Oleh: Mashdar Zainal
Tas plastik putih bertuliskan nama toko roti itu tergeletak lunglai di tepi trotoar. Ada bekas goresan tipis yang cukup membuat tas plastik itu nyaris koyak menjadi dua. Di dalam tas plastik itu ada sebuah kardus mungil yang sudah penyok. Dalam kardus penyok itu ada sepotong pai. Sepotong pai kacang yang juga sudah bonyok. Tak berbentuk lagi. Kardus penyok itu sedikit basah di bagian atas. Mungkin karena lelehan saus atau gula atau mentega.
Sepotong pai yang tersesat dan tak lagi memiliki tuan. Sepotong pai yang kehilangan takdirnya sebagai pai lezat yang seharusnya karam dengan bahagia di lambung seorang bocah. Sepotong pai yang menyedihkan.
Aku tahu persis bagaimana perjalanan sepotong pai yang pada akhirnya bertakdir menjadi sepotong pai yang menyedihkan itu. Apa kau ingin mendengarnya? Jika kau memang ingin mendengarnya, simaklah kisahku ini baik-baik…
Ia adalah seorang lelaki paruh baya. Seorang suami yang setia. Seorang ayah yang begitu mencintai dan dicintai anak-anaknya. Ia tidak gemuk, nyaris kerempeng. Sebagian rambutnya sudah beruban. Dan, seragam batiknya kedodoroan. Ia seorang guru SD. Bukan PNS, mungkin semacam guru honorer, atau entah apa sebutan yang tepat. Tapi kalau kau ingin tahu, gajinya lima ratus ribu sebulan. Dengan tunjangan-tunjangan entah yang diberikan setiap akhir tahun. Baginya itu sudah lumayan, sekitar lima belas tahun lalu, saat pertama kali mengajar, gajinya cuma tujuh puluh lima ribu. Tapi zaman memang berbeda, tujuh puluh lima ribu barangkali cukup banyak lima belas tahun lalu. Lagi pula, waktu itu ia masih bujangan. Jadi, cukup-cukup saja untuk hidup sehari-hari.
Siang, sepulang mengajar, atau pada hari libur, ia membuka lapak tambal ban di depan rumah sambil berjualan bensin eceran. Lumayan untuk menambal kekurangan ini-itu. Kau pasti tahu, uang lima ratus ribu sebulan tak akan cukup untuk memenuhi tetek bengek kebutuhan empat kepala, dirinya sendiri, istrinya, dan dua bocah yang sudah mulai masuk playgroup dan SD. Jadi, lapak tambal ban itu harus tetap buka sebagai penambal kebutuhan ini-itu yang masih lubang-lubang. Bagaimanapun ia satu-satunya tulang punggung. Istrinya tidak bekerja, hanya seorang ibu rumah tangga yang manut kata suami. Tidak suka neko-neko. Cukup di rumah, mengurus rumah, mengurus anak, dan tersenyum sambil menyuguhkan teh tubruk saat suami pulang kerja.
Lalu, apa hubungan pak guru nyaris kerempeng dengan perjalanan sepotong pai yang menyedihkan itu? Percayalah, kisah ini masih belum selesai. Jadi, tetaplah kau simak baik-baik…
Sudah lima hari ini, bocah bungsu lelaki itu terbaring di dipan. Badannya panas. Tidak mau makan. Setiap kali perutnya dimasuki makanan, setiap kali itu pula akan dikeluarkan lagi. Hingga badan bocah tiga tahun itu tampak semakin kurus. Kalau bergerak tangannya gemetar hebat. Kalau siang hanya terbaring di dipan dengan tatapan kosong. Kalau malam suhu badannya semakin tinggi sehingga ia merengek dan mengigau sepanjang malam. Dua hari lalu ia sudah membawa bocah itu periksa ke puskesmas. Kata Pak Mantri, bocah itu hanya menderita demam biasa. Disuruh banyak istirahat, harus mau makan nasi meski sesuap, juga banyak makan buah sebagai asupan vitamin. Serta jangan lupa minum obat tiga kali sehari sesudah makan. Hampir semua perintah Pak Mantri sudah dilakukan, tapi demam bocah itu tak juga turun.
Lelaki itu sudah membelikan aneka buah, supaya perut bocah itu terisi sesuatu. Bahkan lelaki itu sudah membeli buah yang jarang ia beli seperti pir dan apel. Harganya memang sedikit mahal, tapi tak masalah asalkan bocah itu mau makan. Sayangnya, bocah itu lebih memilih menangis ketimbang memakan sesuatu. Tetangga bilang, sepertinya bocah itu terkena tifus. Mereka menyarankan membawa bocah itu ke dokter anak yang praktik di rumah sakit anu dan buka pada pukul anu. Tapi konon, sekali periksa biayanya di atas seratus ribu, belum termasuk obat yang harus ditebus di apotek. Para tetangga bilang, dokter itu memang sudah sangat berpengalaman. Banyak yang cocok. Tapi begitulah, bagi lelaki itu, biaya periksanya sama sekali tidak cocok.
Istrinya bilang, uang bulanan tinggal seratus lima puluh ribu. Lelaki itu pun memeriksa dompetnya, tinggal selembar lima puluh ribuan dengan beberapa lembar uang dua ribuan kumal. Sekarang masih tanggal 20, gajian masih sepuluh hari lagi. Sudah hampir seminggu pula ia tidak buka lapak lantaran bocah sakit itu. Duit semakin tipis, dan kebutuhan terus membukit. Buat beli lauk pauk, kulakan bensin, pulsa, bahkan listrik bulan ini belum sempat dibayar. Meski demikian, setiap kali mendekati bocah yang tengah terbaring itu, lelaki itu selalu bertanya, Adik mau makan apa? Mau soto ayam? Mau sate kambing? Anggur? Atau dibikinkan mie goreng? Dan, bocah itu hanya menggeleng dan menggeleng, membuat lelaki itu semakin cemas. Hingga siang tadi, di sekolah, ia melihat salah seorang muridnya tengah lahap menyantap sepotong pai bekal dari rumah. Ia ingat, anaknya yang kedua itu suka sekali dengan pai. Tanpa ragu sedikit pun, ia berjanji, sepulang sekolah ia akan mampir ke toko kue untuk membeli satu atau dua potong pai istimewa. Bocah itu pasti mau memakannya. Bocah itu pasti akan suka.
Maka, sepulang mengajar, ia tidak langsung pulang. Ia memutar haluan menuju pasar kecamatan. Kata temannya, di sana ada toko roti yang buka sampai malam. Katanya pula, di sana ada aneka macam pai. Tak kurang dari dua puluh menit, ia sampai di toko roti itu. Di sana memang menjual aneka macam kue dan roti. Termasuk pai. Ada berbagai macam pai di sana. Ada pai susu, pai apel, kismis, serta pai kacang. Ia berpikir, pai yang mana kira-kira yang paling disukai anaknya. Selama ini ia tak tahu kalau kue pai itu banyak macamnya. Dan semuanya kelihatan lezat, sampai ia harus menelan ludah beberapa kali.
Setelah berpikir beberapa jenak, ia pun memutuskan untuk membeli sepotong pai kacang. Ia hanya membeli sepotong setelah tahu harganya lumayan mahal. Sepotong pai kacang dengan aroma gurih kacang serta mentega yang menggugah selera. Bocah itu pasti akan menyukainya, pikirnya.
Sepotong pai itu diletakkan pelan-pelan ke dalam kardus oleh pelayan toko, sebelum dimasukkan ke dalam tas plastik putih yang baru diambil dari lipatan. Lelaki itu membayarnya. Dua belas ribu untuk sepotong pai. Ia tak ingat pernah membeli sepotong kue dengan harga seperti itu. Tapi harga itu tentu tidak seberapa dibanding kelegaan yang akan ia dapat saat ia melihat bocahnya menggigit pai itu dengan gegas sebelum minum obat nanti.
Ia menggantungkan tas plastik putih itu dengan hati-hati di gantungan bawah setang motornya. Dalam perjalanan pulang, tak henti-henti ia tersenyum sambil memandangi tas plastik yang bergoyang-goyang di setang motornya karena jalanan berlubang dan polisi tidur. Sedikit saja tas plastik itu miring, ia akan membenarkan letaknya. Ia tak mau sepotong pai cantik itu rusak oleh guncangan-guncangan. Sepanjang perjalanan pulang, wajah bocahnya yang sedang menggigit pai terus membayang. Hmm. Makan yang lahap, ya, Nak. Minum obat yang teratur. Biar lekas sembuh. Biar bisa tersenyum lagi. Biar bisa main lagi.
Saat bayangan bocah yang menggigit pai itu tampak begitu nyata, berkelebat di pelupuk matanya, tiba-tiba suara klakson memekik nyaring. Seolah menombak kedua telinganya. Ada suara decitan. Ada suara benturan. Ada suara sesuatu yang roboh dengan hebat. Dan ada sebuah tas plastik putih yang terlempar dari gantungan lalu terseret lalu terbentur, sebelum akhirnya tergeletak lunglai di tepi trotoar. Sebuah kardus penyok. Sepotong pai di dalamnya bonyok.
Dadaku sesak dan aku hampir menangis ketika melihat tas plastik itu, kardus penyok itu, serta sepotong pai yang sudah pasti tak lagi berbentuk itu. Bayangan wajah bocah yang menggigit pai itu berkelebat. Wajah itu berubah menjadi wajah bocah yang menangis. Aku pun ikut menangis, lebih-lebih ketika menatap seonggok tubuh tergeletak tak bergerak, tak jauh dari tas plastik koyak itu. Seonggok tubuh itu tergeletak begitu pasrah. Begitu lelah. Tubuh dan wajahnya berlumur merah. Dan begitulah pada akhirnya sepotong pai itu harus menerima takdirnya sebagai sepotong pai yang menyedihkan.
Demikianlah kisah sepotong pai yang menyedihkan itu. Aku sudah menceritakannya dengan jelas. Dan aku harus segera pulang, anak keduaku sedang sakit sudah lima hari ini. Dia susah sekali disuruh makan. Sebab itu aku membawakan makanan kesukaannya: pai kacang. (*)
2016
Mashdar Zainal, lahir di Madiun 5 juni 1984, menulis puisi serta prosa.