Bekerja sebagai jurnalis di HU Pikiran Rakyat Bandung. Aktif menulis sejak tahun 1976. Antologi puisinya Variasi Parijs van Java (Kiblat Buku Utama, 2004), Secangkir Teh (Grasindo, 2005), Sehampar Kabut (Ultimus, 2006), Angsana (Ultimus, 2007), Opera Malam (Kiblat Buku Utama, 2008), Pemetik Bintang (kiblat Buku Utama, 2008).
Juga menulis puisi berbahasa sunda, terkumpul dalam Kalakay Mega (Geger Sunten, 2007) dan telah memasuki cetakan ke 3. kumpulan cerpennya Orang Malam (Q-Press, 2005). Kumpulan esai Menulis Puisi Satu Sisi (Pustaka Latifah, 2004), Selintas Pintas Puisi Indonesia (Grafindo, Jilid 1 2004, Jilid 2 2007).
Berikut salah satu karya kreatif dari penyair Soni Farid Maulana yang bisa Sobat simak.
ORANG MALAM
Karya: Soni Farid Maulana
CAHAYA LAMPU REMANG, KETIKA MALAM TIBA DAN HUJAN BARU SAJA REDA. PADA SEBUAH TAMAN BERDIRI LELAKI SETENGAH BAYA DEKAT SEBUAH KAYU YANG HIJAU OLEH LELUMUTAN. SESEKALI TERDENGAR DESAU ANGIN YANG AMAT KENCANG. DAN SESEKALI MEMBETULKAN MANTEL YANG DIPAKAINYA, SEAKAN-AKAN MENGUSIR HAWA DINGIN.
KIMUNG :
750 tahun aku menanti disini. Malam selalu bersambung malam, dingin dan sepi bagai sebutir batu di dasar kali.
HENING. SUARA ANGIN DAN DEDAUNAN YANG GUGUR KEMBALI MENGUSIK PENDENGARAN. SESEKALI MENGALIHKAN PANDANGANNYA KE ARAH YANG GELAP, SEAKAN-AKAN IA SEDANG MENANTI SESEORANG YANG KELAK DATANG PADANYA MALAM ITU.
KIMUNG :
Suara itu, suara itu ….. (SEPERTI LANGKAH KAKI YANG MENGINJAK DEDAUNAN YANG BERGUGURAN).
Jika kau yang datang, aku sambut kau dengan maut ku cempaka.
Kekasih, mengapa jarak dan bahasa memisahkan kita?! Mengapa malam selalu berselimut kabut duka cita?! Mengapa tajam pisau selalu menghunus ke dada, setelah dendam dan amarah menyemak bagai pikiran gelap?!
HENING. SESEKALI TERDENGAR LANGKAH KAKI YANG MENDEKAT. DARI ARAH YANG GELAP DATANG SEORANG PEREMPUAN YANG JUGA SETENGAH BAYA BERAMBUT PANJANG. SEPARUH WAJAHNYA TERKENA CAHAYA LAMPU YANG ADA DI TAMAN ITU. IA TIDAK MENYADARI BAWA SEGALA SESUATU YANG TENGAH IA LAKUKAN TERNYATA DIPERHATIKAN OLEH SEORANG PEREMPUAN, YANG JUGA SETENGAH BAYA YANG HENDAK DATANG KE TAMAN ITU.
KIMUNG :
O, malam yang mengental oleh luka. Kini aku ingat semua kejadian itu. Pada suatu tempat yang kulupa, aku bertemu dengan dirinya.
Saat itu, sehabis kerusuhan, pada sebuah jalan yang sarat dengan pecahan kaca aku melihat pelipisnya berdarah, dihajar sebutir batu. Sejak itu, pertemuan demi pertemuan beranak-pinak.
Tapi perpisahan mengapa harus terjadi?! O malam yang dingin bagai uap es yang mengepul dalam kulkas, O bintang jatuh yang berkilauan dilangit jauh, nyala api yang menghanguskan perkampungan kumuh, O kau yang timbul tenggelam dalam ingatan, mengapa hidup harus berlembah dan berjurang kata-kata?!
DIRAH :
DIRAH :
Tidakkah kau bosan berkata demikian?! Betapa sering aku mendengar kau berkata-kata seperti itu. Seakan-akan tidak ada lagi yang pantas kau kerjakan. Alangkah cengengnya engkau seperti orang yang baru putus cinta.
KIMUNG :
Kau siapa?! Rasanya baru pertama kali aku didatangi oleh seorang wanita. Biasanya pada malam-malam seperti ini hanya bangku-bangku taman yang bisu menemaniku dengan seluruh kesepian dan kesunyian alam raya.
DIRAH :
Aku bukan siapa-siapa. Boleh jadi aku pikiran buruk yang datang dari dasar kegelapan. Boleh jadi pula, aku bukan siapa-siapa bagimu.
KIMUNG :
Apa urusanmu datang kemari?! Apakah disini, ditempat ini, ada sesuatu yang menarik perhatianmu?!
DIRAH :
Aku datang ke sini untuk melepas lelah. Sungguh tak ada sesuatu apa pun yang menarik ditempat ini, termasuk dirimu.
KIMUNG :
Memang aku tertarik padamu?! O, jangan mimpi. Ah, ah, ah. Aku tahu kini, kau pasti wanita kesepian, bukan?! Sudahlah, siapa pun kau, ada baiknya kau mendekat ke mari. Kau tidak akan marah bukan, jika aku bertanya padamu, apa yang menyebabkan engkau malam-malam seperti ini datang ketempat ini sendirian?! Apakah suamimu tidak akan mencarimu?! Aku tahu jawabannya, kau pasti melarikan diri karena suamimu kawin lagi dengan orang lain?!
DIRAH :
Buruk betul prasangkamu itu. Punya suami atau tidak, itu bukan urusanmu. Ini taman punyaku. Sering pada malam-malam seperti ini, aku duduk dibangku yang ini.
Disini, ditempat yang kau duduki ini, aku teringat masa laluku, akan api yang menghanguskan perkampungan kumuh.
Kau tahu, gedung-gedung megah itu berdiri diatas kuburan?! Dalam danau buatan yang indah itu, bila aku menyelam ke dasarnya segera kau dapatkan bangkai ribuan rumah kumuh seluas 4 desa.
Aku kesini bukan karena cengeng oleh masa lalu yang muram. Aku ke sini teringat oleh sebuah peristiwa kelam yang tidak bisa aku hapuskan begitu saja dari dasar ingatanku.
KIMUNG :
Peristiwa kelam?! Tak ku sangka seberat itu berton-ton nasib hitam menimpa pundakmu. Aku sering datang ke taman ini, tak pernah sekali pun aku bertemu denganmu. Apa engkau sedang tidak bersandiwara?! Jangan-jangan kau intel yang gagal?!
DIRAH :
Intel?! Potonganku kaya intel?! Apa urusannya dengan dirimu?! Mengapa pula aku harus mengawasimu?! Tidak, tidak. Tidak sedikit pun dari pancaran wajahmu aku lihat engkau sebagai orang yang berbahaya. Setidaknya, engkau tidak akan membahayakan diriku. Tulang-belulangmu sudah rapuh. Sekali tendang pastilah rubuh.
Sudahlah. Seandainya kita punya pengalaman yang sama, duka yang sama. Maukah engkau bercerita padaku pengalaman buruk macam apa yang kau alami selama ini?! Adakah engkau dikejar orang sekampung karena menodai gadis orang?!
KIMUNG :
Memperkosa gadis orang orang?! Tidak, tidak seburuk yang kau sangka. Aku justru korban pemerkosaan. Dengarkan aku bicara. Negeri ini telah membuat orang-orang kehilangan akal sehatnya. Tanahku telah dirampas oleh orang-orang yang berhati babi hutan. Ayah dan Ibuku mati dalam peristiwa kebakaran. Kekasihku hilang entah ke mana, setelah orang-orang dari kerajaan kelam itu mengejar-ngejarnya dan boleh jadi telah memperkosanya.
Kekasihku, dituduh sebagai sumber malapetaka bagi negeri ini karena pikirannya yang kritis terhadap situasi pemerintahan yang serba korupsi. Pikirannya yang kejam itu, sangat menakutkan para penguasa di negeri ini.
Ya, aku ingat pagi itu, Ibunya berkata, “Sejumlah orang tak dikenal mengambilnya secara paksa.” Setelah itu, tak ada kabar apapun tentang dirinya.
Setelah itulah aku tiada hentinya mencari dan mencari. Tak ada satu kabar pun yang bisa aku dapatkan dengan pasti dimana kini kekasihku berada. O bayang-bayang peradaban yang gelap dan hitam.
Kau tahu ketika dia ditangkap, Ibunya berkata, “Kalian hanya berani menangkap seorang perempuan yang menginginkan negaranya hancur berantakan karena para penguasanya tidak lagi memperhatikan nasib rakyatnya sendiri. Kalian benar-benar tidak tahu malu. Lihat, para pencuri kelas tinggi, yang selalu berkata atas nama rakyat itu kalian biarkan bebas berkeliaran begitu saja. O, negeri apakah ini, kecoa dan tikus busuk hanya dialamatkan pada orang-orang yang berpikiran kritis, yang tidak menginginkan kelaparan dan kemiskinan yang terjadi di hampir seluruh pelosok negeri ini.”
Sungguh, aku benar-benar terpesona mendengar seluruh apa yang dikatakannya itu.
Ibunya bangga dengan sikap anaknya yang tegas. Ia ditangkap bukan karena sesuatu hal yang memalukan. Aku tentu saja semakin mencintainya, semakin aku tergila-gila padanya hingga ratusan tahun sudah aku terus mencarinya. Aku yakin, ia belum mati.
HENING. LELAKI ITU SEPERTI MENGINGAT-INGAT SESUATU. SESEKALI TERDENGAR TIANG LISTRIK YANG DIPUKUL ORANG.
O, ya, pada suatu hari, sepucuk surat tanpa alamat aku dapatkan di meja kerjaku. Sebuah puisi tertera di atasnya. Apakah kau mau mendengarkan bait-bait puisi yang ditulisnya itu?!
DIRAH :
Puisi?! Apakah kekasihmu itu seorang penyair?! Baiklah, aku ingin mendengarnya.
KIMUNG :
HENING. HANYA TARIKAN NAFAS DARI LELAKI SETENGAH BAYA ITU YANG TERDENGAR SAAT ITU. LALU DESAU ANGIN DIDEDAUNAN.
Kelak jiwaku yang dalam
Tak punya lagi bayangan jika berjalan
Di bawah matahari atau terang lampu ;
Jiwaku adalah sinar itu sendiri.
Pada baris dan bait puisi yang kau tulis
Akan kau kenal dengan baik suaraku ;
Bagaimana aku menembang dan menimbang
Kesepian, kesunyian, dan kesendirian.
Jadi larik-larik yang turun sore hari
Dengan amat lembutnya. Larik itu diam-diam
Menumbuhkan benih kerinduan dalam dadamu.
Padaku. Lalu bagai dentang lonceng pagi
Kesepian, kesunyian, dan kesendirian : tanpa ragu
Mengguncang ranjangmu dari balik jendela
KETIKA PUISI TERSEBUT SELESAI DILANTUNKAN, PEREMPUAN SETENGAH BAYA TIDAK BERANJAK DARI TEMPAT DUDUKNYA. IA SEAKAN-AKAN TERINGAT DENGAN APA YANG PERNAH DITULISINYA ITU. LALU DITATAPNYA DALAM-DALAM WAJAH LELAKI YANG ADA DIHADAPANNYA ITU. SAYUP-SAYUP LOLONGAN ANJING DAN BUNYI TIANG LISTRIK YANG DIPUKUL KEMBALI TERDENGAR.
KIMUNG :
Apa yang terjadi pada dirimu?! Apakah puisi yang barusan kubaca itu mengingatkan engkau pada masa silammu yang kelam?!
DIRAH :
Ya, ingat pada suatu hari sehabis hujan, ketika kata-kata cinta diucapkannya dengan kata-kata yang tersekat di dada.
KIMUNG :
Lalu setelah itu kuda-kuda terbang ke langit. Dengan sayapnya yang indah membawa kita terbang ke bintang-bintang terjauh. Desau angin di daun-daun dan debur ombak dilautan adalah alunan musik yang tak pernah kita duga menjelma simfoni yang indah.
DIRAH :
Ya, betapa indahnya simfoni itu. Lalu kesepian juga kesunyian menemukan haknya yang paling hakiki.
Aku ingat, aku ingat segalanya kini, akan kata-kata itu, bisik-bisik lembut itu sebelum ajal yang kelam itu melimpahi rohku dengan anggur derita :
Matamu yang malam, tanpa setitik bintang ;
Datang lagi padaku. Bunga bakung
Serupa kabung bermekaran seluas hatiku.
Desau dedaunan
Menjelma bayang-bayang kelam
Dimainkan angin musim penghujan
Arah mana yang kelak kujelang
Jika bintang berkilau dalam matamu?!
Yang terang, malam dalam alir darahku ;
Menimbang sepi batu-batu.
HENING. DIAM SESAAT. LELAKI SETENGAH BAYA TERPERANJAT SEAKAN-AKAN IA MENGINGAT BETUL DENGAN LARIK-LARIK PUISI YANG PERNAH DITULISNYA, YANG DIBERIKAN PADA KEKASIHNYA.
DIAM-DIAM IA MENATAP WAJAH PEREMPUAN ITU DENGAN PANDANGAN YANG TAJAM. DESIR ANGIN KEMBALI TERDENGAR, JUGA TIANG LISTRIK YANG DIPUKUL ORANG.
DIRAH :
Apa yang membuatmu terdiam?! Adakah engkau masuk angin?!
KIMUNG :
Puisi yang kau bacakan tadi benar-benar indah, membuat ingatanku lompat ke masa silam. Kalau boleh tahu kau datang dari dunia mana?!
DIRAH :
Aku datang dari dasar kalbumu yang sunyi. Engkau sendiri datang dari dunia mana?!
KIMUNG :
Aku datang dari dasar hatimu yang lembab oleh air mata. O, wajah yang keriput. O jejak ajal yang bengis, yang menggoreskan penanya dipelupuk matamu. O rambut yang memutuih oleh pikiran kusut.
DIRAH :
Engkau itu bayang-bayang yang hadir dalam mimpi-mimpiku?!
KIMUNG :
Engkaukah itu harapan yang timbul tenggelam di kalbuku?!
DIRAH :
Ratusan tahun aku mendekam dalam penjara. Hangat matahari dan bayang-bayangmu dirimu adalah lintasan pikiran yang kerap datang menerjang ketika malam turun dengan udara yang dingin.
Kau tahu, laki-laki yang menyeretku ke dalam penjara itu, wajahnya lembut bagai bayi. Tangannya begitu halus dan bersih, seakan-akan terbebas dari dosa. Tapi kata-katanya bagai duri yang menusuk ini hati.
Hai wanita sundal, katanya saat itu. Kau pikir negeri ini lahir dari rahim nenek-moyangmu, hah?! Aku tidak suka dengan ulahmu yang memata-matai kami, mengantai-ngantai kami sebagai orang yang korup! Kau benar-benar wanita sialan, dengan sikapmu yang pahlawan itu benar-benar membikin bos kami marah besar.
Kehormatannya merasa terinjak-injak olehmu. Kau tahu, bukan kata-katanya saja yang menyebabkan jiwa dan diriku lumpuh seketika. Kaki tangannya juga berbicara. Di tusuknya aku dengan paku yang panas.
Aaaaaaaaa, rasa sakit itu masih membekas dalam ingatanku. Setelah itu diseretnya aku ke dalam penjara yang gelap dan dingin, tanpa cahaya matahari. Kita dewasa dan besar dalam penjara. Begitu banyak penjara nyatanya yang harus kita hadapi. Sehabis kehidupan ini, begitu banyak daftar pertanyaan yang harus kita jawab.
KIMUNG :
Ya, kita sama-sama tua dan besar dalam penjara.
DIRAH :
Ya, kita sama-sama tua dan besar dalam penjara.
KIMUNG DAN DIRAH :
KEDUANYA SALING MENDEKAT.
Kita sama-sama tua dan besar dalam penjara. Kita lahir sebagai dongengan. O, maut yang bengis, jaring kelam apa lagi yang kau akan jeratkan pada tubuh yang tua ini?! Adakah kelak setangkai mawar bermekaran ditubuh kami?!