlalu yakin saya mau menerima kerjaan itu.”

”Kenapa???”

”Saya enggak bisa ninggalin Bapak saya sendirian….”

”Urusan bapakmu bukan urusanku. Urusanku cuma nagih utang. Pokoknya dua bulan dari sekarang aku mau mulai menagih ke istri kamu.”

Si penagih utang ngeloyor pergi. Budiman mengejarnya. ”Heh! Jangan ganggu lagi istri saya!”

”Terserah kamu mau mbelain bapakmu atau istrimu. Kalau aku jadi kamu, aku pasti pilih mbelain istri. Urusan Bapak, sewa aja perawat. Tiap bulan tinggal kamu transfer gajinya dari luar negeri. Aku yakin bapakmu enggak peduli mau dirawat sama anaknya atau bukan. Belum tentu juga dia ingat sama kamu. Lha wong sadar aja enggak.”

Sepeninggal Sarkawi, lama Budiman terdiam. Hatinya menangis, tetapi bukan karena prihatin terhadap kondisi bapaknya, melainkan menangisi diri sendiri kenapa ia bisa mulai membenarkan omongan Sarkawi.

Budiman lalu kembali ke kamar perawatan. Beberapa saat ia menatap wajah bapaknya, menggenggam tangannya, dan berbisik dalam hati….

”Maaf, Pak. Tidak lama lagi saya mau ke luar negeri. Saya harus kerja, Pak. Akan saya sediakan satu perawat khusus untuk merawat Bapak….”

Budiman lalu beranjak pergi. Tetapi, menjelang keluar pintu….

”Bud….”

Budiman terperanjat dan seketika menoleh. Tangan bapaknya bergerak-gerak. Kepalanya sedikit meneleng. Budiman bergegas mendekat. ”Bapak…?”

Secara samar dan lirih terdengar kata-kata terucap dari mulut bapaknya. ”Pulang, Bud… Bapak mau pulang….”

”Tapi, Bapak belum sembuh.”

”Penuhi saja keinginan bapakmu, Bud.”

Lagi-lagi Budiman terperanjat. Sarkawi seperti tiba-tiba saja sudah ada di belakangnya, lalu berbisik, ”Ini yang namanya tanda-tanda, Bud. Kakekku dulu juga begitu. Masuk rumah sakit, lama dirawat tapi enggak sembuh-sembuh, terus minta pulang, enggak lama kemudian meninggal dunia di rumah sendiri.”

”Jangan sembarangan ngomong!”

”Sssst…. Memang kamu enggak merasa semua ini seperti sudah diatur sama yang di atas? Kalau bapakmu pulang ke rumah terus meninggal, memang begitu kan yang kamu harapkan? Supaya kamu bisa lega berangkat ke luar negeri?”

Budiman hendak berteriak marah, tetapi keburu terdengar bapaknya berbisik lagi. ”Pulang, Bud…. Pulang….”

Segera setelah sampai rumah, ayah Budiman kembali tak sadarkan diri. Budiman panik dan hendak segera membawanya kembali ke rumah-sakit, tetapi Sarkawi sigap mencegahnya.

”Memang apa yang kamu harapkan dengan membawa bapakmu kembali ke rumah sakit? Supaya sadar lagi? Supaya sembuh? Terus kamu bingung lagi gimana harus berangkat ke luar negeri?”

Kali ini Budiman benar-benar marah dan mendorong tubuh Sarkawi. ”Kamu ini memang sama-sekali enggak punya perasaan!!!”

”Kamu yang enggak punya perasaan! Jelas-jelas bapakmu bilang mau pulang, kamu tetap ngotot juga mau mengembalikan ke rumah-sakit.”

”Kita harus berusaha semaksimal mungkin untuk menolong Bapak!”

”Yang kamu maksud ’kita’ itu siapa? Kamu? Dokter-dokter di rumah-sakit? Kalau orang rumah-sakit sih seneng-seneng saja bapakmu terus dirawat. Makin lama dirawat makin banyak duit masuk. Kalau makin parah, mereka tinggal bilang: masuk ICU! Makin banyak lagi duit masuk. Tapi, setelah itu apa sudah pasti bapakmu bakalan sembuh? Enggak, kan? Umpama bapakmu sembuh, apa bukan gantian kamu yang sekarat karena stres harus cari duit buat bayar rumah sakit? Umpama bapakmu meninggal apa rumah-sakit terus mau ngasih diskon? Enggak juga, kan? Paling-paling kita dikasih omongan pelipur-lara: kami sudah berusaha semaksimal mungkin, tetapi ternyata yang di atas berkehendak lain…”

”Diaaaam!!!”

Nyatanya Budiman mengikuti saran Sarkawi: membiarkan bapaknya tinggal di rumah. Sehari… dua hari… empat hari… seminggu…. Belum ada yang berubah atas diri bapak Budiman. Dadanya masih bergerak naik-turun meski sangat tipis. Dari hidungnya masih terembus tiupan napas meski sangat lemah….

”Jangan lupa, Bud. Lima hari lagi kamu berangkat ke Dubai!”

Rombongan anggota pengajian berdatangan ke rumah Budiman. Siang malam mereka berdoa, memohon agar ayah Budiman diringankan penderitaannya dan segera dipilihkan jalan terbaik untuknya. ”Kalau Engkau masih ingin memberinya kesembuhan, segera berilah kesembuhan, ya Allah. Kalau Engkau ingin memanggilnya, panggillah dia dalam keadaan bersih jasmani dan rohani.”

Tetapi, ayah Budiman tetap saja bergeming. Sampai hari keenam belas… hari ketujuh belas… hari kedelapan belas….

”Tiket pesawat sudah di-booking, Bud. Besok lusa kamu tinggal berangkat ke bandara!”

Sebuah ambulans dengan sirene meraung-raung melesat kencang dan kemudian berhenti di depan rumah Budiman. Saat itu jam menunjukkan pukul sebelas menjelang tengah malam.

”Budiman! Kok enggak diangkat? Sudah tidur? Besok pagi kita ketemu di bandara, ya. Jangan sampai telat."

Ketua RT berikut belasan warga tergopoh-gopoh menyambut para petugas medis dan mempersilakan mereka masuk ke dalam rumah. Seorang dokter segera mengambil stetoskop dan melakukan pemeriksaan jantung dan lainnya.

”Sudah meninggal,” ucap dokter pelan.

Para hadirin serentak bergumam, ”Innalillahi…..”

Ketua RT menghampiri ayah Budiman, mendekatkan mulutnya ke telinga pria tua ini, tetapi begitu sulit untuk memulai bicara. ”Budiman, Pak….”

Ayah Budiman perlahan membuka matanya.

”Mana Budiman…? Kenapa dia?”

Jakarta, 26 Februari 2009
Tags

Post a Comment

0Comments
Post a Comment (0)

#buttons=(Accept !) #days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !