Rumah dan orang tua merupakan lingkungan pertama dan utama dimana anak berinteraksi sebagai lembaga pendidikan yang tertua, artinya di rumahlah dimulai suatu proses pendidikan yang paling penting dimana orang tua berperan sebagai pendidik bagi anak-anaknya.
Lingkungan keluarga bisa dikatakan lingkungan yang paling utama, karena sebagian besar kehidupan anak terjadi didalam keluarga, sehingga pendidikan yang paling banyak diterima anak adalah dalam keluarga.
Sungguh sangat dahsyat ya Sob fungsi keluarga bagi pembentukan mental dan karakter generasi penerus bangsa kita.
Di postingan ini Admin menyuguhkan pula sebuah Cerpen bertema Pendidikan Keluarga yang bisa Sobat analisa dan ambil manfaat yang terkandung didalamnya. Semoga bermanfaat...
Di postingan ini Admin menyuguhkan pula sebuah Cerpen bertema Pendidikan Keluarga yang bisa Sobat analisa dan ambil manfaat yang terkandung didalamnya. Semoga bermanfaat...
Oleh: Alifmuku
Anakku yang paling kecil berumur empat tahun kurang dua bulan. Wajah dan kata polosnya yang selalu hibur hari-hari sepi seorang ibu rumah tangga sepertiku akhir-akhir ini mendadak berubah. Perkataan yang keluar dari mulut mungilnya menyiratkan kekhawatiranku untuk sejenak memeriksakannya ke dokter spesialisasi anak.
Melati Purnamasari, itulah nama yang diberikan suamiku pada anak pertamaku. Dua rangkai kata yang kami harap akan mengharumi dan menerangi rumah kami bila kelak ia beranjak dewasa. Sebesar harapan kami agar ia kelak juga menjadi panutan Ratma Anggraeni, adiknya.
Setelah beberapa kali di periksa, baru di ketahui bahwasanya anakku itu mengidap penyimpangan delir. Sebuah gejala penyakit kejiwaan yang di timbulkan oleh seringnya mata seorang anak menatap dan menyerap gambar yang akhirnya mengimbas pada kondisi tingkah laku keseharian untuk berhalusinasi dan membiarkan kelakuannya dibelokkan atau diarahkan oleh apa yang timbul dalam khayalannya . Ya.., benda yang lumrah dimiliki oleh sebuah rumah tangga, ternyata telah memberi pengaruh pada salah satu anggota keluarga kami. Benda yang terletak diruang tengah dimana tempat suami dan kedua anak perempuan kami biasa berkumpul, tiba-tiba menjadi benda yang selama ini terlewatkan untuk dicermati dan diawasi ragam acaranya.
“Agaknya analisa dokter itu benar pak, acara yang selama ini di konsumsi oleh anak kita merupakan tontonan yang kurang memberi manfaat. Makin banyaknya tayangan kekerasan dan vulgarnya acara tarian dan film yang telah dianggap lumrah oleh kita, nyata-nyatanya telah membuat kondisi kejiwaan dan perilakunya semakin bertambah aneh.”
Suamiku Mas Anton hanya tersenyum.
Aku sedikit bisa menangkap arti dari senyumnya. Lingkungan yang kami tinggali sekarang memang sering membuat aku selalu berkeluh kesah pada mas Anton. Setidaknya, aduan tentang ketidakpedulian antar penghuni komplek perumahan tipe 21 yang masih belum kami lunasi tunggakannya, selalu memenuhi indra pendengarannya. Jarangnya tegur sapa dan minimnya komunikasi antar penghuni senantiasa membuat hari-hariku sepi. Itu sangat berlawanan sekali dengan situasi pedesaan dimana aku menghabiskan umur selama dua puluh tahun sebelum aku diboyong Mas Anton untuk tinggal di perumahan ini semenjak lima tahun yang lalu.
“Apalagi akhir-akhir ini banyak tarian-tarian yang secara konsisten di tayangkan dua kali seminggu itu yang di tiru oleh anak kita.”
Mas Anton berdehem pelan.
“Sabar Fatimah, redakan dulu amarahmu. Marahnya jangan terlalu berapi-api, nanti cepet tua lho…”, Sambari tersenyum Ia melanjutkan.
“Memang ada benarnya juga perkataanmu barusan…, tapi belum tentu itu benar seratus persen kan ?.., sebab mereka yang berkecimpung dalam dunia hiburan kita memang memiliki latar belakang moral yang berbeda-beda. Namanya juga manusia, merekapun kadang khilaf dengan apa yang mereka sajikan sebagai sarana untuk kemaslahatan masyarakat.”
Ia meneguk teh pahit yang hampir dingin dan melanjutkan.
“Akhlak dan pengetahuan yang mereka miliki untuk menyikapi perubahan moralitas yang terjadi di tengah-tengah masyarakat terkadang di kalahkan oleh kehendak untuk mengejar materi dan rating sehingga tak memperhitungkan dampak yang di timbulkan oleh acara-acara yang mereka tayangkan.”
Dari dulu mas Anton memang membuatku simpatik. Sikapnya yang kalem dan bila menemukan persoalan yang serumit apapun akan di bicarakan dengan kepala dingin memang sangat berlawanan dengan sifatku yang keras kepala dan gampang naik darah. Bahkan terkadang perbedaan tersebut seringkali menimbulkan percikan-percikan pertengkaran kecil. Tapi aku kemudian mensyukurinya karena dengan perselisihan itulah akhirnya kami menghargai perbedaan serta dapat memafhumi perbedaan tersebut sebagai celah-celah untuk saling mengisi satu sama lain.
“Sudahlah Fatimah, sekarang sudah larut malam. Besok saja kita omongin lagi.”
Malam makin beranjak pekat. Ingin rasanya kepekatan itu menelan rasa khawatirku. Perasaaan lumrah seorang ibu yang was-was melihat perubahan kejiwaan putrinya.
*******
Perkataan dan tingkah laku Melati makin mengkhawatirkan. Dalam setiap jam ada saja ucapannya yang membuat aku menggelengkan kepala.
“Ma.. ma.., boleh ngga dalam sholat yang kita lakukan sehali-hali kita belgoyang kaya penali yang di TV itu?, tarian itu ibadah juga kan ma ..?, sebab kalau udah besal selain pengen jadi menteli, Noni juga pengen bisa menali sepelti penyanyi itu”
Dari perkataannya yang masih cadel aku berpikir bahwa, pada dasarnya setiap anak itu memiliki daya kritis yang subhanallahluar biasa besarnya dan terkadang tak pernah terlintaspun dalam benak orang dewasa untuk memikirkannya. Akan tetapi tatkala daya kritis tersebut sudah dirasuki oleh hal buruk, maka akan menyebrang ke jalan yang salah-lah daya kekritisan tersebut. Dan pikirku, orang tuanyalah yang kemudian bertugas untuk meluruskan dan memberi pengertian pada buah hatinya tersebut.
Semula aku agak khawatir juga karena pertanyaan yang sudah menjurus pada hal belum kumengerti sepenuhnya. Pengetahuan yang sempat aku kecap hanya sampai di bangku menengah Atas. Tapi, alhamdulillah berkat banyaknya majalah-majalah Islam yang selalu di belikan oleh Mas Anton dan kini memenuhi rak kayu di ruang tamu, telah sedikit banyaknya menambah pengetahuan dan wawasanku tentang hal-hal yang berhubungan dengan agama.
Anak dalam kamus hidupku adalah sosok jelmaan malaikat kecil yang mampu memberi semangat dan gairah baru untuk menempuh pergantian hari yang bagi orang tua seperti kami makin merasakan beratnya beban untuk menempuh putaran waktu. Penghasilan mas Anton yang hanya mengandalkan motornya untuk membawa penumpang menuju jalan pedesaan yang belum terjangkau angkutan umum membuatku harus selalu mengencangkan ikat pinggang keluarga untuk keperluan dapur dan jajan anak-anak kami yang kian hari kian membengkak.
Titel sarjana muda telah disandangnya selama bertahun-tahun seakan percuma untuk mendapatkan posisi pekerjaan yang layak. Walaupun ia sudah pernah mencoba untuk melamar pekerjaan di instansi-instansi dan kantor-kantor yang membutuhkan tenaga dan pikirannya. Tapi usahanya selalu menemui kegagalan bila ia dibenturkan dengan tuntutan birokrasi yang harus memaksanya mengeluarkan uang yang bagi orang-orang seperti kami sangat lumayan besar jumlahnya.
“Ma..ma.., jawab dong !, boleh ngga’ sih ma ?.”
Suaranya segera membuyarkan lamunanku. Dari binar mata yang sorotnya setajam mata bapaknya, aku mencoba untuk memberi jawaban hanya sebatas yang telah kuketahui dari apa-apa yang pernah kubaca.
“Anak pintar, shalat yang kita lakukan itu adalah cara kita untuk berdoa dan mengadu sama pencipta kita, sedang tarian itu ngga ada sangkut pautnya dengan ibadah sholat yang kita lakukan. Itu hanya buat hiburan Melati saja. Jadi, pas kita mau sholat kita ngga boleh nari kaya penari yang di TV itu.”
Aku sadar bahwa komunikasi yang paling sulit adalah berkomunikasi dengan anak kecil. Dalam proses tersebut aku dituntut untuk memahami pikiran mereka dan bertingkah laku layaknya mereka. Salahnya cara penyampaian dan pengucapan hanya akan dianggap angin lalu bagi mereka. Kelembutan dan perhatianlah yang menurutku berguna bagi perkembangan jiwa dan senantiasa ingin aku tanamkan sebagai penyampaian yang baik bagi bidadari-bidadari kecilku.
Mas Anton pun terkadang memberi masukan agar sebagai ibunya aku senantiasa menanamkan nilai-nilai ruhiah yang kadarnya bisa diterima juga oleh anak-anak kami.
“Nanti mama juga akan tahu bahwa bukan hanya pengetahuan populer saja yang dibutuhkan oleh mereka. Sebab tatkala mereka dewasa dan dibekali oleh orang tuanya hanya dengan pengetahuan tersebut, mereka nantinya akan tersesat dalam hingar-bingarnya kerancuan nilai dalam masyarakat. Mereka akan buta untuk melangkah dan pada akhirnya pegangan apapun akan mereka raih, walaupun pegangan itu nilai yang buruk sekalipun.”
Perkataan itulah yang terpatri dalam memori otakku. Petuah suami yang akan selalu kudengarkan dan kucoba untuk dilakoni demi membesarkan buah hati kami. Walaupun pada mulanya belum kupahami sepenuhnya arti dari perkataan tersebut, dan baru aku ketahui makna perkataannya sekarang. Aku akhirnya sadar bahwa tunas-tunas mudaku pun dapat dengan mudah layu sebelum aku sadar untuk segera menyirami dan memupuknya hingga berubah menjadi bunga yang terindah.
*******
Dalam hitungan minggu kondisi kejiwaan Melati sudah berangsur normal. Therapi dan anjuran yang ditawarkan oleh Dokter Spesialis anak itu kami turuti dan laksanakan dengan sebaik mungkin. Remotetelevisi yang biasanya kami bebaskan sekarang berada dalam kontrolku. Sebab mas Anton yang bekerja dari pagi sampai menjelang Isya’ rasanya tak bisa memantau mereka. Penatnya badan yang ia rasakan sehabis pulang menjadikannya langsung pulas tertidur sehabis sholat Isya’ bersama. Sedang anak-anak kami setelah mengerjakan PR biasanya sangat susah disuruh untuk tidur.
Mereka hanya akan tidur setelah menyaksikan acara kesayangan mereka. Dan itulah yang paling kutakutkan. Ragam acara yang mereka sukai adalah acara yang sangat aku benci. Maka dengan iming-iming dongeng-dongeng dari majalah anak-anak Islam, aku mengajak mereka untuk segera pergi ke tempat tidur dan mendengarkan cerita-cerita yang aku bacakan. Dan itulah resep terakhir yang kurasakan manjur. Mereka sejenak melupakan acara kesukaannya dan akhirnya terlelap dalam pelukan hangat selimut malam. Tapi entah untuk berapa lama dongeng-dongeng itu mampu menghilangkan sejenak acara kesenangan mereka dari memori otak bidadari-bidadari kecilku?.
Al-Farisi, Cipadung 04