Di zaman pendudukan Jepang, Usmar Ismail mulai menulis puisi, cerita pendek, esai, dan drama. Kemudian kegiatannya mengarah pada dunia film: dia menjadi sutradara dan menulis skenario film, terkadang juga menjadi juri festival film.
Pada masa pendudukan Jepang, beliau mendirikan Sandiwara Maya (awal tahun 1944) sebagai imbangan terhadap badan propaganda Pusat Kebudayaan. Sesudah Indonesia merdeka, beliau pindah dari Jakarta ke Yogya dan mendirikan majalah Tentara dan Patriot. Majalah-majalah ini berubah menjadi surat kabar harian dan majalah kebudayaan dan kesusastraan Arena. Sesudah Aksi Militer II Desember 1948, beliau yang berprofesi sebagai wartawan-politik Antara datang ke Jakarta, sempat ditahan Belanda empat bulan atas tuduhan ambil bagian dalam aksi subversif.
Keluar dari tahanan beliau memperdalam pengetahuannya dalam dunia film, dengan masuk South Pacific Film Corporation. Dia pun mendirikan Perusahaan Film Nasional Indonesia (Perfini, 1950). Lalu mengikuti kuliah di fakultas Theatre Arts pada University of California di Los Angeles atas biaya Rockefeller Foundation (awal tahun 1952) selama delapan bulan. Kemudian meninjau Eropa Barat, terutama Italia.
Berikut karya-karya sastranya: Tempat yang Kosong, Mutiara dari Nusa Laut (1944), Sedih dan Gembira (1948), Puntung Berasap (1950), dan Mengupas Film (1983, editor J.E. Siahaan). Sejumlah karya lainnya ada dalam antologi Gema Tanah Air (1949) susunan H.B. Jassin dan Kesusastraan Indonesia di Masa Jepang (1948) susunan H.B. Jassin pula.
Berikut 5 contoh puisi Usmar Ismail yang bisa sobat simak.
Diserang Rasa
Apa hendak dikata
Jika rasa bersimarajalela
Di dalam batin gelisah saja
Seperti menanti suatu yang tak hendak tiba
Pelita harapan berkelip-kelip
Tak hendak padam, hanyalah lemah segala sendi
Bertambah kelesah hati yang gundah
Sangsi, kecewa, meradang resah
benci, dendam...........rindu, cinta.........
Ah hujan rinai di waktu angin
bertiup kencang memercik muka
kemudian reda............ tenang.......
Didalam mata air bergenang
Kembali harapan, kekuatan semakin nyata
Dari yang sudah-sudah, sebelum jiwa
Diserang rasa........................
Caya Merdeka
bertiup kencang memercik muka
kemudian reda............ tenang.......
Didalam mata air bergenang
Kembali harapan, kekuatan semakin nyata
Dari yang sudah-sudah, sebelum jiwa
Diserang rasa........................
Caya Merdeka
Kepada Tanah Airku
Sekali aku terbangun dalam cerkammu,
Sekali aku terbangun dalam cerkammu,
Dari dalam jurang yang gelap-hitam
Kau renggut aku hingga akar-jiwaku
Kau angkat aku membubung
Menatap wajah Suria Merdeka..............
Buta aku disorot nikmat sinar gemilang,
diseret hanyut gelora asmaramu,
kemudian kau lemparkan daku
ke pantai tiada nyata!
Telah kau remuk aku
Bersatu padu dengan sinarmu
Tak mungkin aku ‘kan surut lagi
Sampai airmu lipur cayamu dalam matiku...........
Akan mengembus angin
Dari tepi kuburku ke tiap penjuru,
Membawa nikmat Caya Merdeka ................Dan Sujudlah aku
Kau renggut aku hingga akar-jiwaku
Kau angkat aku membubung
Menatap wajah Suria Merdeka..............
Buta aku disorot nikmat sinar gemilang,
diseret hanyut gelora asmaramu,
kemudian kau lemparkan daku
ke pantai tiada nyata!
Telah kau remuk aku
Bersatu padu dengan sinarmu
Tak mungkin aku ‘kan surut lagi
Sampai airmu lipur cayamu dalam matiku...........
Akan mengembus angin
Dari tepi kuburku ke tiap penjuru,
Membawa nikmat Caya Merdeka ................Dan Sujudlah aku
Terbangun aku, terloncat duduk.
Kulayangkan pandang jauh keliling,
Kulihat hari tlah terang, jernihlah falak
Telah lamalah kiranya fajar menyingsing
Kuisap udara
Legalah dada,
Kupijak tanah
Tiada guyah.
Kudengar bisikan
Hatiku rawan:
“Kita berperang ,
Kita berjuang!”
Sebagai dendang menyayu kalbu
Bangkitlah hasrat damba nan larang
Ingin ke medan ridlah menyerbu:
“Beserta saudara turut berjuang!”
Citra
Citra, engkaulah bayangan
Waktu subuh mendatang
Citra, kau gelisah malam
Dalam kabut suram
Kau dekap malam kelam
Pelukan penghabisan
Kau singkap tirai kabut
Dan selubung
Legalah dada,
Kupijak tanah
Tiada guyah.
Kudengar bisikan
Hatiku rawan:
“Kita berperang ,
Kita berjuang!”
Sebagai dendang menyayu kalbu
Bangkitlah hasrat damba nan larang
Ingin ke medan ridlah menyerbu:
“Beserta saudara turut berjuang!”
Citra
Citra, engkaulah bayangan
Waktu subuh mendatang
Citra, kau gelisah malam
Dalam kabut suram
Kau dekap malam kelam
Pelukan penghabisan
Kau singkap tirai kabut
Dan selubung
Tenggelam kau jumpai
Di dalam rimba malam
Kau buka pagi baru
Senja nyawamu
Citra, kau bayang abadi
Dalam kabut fajar
Kudengar Adzan
Kudengar adzanmu diwaktu subuh
Di dalam rimba malam
Kau buka pagi baru
Senja nyawamu
Citra, kau bayang abadi
Dalam kabut fajar
Kudengar Adzan
Kudengar adzanmu diwaktu subuh